File 6

Aku dan Kira berjalan menuju ke arah gerbang utama dalam diam. Suasana sekolah benar-benar sepi. Semua siswa selalu diperbolehkan pulang lebih awal setiap terjadi kasus semacam ini demi kepentingan penyelidikan. Dengan kata lain, hanya kami berdua — yang berstatus sebagai saksi mata — yang masih berada di tempat ini. Kedua gadis aneh yang kami temui di toilet tadi pagi sudah diinterogasi lebih dulu sehingga bayangan mereka tidak tersisa lagi.

Matahari belum terlalu tinggi. Jam baru saja menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Bayang-bayang Kevin dan yang lainnya juga tidak terlihat. Mungkin mereka sudah mulai menyelidiki kasus ini, tanpa kami.

"Hmm ... Mia, kayaknya kita lagi diawasin, nih," ucap Kira dengan volume suara yang hanya bisa didengar olehku yang berada sangat dekat dengannya. Aku tersentak kaget lalu menatapnya tidak percaya. Wajah oriental itu tetap saja menampakkan ekspresi tenang namun tetap serius, tak ada tanda-tanda jika dia sedang membohongiku.

"Apa?! Jangan bercanda!" seruku. Kira tidak merespons selama beberapa saat. Hanya memandang lurus ke arah gerbang utama yang menjadi tujuan kami.

"Ada empat orang, dua puluh meter arah jam sembilan. Salah seorang dari mereka adalah sniper. Sisanya adalah leader mereka dan dua lainnya aku tidak tahu," jelasnya. Aku semakin panik mendengarnya. Sambil mencoba untuk menajamkan penglihatan — yang tentu saja akan sia-sia karena tanpa kacamata minus — aku menarik lengan Kira agar gadis itu segera berhenti.

"Ada apa?" tanyanya datar, seolah tidak ada apa-apa. Aku menggeleng samar, mengisyaratkan agar jangan melalui jalan itu dan segera memutar arah.

"Mereka pasti pelaku atau orang yang terlibat dengan kasus ini," jawabku. Aku akui, aku memang sangat tertarik dengan misteri. Namun, khusus untuk bagian ini, aku nyaris tidak punya keberanian lebih. Sama tidak ada bedanya dengan gadis yang lain.

"Tidak perlu. Mereka sama sekali bukan orang yang berbahaya," katanya menenangkan seraya menarik paksa lenganku agar melanjutkan perjalanan. Bukannya tenang karena kalimatnya, aku justru semakin panik membayangkan apa yang akan terjadi pada kami. Aku tidak berani melihat semua ini!

Jantungku bekerja tiga kali lebih keras ketika Kira akhirnya menghentikan langkahnya. Perlahan, aku membuka mataku lalu mengerjap beberapa kali untuk memastikan apa yang kulihat benar-benar nyata dan bukan ilusi. Aku juga menengok ke semua penjuru mata angin, tidak ada siapapun.

"Hai, cepet banget selesenya," kata Sisi dengan santai yang akhirnya membuatku bisa sedikit bernapas lega. Berarti tidak ada apa-apa.

"Apa kalian liat ada orang yang mencurigakan di sini?" tanyaku memastikan. Sisi mengerutkan kening lalu melihat ke arah lain.

"Nggak ada, kok," jawab Kevin apa adanya. Aku menghela napas lega. Syukurlah jika tidak ada apa-apa.

"Malahan dari tadi cuma kita yang di sini nuggguin kalian," sahut Riyan. Sementara, Steve sama sekali tidak terlihat tertarik dengan pembicaraan ini. Dia terlihat fokus pada layar laptop yang tidak pernah absen dari dalam tas ranselnya.

"Ya, ini semua gara-gara Kevin," ujar Sisi dengan nada sedikit sarkas. Kevin yang mendengarnya seketika melotot ke arah gadis berkacamata tipis itu. Sisi membalas tatapan itu dengan tatapan tak kalah sadis.

"Kenapa sih aku ini selalu salah di mata kamu?!" sergahnya. Sisi tetap tidak mengubah sorot matanya yang begitu tajam seolah bisa memancarkan sinar laser.

"Ya jelas itu emang salah kamu. Kamu sendiri kan yang suruh kita diem bentar nungguin mereka di sini. Dan kamu harus tau, kakiku rasanya udah mau patah!" balasnya.

"Aku ngelakuin ini buat pastiin mereka aman. Lagian, itu salah kamu sendiri karna nggak mau duduk di deketnya Steve." Kevin sama sekali tidak ingin kalah dalam perdebatan ini. Oh, apa mereka tidak bisa akur walau hanya sehari.

"Oh, God! Cant you shut up? Just a moment, please," ucap Steve yang akhirnya menghentikan perdebatan mereka yang hampir tak berujung. Mereka yang selalu mendapat nilai bahasa Inggris di atas rata-rata tak punya pilihan lain selain diam. "Lagipula, aku dengar hubungan kalian sekarang sudah resmi."

"Eh, serius? Selamat, ya. Berarti bentar lagi kita bakalan dapet traktiran nih," ucap Kira senang. Aku juga ikut senang karena aku tidak perlu mendapat julukan 'Juliet-nya Kevin.'

"Apanya yang resmi?!" Sisi benar-benar terkejut mendengarnya. Pipinya terlihat bersemu merah. "Resmi jadi musuh bebuyutan?"

"Ayolah, Sisi. Tidak usah malu. Akui saja," ucapku dengan maksud menggoda, membalas perbuatannya padaku selama ini.

"Bukan, tadi itu ...." Kevin juga terlihat tidak bisa menjelaskan situasi yang sebenarnya. Dia sudah benar-benar terpojok hingga yang bisa dilakukannya hanya melanjutkan perdebatan dengan Sisi. "Ini semua gara-gara kamu, Sisi!"

"Kok aku yang salah sih? Harusnya kamu berterima kasih sama aku. Nyaris aja mereka tau kalo kita lagi selidiki kasus!" tukas Sisi tidak mau kalah.

"Iya, tapi caranya nggak harus gitu, kan? Banyak cara yang lain."

"Ya terus mau gimana lagi? Daripada kita jadi incaran pelaku. Lagian cepet atau lambat, mereka pasti bakalan curiga sama hubungan kita yang makin lama makin deket aja!" Steve mengalihkan pandangannya ke arah kedua mereka berdua yang tak pernah damai lalu menghela napas berat.

"Hei, apa kalian bisa berhenti? Kita tidak punya banyak waktu," ucap Riyan yang kemudian sukses membuat mereka berhenti berdebat hanya dalam waktu beberapa detik. Steve menatap Riyan yang berhasil menghentikan mereka dengan tatapan penuh arti. Aku sendiri tidak tahu artinya. Hmm ... benar-benar misterius.

"Kira, kamu bilang ada yang ngawasin kita. Tapi, aku nggak liat siapa-siapa selain mereka," bisikku lalu kembali memperhatikan sekeliling. Kira menepuk dahinya pelan.

"Kamu nggak ngerti, ya? Mereka ini yang ngawasin kita dari tadi. Kan udah aku bilang, mereka sama sekali bukan orang yang berbahaya," jelas Kira.

"Tapi, tadi kamu bilang ada sniper, kan?" tanyaku masih tidak percaya.

"Iya, bener. Kamu nggak tau, ya? Riyan itu kan sniper juga," jawab Kira dengan begitu santai. Seolah tidak mengerti seberapa paniknya aku ketika mendengar kalimat yang seakan memberikan tanda bahaya tadi. Dalam hati, aku benar-benar ingin menampar diriku sendiri yang terlalu terbawa suasana saking malunya.

"Oh, ya. Kok kita masih diem sih. Kita nungguin apa?" tanya Kira.

"Tunggu sebentar," kata Steve datar lalu mencabut flashdisk, kemudian memasukkan laptop ke dalam tas ranselnya.

"Steve, apa itu?" tanyaku penasaran.

"Nanti aku jelaskan," jawabnya singkat dengan sikap dingin seperti biasa yang tak jarang membuat Kira berpikiran yang aneh-aneh. Tetapi bagiku, justru sika dingin itulah yang membuatnya terlihat nyaris sempurna.

"Oh, ya. Mumpung masih pagi, gimana kalo kita diskusiin kasus ini di rumahku?" tawar Kevin yang kemudian disambut baik oleh yang lainnya. Aku sendiri sebenarnya tidak merespons. Hanya diam, tenggelam dalam ilusi yang tak bisa kuhentikan.

Aku melirik, memperhatikan seorang pemuda yang berjalan tepat di sampingku. Tinggi badan dengan selisih hampir dua puluh sentimeter sama sekali tak membuatku urung memandanginya seharian. Sinar matahari yang memantul dari iris mata birunya membuat jantungku berdebar tidak karuan. Aku tidak bisa menafikan perasaan ini. Aku memang menyukainya, sejak lama.

Andai semua ini bukan sekadar fantasi.

"Hei, Mia! Mia, kamu denger aku, kan?" tanya Sisi membuyarkan lamunanku. Aku mengerjap-ngerjap beberapa kali. Semua pasang mata tertuju padaku, membuatku sedikit salah tingkah.

"Kamu ngelamun, ya?" tanya Kira dengan sorot mata yang aku tidak tahu pasti artinya. Aku hanya menggeleng cepat sambil menutupi wajahku yang terasa panas. Aah! Sudah kuduga pasti akan jadi seperti ini.

Ternyata benar, ini semua hanya sekadar fantasi.

------x---x------

"Jadi, kita mulainya darimana, nih?" tanya Sisi membuka percakapan. Semua pandangan tertuju padanya, minus Steve yang masih saja sibuk dengan laptopnya.

"Kita mulai dari saksi mata," jawab Kevin dengan raut wajah serius. Seperti biasa, gaya bicaranya berubah ketika sedang membahas kasus.

"Hei, kenapa nggak dari Steve aja?" tanyaku. Yang disebut namanya segera mengangkat wajah dingin kemudian menatapku tajam. Aku sedikit merinding melihatnya. Padahal, aku sama sekali tidak bermaksud mengganggu pekerjaan itu. Hanya penasaran dengan hasil penyelidikan yang dia dapat. Apakah dia sudah mendapatkan hasil atau belum?

"Kenapa harus aku?" tanyanya datar tanpa mengalihkan pandangannya dariku.

"Sudah, lakukan saja. Jangan banyak komentar," sahut Kevin. Steve menghela napas panjang. Aku sedikit lega karena bisa segera mengetahuinya.

"Sebenarnya, belum ada hasil yang terlalu memuaskan dari penyelidikanku. Semuanya masih abu-abu. Jadi menurut salah satu teman sekelasnya, korban memang tidak mengikuti pelajaran olahraga. Pak Erwin, selaku guru mata pelajaran itu, juga tidak mengajar entah karena alasan apa.

"Korban dikenal sebagai pribadi yang ramah. Tetapi, tidak menutup kemungkinan ada orang yang tidak menyukainya. Termasuk — kalau tidak salah — Kira adalah salah satunya. Tetapi, nyaris tidak mungkin Kira yang melakukannya karena dia memiliki alibi yang tidak terbantahkan.

"Selain itu, korban juga dikenal sangat unggul dalam hal akademik. Gadis itu mendapat nilai tertinggi pada saat tes masuk. Jika motif pelaku adalah ingin mendapat nilai tertinggi di ujan semester nanti, maka satu-satunya orang yang paling mencurigakan di sini adalah Riyan. Tetapi, aku belum bisa menjadikannya tersangka karena bukti yang kupunya masih kurang," jelas Steve panjang lebar. Sejauh ini, aku belum bisa menyimpulkan apa pun selain kemungkinan jika Steve membenci Riyan.

"Lalu, apa yang ada di laptopmu?" tanyaku penasaran.

"Baiklah, aku memang tidak bisa menyembunyikan apa pun dari kalian. Aku hanya meretas server sekolah untuk meng-copy rekaman CCTV di beberapa tempat. Hasilnya, aku menemukan beberapa kejanggalan. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya. Yang pasti, pelaku adalah laki-laki. Tenang saja, tidak ada yang kurubah. Jadi mereka tidak akan tahu," jelasnya. Itu sama sekali belum memuaskan rasa ingin tahuku. Dia pasti masih menyembunyikan sesuatu dari kami.

"Yah, baiklah. Selanjutnya kalian berdua," ucap Kevin sembari membuka buku catatannya lalu menuliskan beberapa kalimat di sana.

"Baiklah, biar aku saja yang menjelaskan ini. Aku sempat memeriksa rigor mortis-nya. Estimasi waktunya sekitar pukul delapan pagi. Penyebab kematian kemungkinan karena kehabisan darah akibat luka tusukan hampir di sekujur tubuhnya. Aku juga bisa mencium aroma kloroform dengan jelas dari jarak lima meter dari TKP. Sepertinya, pelaku menyembunyikan barang bukti di sekitar sana.

"Pintu toilet terkunci dari dalam. Tetapi yang aneh adalah grendel pintunya yang tidak terpasang. Menurutku itu sangat aneh karena menurut kesaksian salah satu teman sekelasnya, korban mengalami paranoid yang cukup parah karena ancaman itu. Bukankah seharusnya dia lebih berhati-hati dan menutup pintu toilet dengan benar? Menurut dugaanku, pelaku pasti menggunakan trik ruang tertutup.

"Selain itu, ada satu hal lain yang lebih aneh. Yaitu, dua orang gadis yang kutemui di TKP. Mereka masih bisa mengetahui jika itu benar-benar Rosa walaupun dengan kondisi yang sangat parah dan sudah tidak bisa dikenali lagi," jelasku. Kevin kembali menulis beberapa kalimat dari penjelasanku tadi.

"Separah apa kondisinya?" tanya Sisi penasaran.

"Aku tidak bsia menjelaskannya, terlalu mengerikan," balasku. Sisi tampak sedikit kecewa karena aku.

"Biar aku saja yang menjelaskannya," usul Kira. "Korban mendapat beberapa tusukan di area vital seperti dada, perut, dan juga leher. Tapi yang aneh adalah, luka di bagain leher yang menyerupai bekas gigtan binatang buas. Yah, kira-kira seperti dalam film vampire," jelasnya.

"Pembunuhnya pasti psikopat," sahut Sisi yang kemudian disambut anggukan dari Kira. Menurutku, tidak selamanya begitu. Pasti ada orang lain yang ingin balas dendam hingga mencoba membuat orang lain tidak curiga padanya yang merupakan orang normal dengan cara meniru cara para pembunuh kejam.

"Apa ada yang ingin menambahkan?" tanya Kevin. Hening, tidak ada yang menjawab. "Baiklah kalau begitu, sekarang jelaskan alibi kalian," ujarnya.

"Aku mengerjakan tugas biologi, hingga Kira memintaku untuk menemaninya ke toilet," jawabku mantap.

"Aku juga tetap diam di kelas hingga akhirnya keluar pada pukul sembilan," Kira menjelaskan.

"Aku berada di kelas. Tapi tidak mengerjakan tugas," aku Sisi. "Tolong jangan beritahu Bu Indri ya," pintanya. Kevin hanya mengiyakan.

"Aku tetap mengikuti pelajaran olahraga hingga Pak Erwin yang datang terlambat mengetakan jika ada insiden dan sekolah dipulangkan lebh awal." Giliran Riyan yang menjelaskan alibinya.

"Baiklah, kamu?" tanya Kevin lagi. Kini matanya lurus menghadap Steve yang terlihat sama sekali tidak peduli.

"Entahlah, tadi ada remedial bahasa Inggris. Jadi, aku dikeluarkan dari kelas, lagi," terang Steve. Seolah tidak mengetahui jika alibinya dipertanyakan. "Jika kalian ingin mencurigaiku, silahkan saja. Selama kalian memiliki bukti, itu tidak masalah."

Menurutku, Steve tidak mungkin melakukan hal sekejam itu. Aku berpikir seperti ini, bukan karena aku menyukainya. Tapi aku punya alasan yang logis. Steve yang kukenal selalu merencanakan segalanya sebelum bertindak. Jadi, jika memang dia pelakunya, maka tidak akan ada aroma kloroform. Dia pasti akan membuat kasus ini seolah merupakan kasus bunuh diri.

Tapi setelah kupikir lagi ... itu tidak bisa menutup kemungkinan jika pelakunya memang dia. Oh, ada apa denganku? Perasaan ini membuatku tidak bisa berpikir objektif. Apa aku ... memang harus mencurigainya?

*

Jangan lupa vote dan comment ya 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top