File 3
Entah sampai kapan hari-hari membosankan ini akan berakhir. Aku ingin seperti dulu lagi. Menyelidiki kasus besar bersama walaupun ujian semester ganjil akan segera dimulai beberapa minggu lagi. Aku tidak peduli walaupun harus membagi konsentrasi. Aku sudah terbiasa melakukannya saat menjadi ketua OSIS dulu.
Ah, Kevin kau terlalu egois sampai melupakan teman-temanmu yang lain. Mereka belum tentu terbiasa membagi fokus sepertimu. Apalagi Kira yang sampai sekarang tidak pernah kudengar mendapat nilai A.
Aku merebahkan diri di atas tempat tidur seraya memeriksa layar handphone yang biasanya dipenuhi notifikasi pesan dari grup kelas. Namun, kali ini berbeda. Ada sebuah pesan yang sama sekali tidak pernah kuduga sebelumnya, dari my great rival.
Walaupun aku malas bertatap muka dengannya, tapi pesan itu tentu saja menarik karena dia sama sekali tidak pernah mengirimiku pesan kecuali jika aku yang memulainya.
Namun, di luar dugaanku. Isi dari pesan itu hanya "aku harap kau tahu penyebab dari keributan tadi siang" dengan sebuah foto yang tidak sempat kulihat sebelum membalas chat itu.
Kevin: Kau ini bicara apa Mr. Edward? Aku tidak mengerti
Steve: Dasar tidak peka! Foto itulah penyebab keributannya.
Biasanya aku akan sangat kesal jika pesanku tidak langsung dibalas jika orang tersebut sedang online. Namun kali ini berbeda. Aku justru kesal karena pesanku langsung dibalas dengan kata "dasar tidak peka".
"Oh, Steve aku sudah punya motif yang kuat untuk mengahajarmu seandainya kau tidak bisa karate," batinku seraya mengepalkan tangan dengan geram. Namun, sebelum membalas perbuatan jahatnya padaku, aku mencoba untuk mengendalikan emosi ini. Aku harus bersikap dewasa. Lagipula, sebaiknya kulihat foto yang dikirimkan padaku.
Ternyata sebuah surat.
To : Rosaline
Menyerahlah atau hidupmu akan segera berakhir
Surat yang cukup singkat, tetapi sangat misterius dan mengandung teror bagi si penerima. Dirulis dengan tinta merah sehingga terlihat seprti darah segar. Atau mungkin benar-benar darah. Wajar saja surat itu membawa keributan di kelas si penerima. Tunggu! Siapa Rosaline ini?
Kevin: Bagaimana menurutmu?
Steve: Kukira kau akan marah padaku setelah ini
Kevin: Tidak ada waktu untuk itu. Bagaimana menurutmu tentang surat ini
Steve: Entahlah, aku sedang malas memikirkannya
Aku menatap sedatar-datarnya pesan yang dikirimkan Steve padaku. Dasar! Seharusnya otak sejenius itu harus dipakai untuk berpikir, bukannya bermalas-malasan. Apa gunanya IQ seratus delapan puluh sembilan jika tidak digunakan? Ah, sebaiknya aku berhenti berharap padanya. Oh, iya. Apa yang lain sudah mengetahui hal ini juga?
Kevin: Hei, Mrs. Ishida. Apa kau sudah tau tentang ini?
Aku mengirimkan foto itu pada Kira bersamaan dengan pesan yang tertulis di layar handphone, berharap semoga mendapat respons positif darinya. Tidak seperti Steve yang menyebalkan itu.
Kira: Dasar kurang update! Aku sudah tau itu
Lagi-lagi kekesalanku meningkat drastis membaca balasan dari gadis oriental itu. Ternyata mereka berdua sama sekali tidak jauh berbeda ya. Bahkan mungkin mereka adalah pasangan yang sudah ditakdirkan untuk bersama.
Kevin: Kau tidak perlu mengataiku, Mrs. Edward!
Kira: Kau juga tidak perlu memanggilku dengan nama belakang Steve! Kau pikir kami sudah menikah?!
Kevin: Iya, iya maaf
Kira: Aku juga minta maaf
Aku ingin tertawa jika menyadari ini. Aksi saling mengatai via online akhirnya berakhir dengan sebuah acara maaf-maafan. Ah, seperti waktu hari raya saja. Aku akan merindukan saat-saat seperti ini.
Kira: Aku cuma lagi kebawa emosi
Kevin: Kenapa?
Kira: aku nggak suka sama si penerima surat ini. Dia itu temen SMP ku tapi nyebelin banget. Memang sih dia itu pinter. Tapi dia cuma mau nyari ketenaran aja. Wajar aja sih kalo banyak yang benci sama dia. Eh, maaf. Jadi curhat nih : )
Kevin: Iya nggak papa. Makasih infonya
Kira: Ada lagi? Aku ngantuk nih
Kevin: Ya udah tidur aja sana
Aku segera menutup aplikasi chat itu dengan sedikit rasa puas. Setidaknya ada sedikit petunjuk tentang si penerima surat ancaman. Meskipun jumlah kekesalanku tak sebanding dengan informasi yang aku dapat, tapi kurasa ini bisa sedikit mengurangi rasa bosan.
Walaupun aku menyukai tantangan, aku tetap berharap semoga saja tak ada hal buruk yang terjadi besok dan hari-hari berikutnya. Aku tetap berharap semoga angka kriminal di kota ini tidak setinggi dulu, seperti yang Kira katakan.
------x---x------
Keesokan paginya, suasana kelas cukup riuh. Pelajaran biologi tidak ada yang mengajar. Bu Indri tidak bisa masuk kelas karena sibuk membantu OSIS yang sedang mempersiapkan acara hari ulang tahun sekolah. Aku sudah berkali-kali mengingatkan mereka agar tidak ribut di kelas dan mengerjakan tugas yang diberikan. Tetapi mereka tetap tidak mau mendengarkan. Biar saja guru BK datang kemari lalu memarahi mereka.
Pikiranku melayang pada surat ancaman itu. Sejauh ini memang tidak ada hal buruk yang terjadi selain keributan saat jam kosong. Syukurlah tidak terjadi apa-apa. Mungkin ini hanya perbuatan orang iseng yang ingin mencari sensasi walaupun aksinya hanya viral di sekolah. Meskipun begitu, surat ancaman itu tetap saja membuatku penasaran.
"Kevin!" Entah menagapa aku menjadi berhalusinasi mendengar suara seorang gadis yang memanggil namaku hanya gara-gara selembar kertas.
"Kevin!!" Suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras dari sebelumnnya. Aku menoleh untuk memastikan jika ini bukan ilusi. Hasilnya, aku terkesiap ketika menyadari jika Mia yang berdiri di dekatku entah sejak kapan sudah memasang ekspresi kesal karena diabaikan.
"Astaga, Kevin ngelamun, nih." Kira terkekeh melihat raut wajahku yang menampakkan rasa kaget sekaligus bingung yang mungkin terlihat lucu di matanya.
"Kenapa?" tanyaku datar.
"Aku mau izin ke toilet," jawab Mia ketus.
"Oke, cepetan ya. Jangan lama-lama," balasku seraya memijat pelipisku yang terasa pening sekali. Tidak, aku ini bukan penderita vertigo.
"Iya, nggak akan lama, kok," sahut Mia lalu pergi seraya menarik lengan Kira keluar dari kelas. Setelahnya, aku memandangi seluruh penghuni kelas yang melakukan kegiatannya masing-masing. Mereka terlihat bahagia, tanpa beban. Tidak sepertiku. Oh, astaga. Kenapa aku justru melamun di saat-saat seperti ini?
"Kevin!" Suara itu membuatku terkejut, lagi. Tetapi jelas itu sama sekali bukan suara Mia yang kembali lagi. Itu adalah Sisi yang dengan santainya mengabaikan tugas individu yang diberikan Bu Indri.
"Ciee ..., lagi ngelamun nih ceritanya," ucapnya. Aku tidak menaggapi, masih memegangi kepalaku yang semakin terasa pusing karena keributan yang yang tak kunjung berhenti ini.
"By the way, kamu tau siapa si Rosaline itu?" tanyanya sembari mengambil tempat duduk tepat di depanku. Aku menghela napas karena kupikir dia datang kemari untuk mengalihkan perhatianku.
"Iya, katanya dia itu adik kelasnya Kira waktu SMP," jawabku singkat, karena hanya itu yang aku tahu. Sedangkan yang lain menurutku tidak terlalu penting. Termasuk ketidaksukaan Kira pada gadis itu.
"Hmm ... jadi gitu ya?" komentar Sisi singkat. Mungkin karena informasi yang ia dapat tak jauh berbeda dariku. Mengingat jarak antara rumah keduda gadis itu yang hanya lima meter.
"OMG! So sweet banget sih!" teriak Erlyn membuat kaget teman sekelas. Hampir semua pasang mata tertuju pada gadis aneh itu. Aku melirik sekilas padanya. Itu semacam isyarat 'dia kenapa, sih?' Sisi hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban.
"Eh, kalian. Jangan pura-pura nggak tau ya. Jangan sok-sokan pake bahasa tubuh segala. Aku udah tau, kok. Kamu habis jadian sama Kevin kan?" tanya Erlyn dengan gaya sinis khasnya yang tak jarang membuat Sisi sebal dengannya.
Aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjelaskan kesalahpahaman ini. tidak mungkin aku akan mengatakan jika kami sedang menyelidiki sebuah kasus. Oh, aku sungguh berharap Sisi bisa menjelaskan pada mereka tanpa membocorkan tentang misi rahasia kami.
Seperti harapanku, Sisi segera bangkit dari kursi lalu mengahmpiri si pembuat kehebohan.
"Iya, bener. Aku udah jadian sama Kevin. Emangnya kenapa? Kamu nggak suka, hah?!" tanyanya sinis. Hah, dia bilang apa?!
"Hmph, setidaknya aku peringkat ketiga di kelas ini. Dan itu artinya, aku lebih pantes dapetin dia daripada kamu!" sergah Sisi dengan menekankan kata kamu. Aku hanya bisa menepuk dahi mendengar ucapan Sisi yang bertolak belakang dengan ekpektasi.
"Dan satu hal lagi yang harus kamu inget baik-baik. Karena sekarang aku udah resmi jadi pacarnya dia, aku nggak mau liat kamu dekat-dekat dengan Kevin-ku lagi. Camkan itu!" Sisi berseru dengan menambahkan sedikit tatapan tajam lurus ke mata lawan bicaranya. Kacamata tipisnya memantulkan cahaya matahari, membuat tatapan itu menjadi lebih seram.
"Apa yang kamu lakukan, Sisi? Malu-maluin tau!" bisikku pada Sisi yang kebetulan lewat di sampingku saat akan kembali ke tampat duduknya yang semula.
"Penjilat seperti dia pantas mendapatkannya," jawab Sisi dengan berbisik juga. Aku mengernyitkan dahi, meminta penjelasan lebih lanjut. "Bukan apa-apa. Oke, aku pergi dulu, ya. Jangan lupa janji kita nanti sore ya, Kevin sayang."
Entah mengapa ucapannya membuatku bergidik ngeri. Sampai usiaku delapan belas tahun, belum pernah aku dipanggil dengan nama itu. Belum lagi caranya mengucapkan kata "sayang" menurutku mengungkapkan apa yang seharusnya ia katakan, membuat ratusan voltase listrik seakan mengalir di urat sarafku dalam waktu yang bersamaan.
Apalagi jika mengingat kasus surat ancaman aneh bin membingungkan yang tak kunjung menemukan titik terang. Kepalaku benar-benar jadi pusing tujuh keliling. Satu hal lagi, kenapa Mia dan Kira belum kembali dari toilet? Apa yang mereka lakukan sehingga mereka lama sekali? Seingatku jarak kelas kami dengan toilet tidak terlalu jauh.
Tiba-tiba, suara pintu kelas dibuka membuyarkan lamunanku. Kedua gadis itu telah kembali. Mereka terlihat seperti atlet lari marathon yang baru saja selesai berlomba. Tanpa pikir panjang, aku segera berjalan mendekati mereka untuk meminta keterangan.
"Kalian baru kembali? Apa saja yang kalian lakukan?! Ini sudah hampir pergantian jam!" seruku dengan emosi yang sulit kukendalikan akibat insiden tadi. Meskipun sebenarnya, masih ada rasa kasihan di dasar hatiku ketika melihat mereka seperti itu.
"Udahlah ... Kevin. Marahnya nanti aja, deh," ucap Kira dengan napas tersengal.
"Kalian kenapa, sih?" tanyaku penasaran. Kali ini, aku berusahar semaksimal mungkin agar tidak menampakkan ekspresi kemarahan.
"Kita ... kita nemuin ini di toilet." Mia menyerahkan selembar kertas yang kemudian kubaca tanpa banyak komentar.
"Aku tidak menyangka ternyata kau memberiku kesempatan untuk maju selangkah lebih jauh darimu. Aku tidak menyangka, kau membiarkan aku menerkam seekor anak kelinci yang telah kuincar selama ini. Permainan ini menjadi terasa membosankan. Aku harap kau segera menghentikanku. Aku menantangmu untuk membuat permainan ini menjadi happy ending, atau semuanya akan berakhir mengerikan. Untuk hari ini, aku rasa sudah cukup. Aku akakn kembali lagi besok. Good luck, Kevin Alfyan."
Akhirnya surat itu berakhir dengan namaku. Apa artinya ini? Tantangan? Oke, aku memang suka. Tetapi kenapa ada istilah aneh seperti 'happy ending' atau 'berakhir mengerikan'? Aku berdecih pelan. Ini membuatku semakin tidak mengerti saja.
"Apa ini? Aku tidak pernah membiarkan orang lain menang dariku tanpa syarat," ujarku dengan sedikit nada sarkastis. "Apa hanya karena ini kalian jadi terlambat masuk kelas?"
"Sebenarnya bukan karena itu." Mia berjalan mendekat kemudian membisikkan sesuatu. Aku hanya bisa mendengarnya samar-samar. Karenanya, kucoba untuk memperhatikan kalimat yang dibisikkannya hingga aku benar-benar merasakan ratusan voltase listrik itu mengalir di seluruh tubuhku.
"Oh ini benar-benar mengerikan."
*
Jangan lupa vote dan comment ya 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top