File 25

"Hei, apa yang kamu lakukan di sini, hah?!"

"Pergi sana! Kami tidak ingin dekat-dekat denganmu!"

"Iya, benar. Pergi dari sini payah!"

Aku terpegun. Tidak, pasti ada yang salah dari semua ini! Tidak mungkin aku kembali lagi ke masa itu. Ini semua pasti hanya mimpi. Ya, pasti hanya mimpi. Tapi, kenapa semua ini terasa sangat nyata? Ini terlalu nyata untuk disebut "hanya mimpi."

"Semua ini membuatmu muak. Iya, kan?" Suara itu membuatku tersentak kaget. Tanpa pikir panjang menoleh untuk memastikan siapa yang bicara padaku di tempat temaram seperti ini.

"Kau ini siapa?" Aku memicingkan mata, mengamati laki-laki itu dari atas sampai bawah, hingga aku menyadari satu hal. Aku dan dia sangatlah mirip. Kecuali mata yang berwarna biru navy, semuanya sama persis denganku. Termasuk suaranya yang membuatku terkesiap.

"Yah, sudah kuduga kau tidak bisa mengenali dirimu sendiri," ucapnya santai, benar-benar tanpa beban.

"Diriku sendiri? Jangan mencoba menipuku. Kita memang mirip, tapi bukan berarti kita adalah orang yang sama," sahutku.

"Payah! Apa kau tidak bisa memakai otak geniusmu itu untuk berpikir?" ejeknya. "Aku tidak berbohong. I'm your dark side. Kepribadianmu yang lain," terangnya. Aku kembali terpegun. Apa tadi dia baru saja mengatakan ... dark side? Bagaimana mungkin aku memiliki kepribadian ganda?

"Sekarang kau mengerti? Akulah yang waktu itu hampir membunuh Kevin. Akulah yang mengambil alih kendali tubuhmu. Itulah sebabnya, kau tidak ingat apa pun setelah membuat temanmu berada di ambang kematian," jelasnya lagi. Aku membelalak tidak percaya. Bagaimana mungkin aku bisa melakukan hal sekejam itu pada Kevin?

"Nah, mungkin sebaiknya aku memanggilmu 'my little boy' saja." Laki-laki yang mengaku sebagai sisi gelapku berjalan mendekat perlahan. "Tanpa kau sadari, kita sudah melalui semua penderitaan itu bersama. Saat kau merasa sendiri, sebenarnya aku selalu ada bersamamu. Sama sepertimu, aku juga sudah muak. Jadi, aku kasihan sekali padamu, my little boy. Tidak seharusnya kau mengalami semua ini di usia yang masih tergolong belia."

"Aku tidak butuh simpati darimu!" sergahku seraya dengan keras menepis tangan kanannya yang terulur.

"Dengarkan aku dulu. Setelah sekian lama, hatimu yang beku itu mulai mengenal kata 'teman', mulai menyadari keberadaan kasih sayang. Gadis itu bahkan membuatmu bisa tersenyum kembali," katanya tanpa intonasi.

"Lalu apa yang kau inginkan? Aku tidak akan membiarkanmu mengambil alih tubuhku untuk melukai mereka!" balasku.

"Aku tahu itu, my little boy. Mereka sangat berarti bagimu. Aku hanya ingin membantu melindungi mereka," jelasnya sambil merangkul pundakku. Aku tidak memberontak. "Sejauh ini, kau mengira si pembunuh di sekolah ingin membunuh mereka kan?" Aku mengangguk samar.

"Kemampuan karatemu belum setinggi gadis itu. Kau juga belum terlalu bisa mengaplikasikan hukum fisika yang kau pelajari dalam sebuah pertarungan." Entah dia mencoba mengejekku atau apa, yang pasti dia terlihat sangat serius. "Karena itu, ayo buat kesepakatan," ajaknya. Aku mengerutkan dahi.

"Kesepakatan?"

"Iya, kesepakatan. Jika si pelaku mencoba untuk membunuh salah satu temanmu, biarkan aku mengambil alih. Tenang saja, aku tidak akan sampai melukai mereka. Aku hanya ingin memberi orang itu pelajaran. Bagaimana, kau setuju?" Aku tidak menjawab, masih sedikit ragu.

"Yah, sebagai sisi gelapmu, tentu saja aku memiliki aura pembunuh yang lebih kuat. Aku juga dua kali lebih teliti darimu. Terserah kau mau berkata apa, aku ini memang psikopat, sama seperti orang yang mencoba melenyapkanmu hari itu," ujarnya. "Tenang saja, kau tidak akan merasakan sakit yang berarti."

Membiarkannya menggunakan tubuhku untuk menghabisi nyawa orang lain memang bukan pilihan yang bagus. Aku tidak akan meminta bantuan kepada psikopat sekalipun dia adalah diriku sendiri. Tapi, membiarkan mereka mati di depan mataku jauh lebih buruk. Terutama dia.

Apa yang dikatakannya mungkin benar, aku tidak punya apa pun untuk melindungi mereka selain keinginan kuat. Selain itu, apa sisi gelapku benar-benar nyata?

"Walaupun aku ini kejam, aku tidak akan mengkhianatimu. Justru aku ingin mencoba menghindarkanmu dari kenangan buruk. Ayolah, jangan berpikir terlalu lama. Katakan 'ya' atau 'tidak'," katanya. Aku menarik napas dalam-dalam. Baiklah, aku tidak yakin ini ide bagus, tapi ....

"Ya, aku terima." Dia tersenyum miring mendengar keputusanku yang terbilang terlalu cepat ini.

"Bagus, my little boy. Aku tahu kau akan menyetujui perjanjian ini," ujarnya. Perlahan, bayangannya perlahan mulai memudar menyisakan cahaya temaram yang entah darimana datangnya.

Anehnya, cahaya itu semakin lama semakin terang hingga membuatku silau. Memaksa mataku mengerjap berkali-kali. Menarikku kembali ke dunia nyata, kamarku sendiri.

Ah, sudah kuduga itu pasti hanya mimpi.

Handphoneku berdering, menampilkan sebuah notifikasi. Dengan kepala yang masih terasa berdenyut aku meraihnya. Sebuah pesan yang cukup panjang namun intinya hanya satu, "kita akan menangkap pelakunya nanti malam."

Tanpa melihat nama pengirim, aku tahu jika itu dari Kevin. Masalahnya, di antara anggota tim detektif, tidak ada yang sadar jika aku bukan pelakunya kecuali dia. Selain itu, tidak ada orang yang rela membuang-buang waktunya dengan menantangku.

Baik, aku terima tantanganmu, Kevin.

------x---x------

Pukul 19:15, aku berdiri di koridor kelas XII sambil memandangi rembulan yang mulai menampakkan diri meskipun setengahnya berada di balik awan. Ini aku lakukan untuk mengusir rasa kesalku pada Kevin. Aku akui, rencana ini tidak buruk. Namun, yang membuatku kesal adalah caranya menentukan partner.

Sekilas, cara itu memang bagus. Tetapi yang dilakukannya menyisakan warna merah untukku benar-benar menyebalkan. Aku pasti tidak akan berpikir ini adalah kesengajaan seandainya dia tidak mengedipkan matanya kepadaku saat mengucapkan "good luck."

Aku sama sekali tidak membenci Kira. Sama sekali tidak. Tetapi aku hanya tidak tahu harus berbuat apa saat perasaan aneh yang tidak aku tahu namanya ini mulai menguasaiku. Saat ini, aku hanya bisa berharap suasana canggung ini segera berlalu. Namun, aku sama sekali tidak mengerti kenapa debar jantungku berbeda dari biasanya.

"Steve," lirih gadis itu dengan suara yang terdengar ragu-ragu. Aku menoleh, kebetulan dia berada tepat di belakangku. Pandangannya lurus ke arah lantai. Paranoid, aku sangat familier dengan raut wajah itu.

"Iya," sahutku. Aku berusaha untuk melakukan kontak mata, meskipun itu akan memperparah suasana awkward ini.

"Boleh aku memakai semua sisa dari kesempatan yang kau berikan?" tanyanya seraya merapatkan syal merah yang melingkar di lehernya. "Tolong jawab dengan jujur, kau bukan psikopat, kan? Kau bukan pelakunya?" tanyanya lagi. Oh, yang dia maksud pasti kesempatan yang kuberikan hari itu.

"Satu lagi, apa semua yang kau lakukan selama ini karena ... kau membenciku?" tanyanya lagi bahkan sebelum aku mengucapkan sepatah kata pun. Pertanyaan itu bagaimana aku harus menjawabnya? "Sesuai janjimu, tolong jawab pertanyaanku," pintanya.

"Kau harus menjawab pertanyaan itu, Steve. Sesuai janjimu!" batinku seraya berjalan mendekatinya hingga yang tersisa hanya jarak satu langkah, tersenyum tipis.

"Kira, pertanyaanmu memang ada dua, tapi aku anggap itu satu. Mungkin aku pernah berkata 'terlalu percaya terkadang membuat kita sulit menerima kebenaran.' Tapi, aku mohon Kira. Untuk kali ini saja, aku ingin kau percaya padaku," ucapku menenangkan. "Selama kau berpegang pada prinsip 'the truth is only one', aku akan selalu ada di pihakmu."

"Steve," lirihnya seraya menenggelamkan wajah di dadaku, menggenggam kerah sweater erat-erat. Tanpa kusadari, ujung bibirku semakin tertarik ke atas. Sesaat kemudian, aku mendengarnya membisikkan sebuah kata samar-samar. 'S-ki-a-yo.' Ah, apa maksudnya itu? Atau mungkin hanya aku yang salah dengar.

Mataku tertutup, mencoba untuk konsentrasi mendnegar kata itu. Namun sesaat kemudian terbuka lebar saat melihat sebuah bayangan seseorang dari ujung koridor yang menodongkan moncong pistolnya ke arah kami. Jika seperti ini, maka yang pertama terkena tembakan bukan aku, tapi ....

"Kira, awas!" seruku seraya mendekap tubuhnya lalu membiarkan hukum fisika bekerja, membuatnya jatuh. Syukurlah masih sempat. Suara tembakan itu terdengar beberapa kali. Jika bisa, aku tidak akan membiarkan Kira mendengar suara itu. Aku akan terus bertahan di posisi ini hingga orang itu kehabisan amunisi.

"Kau tidak apa-apa?" tanyaku sedikit cemas. Kira yang terlihat shock hanya bsia mengangguk lemah sambil melepaskan kerah sweaterku. Aku kembali melihat ke ujung koridor, orang misterius itu tampak memilih untuk kabur.

"Kira, tunggu aku di sini?!" Aku berlari cepat mengejarnya, meninggalkan Kira yang masih tampak kebingungan.

"Steve!" Kira mencoba mencegahku, tetapi aku tidak menghiraukannya dan memilih untuk mengejar orang yang telah mencoba menembak kami. Ya, aku benar-benar melakukannya, lagi.

Aku hampir saja berhasil menangkapnya sesaat sebalum bayangan orang itu menghilang pada saat melewati area ruang guru. Aku mencoba untuk mencarinya kemana-mana. Tetapi, sama sekali tidak ada orang yang mencurigakan. Baiklah, mungkin sebaiknya aku kembali saja. Nyawa Kira yang dipercayakan padaku lebih penting.

"Kira, maaf aku ...." Jantungku bagaikan berhenti berdetak saat aku tidak bsia menemukan gadis oriental itu di tempat semula. Gawat, sekarang dia yang menghilang!

"Kira! Kau ada dimana?!" seruku, tetapi tidak ada jawaban. Sial, aku ini payah sekali! Seharusnya aku tidak meninggalkan dia sendirian. Akulah yang paling bertanggung jawab di galaksi ini jika sesuatu terjadi padanya.

Tiba-tiba, aku mendengar suara aneh. Sepertinya dari arah ruang OSIS. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari ke arah sumber suara. Namun, aku segera menghentikan langkahku saat hampir bertabrakan dengan seseorang dari arah berlawanan.

"Steve, kupikir cuma aku sendiri yang denger," katanya. Aku mengernyitkan dahi, kupikir aku hanya salah dengar. Ternyata benar, ya?

"Yah, tidak mungkin kita bertiga bisa salah dengar bersamaan," sahutku. Kevin segera menyalakan flashlight di handphone lalu memeriksa ke dalam tempat yang diduga sebagai sumber suara.

"Oh ya, Steve dimana Kira?" tanya Mia. Terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya aku menjelaskan semuannya, termasuk tentang tembakan itu.

"Maaf, aku merusak rencanamu," ucapku dengan nada menyesal seraya menghampiri Kevin yang masih memeriksa ruang OSIS.

"Hm, tidak apa-apa. Sebaiknya kita segera temukan dia," sarannya sembari mematikan flaslight. "Lupakan saja soal tantanganku."

"Tidak masalah, aku sudah punya deduksi," balasku seraya tersenyum miring. Kevin ikut melakukan hal yang sama. Membuat Mia kebingungan melihat kami.

"Hei, kalian tahu siapa pelakunya? Bagaimana bisa?" tanyanya.

"Itu mudah sekali. Kau hanya perlu berhanti terlalu percaya pada seseorang," ujar Kevin dengan menekankan kata terlalu. Aku mengangguk setuju, dia satu pemikiran denganku. Mia hendak protes, namun sebuah suara berat membatalkannya.

"Ternyata kalian ada di sini, ya? Waktu istirahat sudah habis. Ayo kembali bekerja," titah Pak Erwin. "Tunggu, apa yang kalian lakukan di sini?" Pria itu berjalan mendekati kami.

"Yah, sederhana saja. Kami hanya sedang mennyelidki kasus pembunuhan berantai akhir-akhir ini," jawabku santai sembari berjalan menjauhi Kevin hingga aku tepat berada di belakang Pak Erwin.

"Kalian ini, kasus itu kan hanya bunuh diri," sahutnya.

"Tidak, mereka semua dibunuh," sanggahku.

"Dan kami tahu siapa pelakunya," Kevin menambahkan.

"Oh ya? Siapa pelakunya?" tanya Pak Erwin dengan nada penasaran.

"Tentu saja, ini rahasia. Tetapi karena Anda adalah guru kami, kami akan memberitahu Anda jika pelakunya adalah ...."

*

Hahahaha (ketawanya kek Light Yagami 😂😂) .... Jahat banget deh, Ichi potong chapternya di bagian paling menggantung. Emang biasa kan kalo di film detektif episodenya dipotong di bagian itu. Nggak papa, kalian bebas menduga siapa pelakunya sampai Ichi update lagi.

BTW, chapter ini adalah versi revisi yang entah ke berapa kali. Aslinya ini bisa jadi empat chapter lho. Tapi karena kebanyakan adegan gore, jadi terpaksa saya potong bagian itu. Selain itu ada beberapa adegan yang rencananya saya akan pindah ke seri ketiga. Jadilah sekarang yang semula 5K++ kata jadinya cuma 1,6K kata.

Jauh banget ya selisihnya.

Oh, ya. Setelah saya pikirkan lagi, juga dengan saran dari beberapa temen, saya putuskan untuk menceritakan masa lalu Steve secara utuh di spin-off. Soalnya nanti kalo di seri ketiga, takutnya nanti kasusnya malah nggak kelar-kelar, wkwk 😂.
.
.
.
.
.
.
.
.
Oh ya, kalo boleh tau, hari ini hari apa ya? Kok temen-temen di sekolah pada heboh gitu gara-gara 14 Februari?

Yang saya inget cuma 23 Februari karena hari itu adalah ulang tahunnya Kevin (dan saya sendiri wkwk .... 😂😂)
.
.
.
.
.
.
.
.
Oke, jangan lupa vote dan comment ya (biar Ichi cepet update 😂).

*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top