File 20
Aku hanya diam sambil melihat punggung ketiga temanku yang berjalan menuju gudang penyimpanan untuk melakukan penyelidikan. Aku menghela napas. Kasus ini lagi-lagi mengganggu pikiranku. Ada banyak sekali hal yang tidak aku mengerti dari kasus ini.
Kalau seandainya pelaku memang ingin membunuh Elisa, mengapa dia tidak melakukannya dan malah membiarkan gadis itu pingsan? Lalu, jika seandainya Elisa bukan terget utama, tujuan pelaku sebenarnya apa? Dan kalau memang benar anak itu bukan target utama, apa hubungannya dengan Für Elise?
Iya, aku tahu jika Für Elise adalah salah satu piece yang paling misterius. Tapi kenapa harus memakai itu? Selain itu, kelasku jaraknya cukup jauh dari kelasnya Elisa. Tidak mungkin flashdisk itu hanya kebetulan berada di sana. Kalau itu memang ulah pelaku, kenapa harus di laci mejanya Kira, bukan aku atau yang lain?
Aku kembali menghela napas. Kenapa pertanyaan ini banyak sekali? Aku tahu, duduk dan diam saja di sini tidak akan pernah memberiku jawaban. Seharusnya aku juga ikut menyelidiki kasus ini seperti yang dilakukan ketiga temanku. Tapi kenapa aku malah diminta untuk menjaga Elisa yang menurutku lebih pantas menjadi korban ketiga?
"Eh, kamu sendirian aja? Mana yang lain?" tanya Kevin yang baru saja kembali entah darimana.
"Kamu habis kemana aja, sih?!" Bukannya menjawab baik-baik, aku malah bertanya balik dengan nada yang agak keras.
"Kan udah aku kasi tau! Aku mau nyari udara segar," jawab Kevin dengan nada yang hampir sama.
"Iya, tapi kamu lama banget, sih! Kamu kan tau kalo aku nggak suka sama Elisa, dan kamu malah biarin aku di sini jagain dia!" Aku tidak mau kalah dari Kevin yang memang salah karena hanya pergi lalu kembali lagi tanpa membawa perkembangan apa pun.
"Lho, yang lain kemana?" tanya pemuda itu lagi. Aneh sekali. Kok hari ini dia seolah menghindar? Biasanya kan dia tidak pernah mau kalah.
"Mereka di gudang lanjutin penyelidikan. Dan kita di sini apa? Cuma diem aja dan nggak ngelakuin apa-apa," aku menjelaskan dengan sedikit sarkasme.
"Elisa udah sadar?" Seketika, aku hanya bisa menatap datar. Aduh, anak ini apa nggak punya pertanyaan lain? Kenapa sih dari tadi yang ditanyain Elisa lagi Elisa lagi?
"Liat aja sendiri." Aku memang malas kalau harus membahas soal Elisa yang tidak pernah berhenti membuatku kesal. Kevin hanya mengembuskan napas panjang kemudian segera masuk untuk memastikannya sendiri, tanpa banyak komentar.
"Oh ya, daripada kamu bengong, lebih baik kamu bantuin aku," katanya.
"Buat apa?! Liatin drama ngeselinnya itu? Aku udah bosen, kamu liat aja sendiri sana," aku menjawab ketus. Apa dia nggak liat kalo aku nggak suka sama Elisa? Kok dia malah nyuruh aku ikutan masuk sih?
"Aku serius nih. Soalnya, aku nggak yakin dia bisa bohong kalo liatin tatapan tajam kamu. Apalagi kalo ditambah sama kacamata kamu yang berkilat, aku yakin dia nggak akan berani ngasi info yang salah," Kevin menjelaskan. Walaupun kesal, aku tidak bisa melakukan apa-apa selain ikut masuk ke dalam ruang UKS.
Rasanya lebih baik aku diam berdiri di luar daripada harus duduk berhadapan dengan Elisa seperti gini. Melihat ekspresinya saja aku sudah mau muntah. Apalagi sekarang, aku harus melihat drama menyebalkan yang aku maksud tadi. Alasannya? Sudah pasti karena ada si mantan ketos di sini.
"Jadi, namamu Elisa?" Kevin memulai interogasinya. Aku menghadap arah lain, malas mendengar cara bicara Elisa yang harus diberi tambahan bumbu segala supaya terkesan manis. Huh, aku bisa kena diabet kalo di sini terus.
"Ternyata kalian di sini ya?" Aku sedikit terkejut. Itu Pak Erwin! Salah satu guru paling keren di sekolah ini. Yah, selain karena masih muda dan memiliki perawakan yang atletis, dia juga baik dan sama sekali tidak pernah marah. Karena itu banyak siswi dari sekolah ini yang menyukai dia. "Apa Elisa sudah sadar?"
"Sudah, Pak," Kevin menjawab singkat dengan sebuah senyuman. Mau tidak mau aku juga ikut tersenyum.
"Elisa, sebaiknya kamu pulang saja. Ayo, Pak Guru antar," tawarnya dengan ekspresi ramah. Elisa hanya mengiyakan, membuatku semakin kesal. Oke, aku akui. Aku juga lumayan suka pada Pak Erwin
"Kalian juga sebaiknya segera pulang. Kita lanjutkan lagi besok. Kecuali kalian ikut dalam penampilan," ucap Pak Erwin sebelum pergi. "Atau, kalian mau Pak Guru antar juga?"
"Tidak perlu kok, Pak. Rumah kami dekat," jawab Kevin. Aku ikut senyum sebagai pengganti jawaban yang sama, padahal rumahku cukup jauh dari sini.
"Oh, ya sudah. Pak Guru pergi dulu, ya," pamitnya. Kami hanya mengangguk sambil tersenyum ramah. Hening selama beberapa saat setelah bayangan Pak Erwin benar-benar menjauh dari ruangan ini. Kevin hanya terdiam. Ekspresi wajahnya berubah serius.
"Huh, dasar! Mentang-mentang Pak Erwin itu keren, dia seenaknya aja bertingkah kek gitu!" omelku setelah suara langkah kaki Elisa tidak terdengar lagi.
"Aku tidak yakin Elisa akan aman setelah ini," ucap Kevin samar, namun masih bisa kudengar dengan kehenigan di sekitar kami.
"Biarin. Aku nggak peduli walaupun dia mati," balasku tak acuh. Tidak ada protes seperti saat di kelas. Kevin terlihat sedang berpikir keras sehingga tidak terlalu memperhatikanku. Beberapa saat kemudian menghela napas berat. Pikirannya pasti menemui jalan buntu. Tiba-tiba, suara langkah kaki kembali terdengar.
"Maaf ya, temen-temen! Aku agak telat dikit," ujar Mia sambil berjalan cepat mendekati kami. Tadi dia memang pulang lebih dulu dan berjanji untuk kembali lagi setelah lima belas menit. Tetapi ini sudah melebihi perjanjian.
"Ya sudah, ayo kita pergi," putus Kevin. Membuat kami berdua menatapnya keheranan. "Kita harus menyelidiki beberapa tempat di sekolah ini," jelasnya sebelum satu pun dari kami bertanya.
------x---x------
Kakiku terasa pegal setelah berjalan tanpa henti hampir selama tiga puluh menit. Kevin memang berkata "menyelidiki beberapa tempat". Namun pada kenyataannya, dia sendiri yang berjalan paling depan seolah tidak memiliki tujuan sama sekali. Sedari tadi, dia hanya berjalan tanpa arah yang pasti dalam diam. Aku dan Mia yang hanya bisa mengekor tidak tahu harus berkata apa lagi atas tindakan gila ini. Aku menyebutnya gila karena tanpa sadar kami sudah berjalan mengitari bangunan sekolah ini.
"Ayolah, Kevin. Sampai kapan kita akan berjalan terus kek gini?" gerutu Mia untuk yang ke sekian kalinya setelah berkali-kali tidak dihiraukan.
"Sampai aku menemukan benang merah dari kasus ini," jawab Kevin singkat tanpa menoleh satu derajat pun.
"Oh, Kevin. Kakiku bisa patah kalo gini terus. Kamu nggak capek?" tanya Mia yang sama sekali tidak setuju dengan tindakan gila Kevin. Bagiku, ini sama sekali tidak terlalu buruk dibandingkan harus menginterogasi Elisa.
"Tidak apa-apa. Nggak cuma otak, kaki juga butuh olahraga tau."
"Memangnya jalan tanpa tujuan kek gini bsia bikin otak kamu lebih encer?" Kali ini aku yang buka suara. Bagaimana pun, berjalan terus seperti ini tetap saja membuatku lelah. Tidak ada respons.
"Lagian tadi kamu bilang menyelidiki beberapa tempat, kan? Bukannya menyelidiki semua tempat," ujarku lagi, mengingatkan jika dia sudah lupa. "Kamu ini udah gila, ya?"
"Tapi setidaknya, aku bisa lebih konsentrasi dengan cara seperti ini," sahutnya.
"Konsentrasi darimana? Dari Hongkong?" Mia tampak tidak percaya. Aku juga berpikir hal yang sama. Pasti dia sedang mengarang alasan agar tidak perlu menjelaskan tujuan utamanya.
"Oh, jadi tadi kamu jalan-jalan tanpa arah tanpa tujuan kek gini juga, ya?" tebakku.
"Yah, begitulah." Sudah kuduga, dia pasti sudah gila.
Kembali hening selama beberapa saat. Kevin masih berjalan tanpa arah yang pasti seperti tadi, seolah tidak mengindahkan interupsi dari Mia, apalagi dariku. Mia yang dia sukai saja dia abaikan. Aku memang tak jarang dibuat heran oleh sikap yang selalu saja seperti ini saat keputusannya tidak bisa diganggu.
"Tunggu sebentar!" seru Mia. Aku menjadi sedikit terkejut. Kevin menghentikan langkahnya lalu menoleh dengan wajah keheranan.
"Ikuti aku!" Kali ini dialah yang memimpin di depan, memaksa kami mengikutinya secara tidak langsung.
Aku dibuat semakin tidak mengerti dengan sikapnya. Sebenarnya apa yang dia pikirkan? Apa dia juga tertular penyakit aneh milik Kevin? Atau dia kembali merasakan seperti sebelum-sebelumnya. Entahlah, aku juga tidak tahu pasti apa yang dia rasakan. Dia selalu menolak jika aku meminta penjelasan. Apa dia punya kemampuan ESP?
Langkahnya semakin lama menjadi semakin cepat dan lebar. Dia terus mengajak kemi menyusuri koridor yang mulai gelap. Begitu juga dengan kebingunganku yang semakin lama semakin besar.
"Mia, sebenarnya ada apa ini?" tanya Kevin penasaran, sukses menghentikan langkah lebar Mia. Atau mungkin, bukan dia yang membuat gadis itu berhenti.
"Aku hanya merasa ... ada hal buruk yang terjadi di sekitar sini," jawab Mia yang mulai tersengal sendiri karena aksinya.
"Mungkin itu cuma perasaan kamu, Mia," ujarku.
"Entahlah, tapi aku .... Sebelah sini!" serunya sambil menarik lenganku. Kevin yang penasaran mau tidak mau mengikutinya.
"Hei, Mia! Ini kan hanya ruang gan ... ti."
*
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Mia keliatan kek esper ya? Maaf, bukannya bermaksud plagiat. Tapi keseringan baca WISH series bikin saya ketularan sedikit gaya narasi kak rachmahwahyu. Serius, Minnasan. Saya juga penggemar WISH series. Tapi saya nggak plagiat sama sekali.
Jadi buat yang belum tau, ESP (Extra Sensory Preception) kalo di Indonesia, lebih dikenal istilah indra keenam, dan yang punya kemampuan itu lebih dikenal dengan istilah indigo.
Jadi, menurut kalian ada apa dengan ruang ganti? Kenapa Kevin ngomongnya kek gitu? (Kebiasaan nih di akhir chapter ngasi pertanyaan sok misterius 😂).
Oke, jangan lupa vote dan comment ya 😊.
See you on the next file.
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top