File 2
Di luar kelas. Perpustakaan yang menjadi tujuan kami hanya tinggal lima belas meter lagi.
"Ini semua gara-gara Kevin," ujar Sisi dengan nada kesal. Aku yang menjadi pelampiasan kemarahan langsung berbalik badan, menghadap Sisi yang kebetulan berada tepat di belakangku.
"Lho, kok aku sih? Salahku apa?!" Aku menatap tajam ke matanya. Sisi juga balik menatapku tajam.
"Ya iyalah. Kalo bukan karena kamu, kita nggak akan ikut-ikutan terlibat masalah kayak gini," balas Sisi tanpa rasa bersalah.
"Apa?!" seruku kesal. Kenapa gadis ini sempat-sempatnya saja membuat emosiku tidak terkendali.
"Eergh ... Riyan, apa aku dan Sisi juga dipanggil pak guru?" tanya Kira pada Riyan yang berjalan paling depan.
"Oh, iya. Aku lupa bilang kalo sebenarnya Kak Mia yang suruh aku buat panggil kalian berdua," ucap Riyan. Tentu saja aku tidak termasuk.
"Yeayy ...! Kita aman!" seru Sisi dan Kira senang sembari beradu telapak tangan. Aku hanya bisa berdecih pelan. Apa aku memang ditakdirkan untuk ini?
"Ayo cepat. Kak Mia udah nunggu di depan perpus, tuh," ucap Riyan sambil menunjuk seorang gadis yang berdiri di depan ruang perpustakaan. Seketika, tubuhku seakan membeku.
"Kenapa dia harus di sana?" pikirku.
"Ayo cepat Kevin!" seru Kira seraya menarik lenganku. Sisi juga ikut-ikutan menarikku. Mereka pasti sudah sangat mengerti keadaanku saat ini. Aku benar-benar tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Hingga aku hanya bisa pasrah ketika mereka berdua terus menarikku.
Sesampainya di tempat tujuan, tidak ada siapapun kecuali Mia dan Bu Indri, pembina OSIS. Tadinya aku berpikir kalau di sana sangat ramai. Tapi, untunglah hanya ada mereka berdua dan beberapa orang siswa yang lalu-lalang. Jadi, hanya mereka yang bisa melihat tingkahku yang berubah drastis.
"Hai! Akhirnya kalian datang juga!" seru Mia dengan wajah yang menunjukkan senyum semringah. Akhir-akhir ini, dia jarang sekali memakai kacamata minusnya. Dia berkata jika itu hanya akan menyulitkan dirinya. Lagipula, dia masih bisa melihat dengan jelas tanpa kacamata itu. Tapi ... yah, mau tidak mau aku harus terpesona melihatnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan mendekati Bu Indri tanpa memutar pendangan satu derajat pun. Meskipun sebenarnya, aku ragu jika dialah yang meminta Riyan untuk memanggilku. Tapi, aku tidak punya pilhan lain. Daripada aku terlihat aneh di depan yang lain nanti gara-gara salah tingkah.
"Maaf, Bu. Apa Ibu memanggil saya?" tanyaku. Bu Indri yang tadinya terlihat tenggelam dalam pemikirannya sendiri menoleh.
"Eh! Tidak kok. Tapi, karena kamu sudah datang, jadi Ibu tidak perlu mencari kamu kemana-mana," terangnya. Sedikit kekesalanku yang tadinya sudah turun drastis mulai naik kembali karena sekarang aku sadar jika Riyan hanya berbohong. Namun, tentu saja aku tidak boleh mengeksposnya di depan Bu Indri. Aku harus bersikap dewasa.
"Apa yang bisa saya bantu?" tanyaku ramah. Kuharap tak ada setetes pun kekesalan yang tergambar di wajahku ini.
"Ibu minta kamu awasi adik-adik kelasmu yang sedang mempersiapkan acara ulang tahun sekolah. Kamu masih berstatus sebagai OSIS di sekolah ini. Tentu saja banyak tanggung jawab untuk kamu sebagai OSIS senior. Tolong beritahu yang lain juga, ya." Aku hanya tersenyum sembari mengangguk patuh. "Ibu pergi dulu, ya," ucap Bu Indri kemudian berjalan menuju ke arah ruang guru yang tak terlalu jauh dari tempatku berdiri.
"RIIYAAAN!!" seruku. Saking kesalnya, suara tenorku langsung keluar tanpa bisa kuperkirakan sebelumnya. Riyan yang mendengarnya seketika berlindung di balik tubuh Mia seperti hamster kecil yang ketakutan. Benar-benar aneh bagi laki-laki usia enam belas tahun. Apalagi jika mengingat score terakhirnya yang berada jauh di atasku di game yang kami mainkan. Bahkan di atas gamer terbaik di kota ini.
"Maafkan aku, Senior. Aku tidak bermaksud berbohong," ucapnya dengan suara sedikit bergetar.
"Sudahlah, Kevin. Aku yang memintanya untuk melakukan itu," sambung Mia. Aku hanya menghela napas mendengarnya lalu duduk di sebuah bangku panjang depan perpustakaan. Begitu ya. Jadi apa yang dia rencanakan. Apa penolakannya beberapa bulan yang lalu belum cukup? Sekarang dia mempermainkanku seperti ini.
"Sekarang, kita sudah di sini. Jadi, langsung aja bilang kenapa kamu manggil kita," ucap Sisi dengan raut wajah yang sudah kembali seperti semula.
"Tidak ada. Aku hanya merindukan waktu-waktu dimana kita berkumpul seperti ini dan membahas kasus-kasus yang sulit," jelas Mia. "Hanya saja .... Ah, Riyan! Bisa tolong panggilkan Steve juga?"
"Maksudmu Kak Edward?!" Riyan sedikit berteriak mendengar nama itu. Memangnya ada apa dengannya?
"Tidak! Aku tidak mau! Lebih baik aku bertemu vampire daripada aku harus berbicara dengannya." Mia terlihat sedikit kecewa karenanya. Aku sama sekali tidak berkomentar. Aku juga sedang malas bertemu dengan rivalku itu.
"Lho, kok gitu? Kamu nggak takut vampire?" tanya Sisi keheranan. Kira juga memperlihatkan ekspresi yang sama herannya, menuntut penjelasan.
"Takut sih. Tapi kan vampire nggak mungkin keluar siang-siang. Mereka juga punya kelemahan. Sedangkan Kak Edward itu nyaris nggak punya kelemahan. Belum lagi tatapan dinginnya itu. Siang aja serem, apalagi kalo malem," terang Riyan dengan gaya yang sedikit berlebihan ala penggemar film Twilight.
"Ah, Riyan. Realistis dikit, dong. Dunia ini tak seseram film horor," balas Sisi seraya memperbaiki posisi kacamatanya yang sedikit turun. Mia mengangguk mengiyakan. Katakan saja jika dia sedang membela laki-laki menyebalkan itu. Sebenarnya, aku sudah tahu jika dia menolakku karena dia lebih menyukai seorang psi- ... ehm, lupakan saja.
"Aku justru berpikir kalo dia itu psikopat, lho," tambah Kira dengan ringannya. Ucapan yang tepat mewakili dugaan tak berdasarku juga.
"Kamu juga yang realistis dikit dong, Kira. Kamu jangan nuduh tanpa bukti!" sergah Sisi lagi. Mia hanya mengangguk setuju. Sudah kuduga dia akan membelanya lagi.
"Aku punya bukti. Steve itu anti-sosial dan tidak punya empati. Dia juga punya IQ seratus delapan puluh sembilan. Dan dilihat dari sikapnya, dia sangan tenang dan tidak terburu-buru dalam hal apapun. Dia juga sangat pandai dalam menyusun rencana. Dan jika kalian perhatikan, dia memiliki karakteristik seorang psikopat," jelas Kira dengan wajah yang entah mengapa terlihat berkeringat dingin. Meskipun tidak objektif, sepertinya aku harus setuju pada analisis itu.
"Hmm ... bener juga. Tapi, kamu kan the Queen of Karate di sekolah ini. Ngapain kamu takut? Kan kamu bisa ngelawan kalo dia mau bunuh kamu." Bukannya menenangkan, Sisi malah membuat Kira terjebak dalam paranoidnya. Ditambah lagi dia sama sekali tidak mennyanggah, membuatku semakin yakin pada pemikiranku, Steve memiliki gangguan mental.
"Oh iya, apa Senior Kevin juga punya kepribadian ganda? Biasanya kan dia nggak pernah mau diem," ujar Riyan dengan santai. Aku berusaha untuk tidak tersinggung. Hanya saja, aku tetap tidak suka dengan frasa ‘kepribadian ganda.’
"Kalian ini ya, beraninya cuma ngomongin di belakang. Coba nanti kalo dia dateng, kalian ngomong langsung aja." Aku mencoba untuk menantang mereka yang sudah pasti tidak mau. Namun, belum sempat tantangan itu dijawab, orang yang sedang kami bicarakan muncul lalu mengambil posisi favoritnya, bersandar di dinding. Hmph, panjang umur juga dia.
"Eergh ... siang, Steve," sapa Mia ragu-ragu. Yang disapa sama sekali tidak merespons, hanya tersenyum tipis. Saking tipisnya, aku kesulitan untuk menemukan perubahan ekspresi dari wajah datarnya.
"Kami baru aja mau nyariin. Tapi, kamu udah duluan dateng," ucap Mia mencoba sedikit ramah pada Steve yang sama sekali tidak berbicara sejak kedatangannya. Aku menjadi sedikit kesal. Kenapa Mia sangat mudah jatuh cinta pada orang yang sama sekali tidak pernah berbicara dengannya?
"Tadi aku mendengar keributan dari kelas sepuluh. Aku ingin tahu apa yang terjadi. Tetapi sepertinya, bukan hal penting." Steve akhirnya mengeluarkan suara beratnya yang sangat jarang sekali dia gunakan itu. Yah, aku sengaja menggunakan pleonasme.
"Kok kamu nggak cek aja?" tanyaku dengan maksud agar dia segera pergi.
"Hanya membuang waktu," jawabnya singkat. Aku hanya bisa mendengus kesal. Tidak bisakah dia memperlilhatkan sisi baiknya walau hanya sebentar?
Tapi ngomong-ngomong, aku cukup tertarik dengan kalimat "aku mendengar keributan". Biasanya sangat jarang ada keributan tanpa sebab dari sana. Bahkan tidak pernah sama sekali. Jadi, sebenarnya apa arti semua ini?
Apa keributan itu memiliki hubungan dengan sebuah peristiwa besar yang sedang atau akan terjadi?
*
Jangan lupa vote dan comment ya 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top