File 18

Aku tidak bisa menemukan siapa pun di dalam gudang penyimpanan selain Riyan. Elisa juga sudah tidak ada di tempatnya. Mungkin seseorang telah memindahkan anak itu ke tempat yang lebih aman.

Kevin mulai tampak kesal karena hingga sekarang belum ada yang meladeni satu pun dari pertanyaannya. Dia terus saja mengulangi pertanyaan yang sama hingga aku bosan mendengarnya dan memilih untuk menjelaskan kronologi kejadian dengan bahasaku sendiri dan tidak terlalu detail. Untunglah dia cukup puas dengan informasi yang kuberikan dan melakukan sedikit penyelidikan tanpa menunggu lama.

"Hei, kalian pada ngapain di sini?" tanya Mia yang datang entah darimana dan entah bagaimana bisa dia mengetahui keberadaan kami. Sekarang, dia pasti akan meminta detail kejadian yang aku dan Sisi alami di tempat ini, yang bahkan aku sendiri belum terlalu mengerti.

"Oh, akhirnya kalian dateng juga. Aku barusasn dari UKS. Elisa udah aman kok. Aku udah minta ke petugas PMR yang jaga buat ngawasin siapa aja yang keluar masuk," papar Sisi.

“Nice work! Semoga dia masih sempat mengingat ciri-ciri pelaku," kata Kevin tanpa menoleh. Dia masih sibuk mengamati benda-benda yang berserakan di lantai gudang. Sesekali, aku mendengar laki-laki itu bergumam. Jika sudah begini, dia pasti sudah mendapat kesimpulan, dan enggan memberitahukannya kepada kami.

"Ada yang janggal. Jika pelaku memang berniat membunuh Elisa, kenapa dia tidak melakukannya dan hanya membiarkannya pingsan? Lalu, kenapa barang-barang ini bisa berserakan padahal seingatku kemarin sudah dirapikan? Jadi menurutku, Elisa bukan target utama pelaku. Melainkan hanya sebagai pengalih perhatian," jelas Kevin. Aku mengangguk paham, cukup masuk akal.

"Tapi, gimana kalo Elisa memang targetnya?" tanya Sisi, membuat Kevin menghela napas berat dan kehilangan argumen.

"Entahlah, aku juga masih bingung. Aku rasa, pelaku sengaja membagi fokus kita pada kasus ini. Jadi, mungkin tim ini sebaiknya kita bagi dua. Tim satu bertugas mencari kemungkinan lain, dan tim dua hanya fokus ke Elisa. Tim mana pun tidak ada bedanya. Hanya saja, aku sama Steve jangan di tim yang sama, ya. Biar adil," jelasnya. Tidak ada yang memprotes. Itu masih sah-sah saja.

"Nah, kebetulan kita semua berdiri berhadapan. Jadi, yang menghadap ke utara akan menjadi tim satu, denganku. Dan sisanya, yah tahu sendirilah," ujarnya seraya mengedikkan bahu. "Aku harap tidak ada yang protes. Kita tidak punya banyak waktu untuk hanya sekadar membagi tim."

Hei tunggu! Aku berdiri menghadap selatan? Bersebelahan dengan Riyan dan jelas berhadapan dengan Kevin? T-tidak, ini pasti salah. Apa aku  ada di tim dua? Aku tidak mempermasalahkan tugas. Yang menjadi masalah adalah  aku akan satu tim dengan ....

"Hei, Kevin ini nggak adil! Aku nggak mau satu tim sama kamu," protes Sisi. Disambut anggukan dari Riyan yang terlihat tidak setuju juga.

"Sudah kubilang. Kita tidak punya banyak waktu. Kita akan mulai penyelidikan setelah pulang sekolah. Nama kalian sudah terdaftar sebagai panitia persiapan acara ulang tahun sekolah. Jadi, kalian tidak akan dicurigai jika kalian tidak segera pulang," terang Kevin. Meskipun ingin protes, aku sama sekali tidak bisa melakukannya.

Mia ada di tim satu. Yang berarti, dia tidak akan marah jika aku dekat dengan Steve. Baiklah, mungkin sekarang adalah saat yang tepat untuk melakukan apa yang menjadi rencana Sisi.

"Kevin, kamu tau kan kalo Papa suka marah kalo aku nggak langsung pulang. Gimana kalo nanti dia marah juga?" kata Mia.

"Nanti juga ada latihan karate," sahutku.

"Ya udahlah, terserah kalian." Kevin sudah benar-benar kehabisan kata-kata untuk memberi solusi yang tidak akan diterima. Dan ya ... memang aku tidak bisa bolos latihan karena posisiku yang sekarang menjadi wakil ketua ekskul.

"Oh ya, gimana kalo kasus ini kita kasi nama kayak dulu? Yah, biar lebih gampang aja ngingetnya," usul Mia untuk mengalihkan topik pembicaraan.

"Hmm ... gimana kalo 'crimson case'?" ucapku. Mendengar itu, Sisi menepuk dahi. Aku heran, apa aku salah?

"Kamu ini kenapa sih? Dulu kamu namain kasus 'scarlet case,' sekarang crimson? Oh Kira, sebenarnya ada apa dengan warna merah?" tanya Sisi dengan sedikit penekanan pada kalimat terakhir. Aku tertawa kecil. Ternyata itu penyebabnya.

"Itu karena aku suka warna merah," jawabku singkat.

"Sudahlah, lupakan saja, kata Kevin. Ayo kita selesaikan kasus ...."

"Crimson case," Mia meneruskan ucapan Kevin.

"Ah, ya. Itu maksudku."

------x---x------

Ruang UKS, pukul 15:45. Aku sedang mencoba untuk mengompres luka memar di pipi kanan Steve. Aku benar-benar takut melakukannya, tapi apa daya? Ini semua karena salahku sendiri yang memukul laki-laki itu terlalu keras. Jadi, ini sudah seperti permintaan maaf. Tapi, kenapa kesannya justru romantis?

"M-maafkan aku, Steve. Tadi aku terlalu terbawa suasana sampai-sampai memukulmu terlalu keras," ucapku dengan nada menyesal.

"Tidak, lupakan saja. Salahku karena tidak konsentrasi. Harusnya ... aku bisa menghindari pukulanmu," balasnya seraya mencoba menahan sakit. Aku sedikit terenyuh, sekaligus tidak percaya jika sampai sekeras itu. Pantas saja Ade berkata jika pukulanku bisa meremukkan tulang rusuk manusia dewasa. Aku tahu itu hiperbol. Tapi dalam kasus seperti ini, kurasa itu tidak bisa dikatakan salah.

Jadi, yang sebenarnya terjadi beberapa menit yang lalu adalah kami sedang mengikuti latihan karate. Pelatih kami kebetulan sedang mengamati peserta yang akan ikut tournament tahun ini. Aku tidak ikut karena sudah harus mempersiapkan diri menghadapi ujian. Akhirnya, yang tidak ikut memilih untuk melakukan latihan sendiri-sendiri. Namun, aku lebih memilih untuk memerhatikan mereka saja.

Kemudian, salah seorang juniorku berteriak, "Kira-senpai, Edward ingin bertanding melawanmu!" Aku menerima tantangan itu. Namun tidak seperti biasanya, dia terlihat lengah. Lama-kelamaan, aku terbawa suasana hingga tak sadar jika sebuah pukulan keras mengenai wajahnya.

Aku berkali-kali meminta maaf. Tetapi jawabannya selalu saja sama, "lupakan saja, ini salahku sendiri." Aku benar-benar merasa bersalah atas kejadian itu dan memutuskan untuk melakukan pertolongan pertama sebisaku. Yah, aku akui. Aku tidak ahli dalam hal ini. Buktinya, Steve justru tidak henti-hentinya meringis menahan sakit.

Oh, aku berharap semoga kejadian ini tidak membuatnya semakin membenciku. Tidak seharusnya aku melakukan ini. Ya ampun, apa yang harus aku lakukan? Tenanglah, Kira-chan. Jika kebencian telah membuat hatinya membeku, maka satu-satunya yang dapat mencairkannya hanyalah cinta dan kelembutan. Di sini tidak ada Mia. Iya, kau harus melakukannya. Buat dia senang.

"Oh, Steve. Aku belum pernah melihat mata seindah matamu," ujarku dengan suara selembut mungkin. Dia tampak terkesima. Aku harap ini bisa berhasil.

"Kira, apa kau sakit?" tanyanya seraya menyentuh dahiku seperti dokter yang sedang memeriksa suhu tubuh dari pasien yang demam.

"Tidak, aku baik-baik saja. Ayahku bilang, perasaan bisa memengaruhi proses penyembuhan," jelasku. Padahal tujuan aku melakukan semuanya bukan itu. "You look so handsome today," ucapku lagi. Tatapan itu tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata.

"K-Kira? Ka-kau ini .... Kau ini kenapa?!"

"Nee, padahal aku hanya ingin melihatmu senang. Kau tau? Saat melihat lebam ini, aku merasa sangat bersalah," jawabku seadanya. Aku hanya mengarang alasan. Oh, semoga saja tadi itu tidak terlalu kentara.

"Jadi, begitu ya?"

"Hei, kau ini jarang sekali senyum ya? Apa hidupmu memang semenyedihkan itu sampai kau tidak punya alasan untuk melakukannya?" tanyaku mengubah topik pembicaraan. Berharap semoga kali ini berhasil.

"Yah, dulu aku pun begitu. Tapi akhirnya aku sadar. Hidup bukan tentang apa yang telah kau alami, tetapi tentang apa yang sedang kau jalani. Aku juga tau, mengingat kenangan terkadang memang menyakitkan. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita berusaha agar kejadian buruk di masa lalu tidak terulang lagi. Kita mungkin tak bisa mengubah kenangan buruk, tapi kita masih bisa membuat kenangan indah untuk masa depan," jelasku.

"Aku mengerti," balas laki-laki itu.

Aku terdiam beberapa saat. Pertama, karena aku baru menyadari jika aku bisa merangkai kata-kata indah seperti tadi. Kedua, aku tidak percaya dengan reaksi Steve saat mendengar ucapanku. Bukan seperti yang kubayangkan selama ini. Hanya saja ... dia benar-benar tersenyum.

Bukan senyuman miring atau semacamnya. Melainkan sebuah senyuman yang tulus dari dasar hati. Mata birunya berbinar indah. Dan ... argh sial! Kenapa jantungku berdebar kencang? Ya ampun, aku tak pernah mengira jika dia akan terlihat setampan ini jika sedang tersenyum. Harus kuakui ... aku terpesona.

"Oh, astaga! Kalian benar-benar romantis. Untung saja di sini tidak ada Mia. Kalau tidak, dia pasti tidak akan sudi mengenalmu lagi, Kira." Sisi yang sejak tadi memilih untuk diam di teras UKS tiba-tiba masuk. Dia melangkah mendekati Kevin yang terlihat bosan menunggu Elisa tak kunjung sadar.

"Anak ini kapan sadarnya, sih? Semoga aja cuma pingsan, nggak lebih," gerutu Kevin yang sudah menunggu hampir satu jam. "Aku mau pergi keluar nyari udara segar. Nanti kalo dia sadar, kasi tau aku ya."

"Kira, kurasa ini sudah cukup," kata Steve. Aku yang masih terkesima melihat senyuman tulus sekaligus langka itu seketika menghentikan aksi — yang tanpa pengetahuan dasar itu — tanpa pikir panjang, lalu segera membereskan peralatan.

"Elisa! Elisa!! Apa kau sudah sadar?! Elisa ayo bangun!" seru Sisi ketika melihat mata juniornya yang terbuka sedikit.

"Dimana aku?" tanya Elisa lirih.

"Kamu ada di ruang UKS," jawab Sisi. Dari nada bicaranya, dia sepertinya sedang cemas. Padahal tadi pagi dia sempat berseru-seru marah saat aku mengajaknya untuk membicarakan gadis itu.

"Apa dia sudah sadar?" tanya Riyan yang baru kembali dari ruang loker. Dia beralasan ingin mengambil sesuatu, tapi sekarang anak itu tidak terlihat membawa apa pun. Sisi hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Pukul berapa sekarang?" tanya Elisa lirih.

"Ergh ... pukul empat sore," jawab Riyan sembari melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

"Apa?! pukul empat sore? Kalian pasti bercanda!" seru Elisa tidak percaya. Sisi yang tadinya sempat terlihat bersimpati tampak mulai kesal.

"Ini memang pukul empat sore! Kalo sekarang masih pukul sepuluh, kenapa Kira make baju karate?! Sekarang, cepet jelasin! Ngapain kamu di gudang penyimpanan? Jangan bikin kesabaran aku habis!" sergah gadis berkacamata itu dengan suara keras hingga menggema di setiap penjuru ruang UKS.

"Ba-baik. Jadi, ceritanya gini. Kemarin flashdisk aku hilang. Terus pas pulang, aku liat ada SMS dari nomer baru. Katanya dia nemuin flashdisk aku, dan dia suruh aku dateng ke sana jam setengah sembilan. Tadi pagi, kebetulan jamkos. Jadi, aku keluar deh. terus, pas aku udah sampe, tiba-tiba ada orang dari belakang yang bikin aku pingsan. Tapi, aku sempet liat kalo orang itu berantem sama cowok yang kayaknya anak karate," jelasnya dengan cara yang sedikit berbelit-belit.

"Anak karate? Menurut kamu kira-kira siapa ya?" tanyaku penasaran. Namun, sepersekian detik kemudian, aku baru menyadari jika Steve yang kutanyai sudah tidak ada di dekatku.

"SMS itu masih kamu simpen nggak?" tanya Riyan.

"Eergh ... orang itu suruh aku langsung hapus, jadi yaa ... aku ikutin aja," jawab Elisa yang sepertinya tidak sadar jika sedang diinterogasi.

"Payah!! Kamu ini punya otak nggak sih?! Itu info penting yang bisa bikin kita nemuin pelakunya!" Sisi tampak sangat marah setelah mendengar jawaban yang seolah tanpa beban dari juniornya itu.

"M-maaf, Kak. Aku nggak kepikiran sama sekali," sesalnya. Meskipun aku ragu jika dia benar-benar menyesal. Sisi mengusap telinganya beberapa kali, kemdian berbalik menyeretku keluar.

"Sisi, kamu kenapa? Kok tiba-tiba ...."

"Ssstt ... aku cuma lagi pengen nyari udara segar. Bosen aku liat dramanya," keluh gadis itu seraya membungkam mulutku.

"Kamu bener-bener hebat, Kira. Aku pikir kamu nggak bisa akting di depan cowok kutub utara itu. Eh, ternyata kamu lebih hebat daripada si Elisa," sindirnya seraya menatap tajam ke dalam ruang UKS. Yah, kurasa itu tidak akan ada gunanya karena kemungkinan besar Elisa tidak melihatnya.

"Hehe ... makasih ya," ungkapku. Sisi memperlihatkan sebuah senyuman aneh yang selalu ia perlihatkan pada Mia. Aku heran, sebenarnya ada apa?

"Tau nggak? Tadi aku ngawasin kalian dari luar. Dan kalian beneran keliatan romantis. Serius, aku nggak bohong. Asal kamu tau aja. Belum pernah ada satu pun cewek di sekolah ini yang berhasil bikin dia senyum!" serunya.

"Dan aku punya satu deduksi. Karena dia sama sekali nggak pernah senyum kalo sama cewek mana pun, mungkin bagi dia kamu itu spesial. Jadi, kemungkinan besar ... dia suka sama kamu," terangnya dengan berbisik saat mengucapkan kalimat terakhir. Aku tersentak kaget, bagaimana bisa?

"Sisi kamu jangan ...."

"Oh ssstt .... Kamu bisa diem nggak? Kamu masih inget waktu kakaknya mau bunuh diri? Waktu itu dia nelpon kamu, kan? Kalo kamu masih inget, cara ngomongnya waktu itu kan aneh banget. Dia kek kedengaran ragu-ragu gitu, kan. Nah, bisa jadi kalo waktu itu dia mulai suka sama kamu," terangnya lagi.

(Baca seri pertama juga ya. Biar kalian paham maksudnya 😊.)

"Hei, kamu jangan ngomong gitu dong. Kalo dia beneran jadi pelakunya gimana?" Aku mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan menjadi yang lebih serius agar ia berhenti menggodaku.

"Elisa sudah sadar?" Aku dan Sisi terlonjak kaget mendengar suara serak dan sedikit berat itu. Tentu saja dia adalah orang yang sedang kami bicarakan.

"Eh, S-Steve? Darimana aja kamu?" tanyaku.

"I-iya. Dari tadi kita nyariin kamu, lho," kata Sisi menimpali. Entah mengapa dia juga ikut gugup sehingga tidak bisa menggunakan kemampuan aktingnya.

"Aku dari ruang ganti," jawabnya singkat. Memang sangat konyol jika kami menanyakan itu sedangkan kami melihat pakaian karatenya yang sudah diganti dengan pakaian seragam.

"Sepertinya kita perlu menyelidiki gudang penyimpanan," putusnya.

------x---x------

Aku mengamati benda-benda yang berceceran di gudang penyimpanan. Sejauh ini belum ada apa pun yang kutemukan selain semut-semut merah dan beberapa ekor kecoa yang berlarian ke sana kemari. Mungkin dugaan Kevin benar. Pelaku hanya ingin membagi fokus kami pada kasus ini. Tetapi, walaupun begitu, pasti ada petunjuk di sekitar sini. Hanya saja aku yang belum menemukannya.

"Menurut kalian, siapa anak karate yang tolongin Elisa?" tanyaku.

"Entahlah, aku nggak pernah kepikiran. Lagian, apa pentingnya sih pertanyaan itu?" Riyan balik bertanya, alih-alih mejawab pertanyaanku.

"Itu penting Riyan. kalo kita bisa nemuin orang itu, otomati kita bisa nanyain ciri-ciri pelaku ke dia," jelasku.

"Pelakunya adalah laki-laki dengan tinggi badan di atas 175 cm, tidak kidal, dan kemungkinan menguasai teknik dasar beladiri. Dugaan kalian juga bisa jadi benar. Pelaku adalah seorang psikopat. Motifnya mungkin balas dendam pada korban, atau sekolah ini," papar Steve dingin. Tapi, jika dilihat sekilas ciri-ciri tadi mirip seperti dia. Dengan kata lain, dia seolah memojokkan dirinya sendiri.

"Di sini gelap. Aku bukan pintunya nggak papa, kan?" tanya Riyan. Tidak ada interupsi, itu artinya tidak masalah. "Kak Kira, kuncinya mana? Kok nggak bsia kebuka?"

"Serius?! Astaga! Ini pasti gara-gara aku yang nggak biarin pintunya kebuka," ucapku seraya menepuk dahi.

"Tidak, ini bukan salahmu. Pasti ada orang lain yang sengaja membuat kita terkunci di dalam sini," ucap Steve seraya mendekati Riyan yang masih mencoba membuka pintu itu sekuat tenaga.

"Kita harus gimana sekarang?" tanya Riyan frustasi.

"Tidak ada cara lain, izinkan aku menghancurkan pintu ini." Namun, belum sempat aku mengeluarkan satu gerakan pun, Steve membentangkan kedua lengannya, menghalangiku.

"Tidak, Kira. Engsel pintu ini sangat kuat. Kau bisa cidera jika nekad melakukannya. Pasti ada cara lain," kata laki-laki itu.

"Aku tidak peduli, Steve! Itu tidak akan ada apa-apanya dibandingkan harus melihat kalian mati keracunan karbon dioksida," sahutku.

"Ya, kau boleh tidak peduli pada dirimu sendiri. Tapi aku peduli padamu, Kira. Aku tidak akan pernah membiarkanmu melakukan hal gila itu!" sergahnya, membuatku seketika kehabisan argumen.

"Teman-teman, lihat ini!" seru Riyan, menghentikan perdebatan kami berdua. "Bukankah ini bom?! Waktunya tinggal dua setengah menit lagi!"

"Apa?!"

*

Hai, minna! Panjang banget ya chapter ini. Siapa yang nungguin Ichi update? Nggak ada, ya? Huhu ..., Ichi nangis dulu deh 😭😭.

BTW, ada yang ikutan ngebayangin gimana Steve kalo lagi senyum? Sebenernya, Ichi sendiri nggak pernah bayangin dia bakalan seganteng apa kalo lagi senyum, hehe .... Jadi, kalian bebas membayangkan.

Oke, kita mulai thrilling scene-nya. Gimana kelanjutannya? Apakah mereka berhasil selamat? Nantikan kelanjutannya di File 19 yang akan saya publish tahun depan. Haha ... bercanda, maksudnya minggu depan.

Please, jangan ada yang mikir kalo mereka nggak mungkin mati sebelum ending. Ingatlah, setiap yang hidup pasti akan mati. Kevin pun nanti akan mati, setelah saya ikhlas, wkwk 😂😂 (kalo sekarang, saya belum rela kehilangan dia .... 😳)

Kalian harus inget main character di sini adalah Kevin. Walaupun Ichi pake banyak POV, tapi tetep penyelidikan pusatnya ada di Kevin. Oke?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Oke, jangan lupa vote dan comment ya 😊 (kebiasaan, nih).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top