File 15
Aku berjalan dengan langkah gontai kembali ke kelas. Sesekali menyanyikan lagu "Kira Kira Hikaru," tidak peduli walaupun itu adalah lagu anak-anak. Daripada harus tenggelam dalam pikiran-pikiran aneh tak berdasar yang terus menyerang sel saraf otakku. Argh! Apa pelaku memang bertujuan membuat kami kebingungan seperti ini?
Suasana kelas terlihat sepi. Untung saja tidak ada orang di sini, yang justru nanti akan semakin membuatku yang ingin menyendiri ini terganggu. Oh, bukan. Masih ada satu orang laki-laki yang terlihat enggan sekali menggerakkan kakinya. Dia hanya duduk sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke meja dengan sebuah senyuman misterius yang jelas tergambar.
"Hai, Kira! Kamu diusir dari perpus gara-gara bikin ribut ya?" tanya Kevin membuka pembicaraan. Aku tertegun. Bagaimana bisa dia tahu jika aku dan Mia membuat ribut di dalam perpustakaan — meskipun tak sampai diusir?
"Hei, aku bener, kan?" tanyanya lagi membuyarkan lamunanku. Aku melambaikan kedua tangan sebagai kode jika itu sama sekali tidak benar. "Ya udah, terserah kamu aja. Aku cuma bercan— Eh, tunggu dulu dong!" serunya saat aku baru saja bersiap pergi keluar kelas lagi.
"Apa lagi?" tanyaku dengan nada malas. Semua pikiran buruk ini sudah membuatku kehilangan semangat seharian.
"Kamu nggak mau diskusiin kasus ini?" Aku sempat ingin menolak. Tapi, mungkin itu bukan ide buruk. Lagipula, aku kan bisa bertukar pikiran dengan Kevin. Siapa tahu, aku menemukan kesimpulan yang lebih baik.
"Pertama, kamu ngerasa ada yang aneh nggak dari kasus ini?" tanyanya saat aku sudah mengambil tempat di kursi yang tepat ada di depannya.
"Kalo yang aneh sih banyak. Malahan menurutku, semuanya aneh. Misalnya, korban mendapat luka di bagian leher yang memiliki bentuk aneh, pembunuhan ini selalu terjadi di sekolah, Steve tidak pernah punya alibi yang jelas dalam kasus ini, lalu ... si pengirim surat anonim seolah sudah tahu persis tentang kejadiannya padahal — menurut info yang kudengar — tidak ada orang luar yang mengetahuinya.
"Menurutku, pelaku pasti orang dalam. Bisa jadi guru, siswa, atau orang lain di sekolah ini yang punya dendam pada korban, atau mungkin saja pada kita. Lalu, mengenai luka di leher korban, aku rasa pelaku sengaja melakukan itu untuk membuktikan jika ini adalah kasus pembunhan berantai, dan juga ... mungkin bisa mengarahkan kita pada identitas korban," paparku.
"Aku sependapat denganmu mengenai kemungkinan pelaku merupakan orang dalam. Tapi, aku juga setuju pada pendapat Riyan yang mengatakan jika, 'pelaku sengaja melakukan itu agar tidak ada orang lain yang terlibat dalam kasus ini, kecuali kita yang jelas mengetahui jika pelaku adalah manusia biasa. Singkatnya, pelaku menginginkan pertarungan ’six by one’," jelasnya. Aku mengernyitkan dahi. Bukankah yang benar itu pertarungan one by one.
"Kita kan berenam. Makanya aku bilang six by one," jelasnya seolah bisa membaca pikiranku. Tunggu! Jadi dia percaya jika Steve bukan pelakunya?
"Jadi, apa kau punya dugaan yang lebih masuk akal?" tanyaku penasaran. Berharap semoga ini bisa melenyapkan semua kecurigaanku. Karena aku percaya, walaupun mereka adalah teman dekat, Kevin tidak akan pernah membiarkan pelaku kriminal mana pun berkeliaran bebas.
"Yah, sejujurnya dugaan kita tidak jauh berbeda, kecuali satu," ucapnya. Aku membelalak tidak percaya. Sudah kuduga, dia sudah jauh bergerak maju dalam kasus ini. Tapi, apa dugaannya benar-benar membawa berita positif untukku?
"Kamu penasaran banget ya?" Kevin tertawa kecil. "Pokoknya ini tentang Steve. Ternyata selama ini, itulah yang ia sembunyikan dari kita," katanya. Aku semakin antusias begitu mendengar nama itu.
"Sungguh?! Apa itu, Kevin?" tanyaku. "Ayolah, Kevin. Beritahu aku." Tapi, tidak akan ada gunanya membujuk Kevin dengan raut wajah penuh rasa ingin tahu. Itu karena, dia akan semakin gencar membuatmu penasaran.
"Tidak mau! Nanti bisa-bisa aku yang jadi korban selanjutnya!" serunya. Oh, astaga! Kenapa kalimat itu saja sudah cukup membuatku semakin berburuk sangka.
"Maksudmu, Steve adalah pelakunya?!" tanyaku tidak percaya.
"Kalau soal itu, aku tidak tau. Yang pasti, aku tidak akan pernah memberitahumu. Tunggu saja dia yang mengatakannya secara langsung padamu."
"Oh, ya ampun, Kevin. Kalau aku bisa mendengarnya darimu, kenapa aku harus menunggu dia yang mengatakannya secara langsung?"
"Karena cepat atau lambat kamu akan tahu meskipun tinggal beberapa tahun lagi."
"Hei, kalian! Kalo mau PDKT jangan di ruang tertutup, dong. Bikin orang curiga aja!" Suara itu sontak menghentikan perdebatan kami. Tidak salah lagi, itu adalah Mia.
"Kayak pembunuhan aja 'di ruang tertutup'," komentar Sisi yang berada tak jauh darinya. "Kira, kita kan udah janji akan bantuin Kevin. Kenapa sekarang justru kamu yang PDKT sama dia?"
"Eh, enak aja. Siapa yang mau PDKT, sih? Kita lagi diskusi tentang kasus pembunuhan baru-baru ini," aku memperjelas.
"Gitu ya? Makanya ngomong dong dari tadi."
"Sudah, sudah .... Kalian mau denger info terbaru nggak?" tanya Kevin mengalihkan topik pembicaraan. Mendengar hal itu, Mia dan Sisi mendekat karena penasaran.
"Info terbaru? Apa?" tanya Mia.
"Tuh, kan. Kalian jadi penasaran. Info terbarunya adalah ... aku berhasil menemukan indentitas dari salah seorang yang tidak memiliki alibi yang dilihat Riyan kemarin," jawab Kevin dengan nada bangga.
"Beneran?!" Kami bertiga tidak percaya.
"Siapa dia?" tanya Mia tidak sabar.
"Dia adalah ...." Seperti yang kukatakan sebelumnya, semakin kalian tidak sabar menunggu, maka dia akan membuat kalian semakin penasaran hingga akhirnya kesal sendiri.
"Ayo, Kevin. Jawab aja!" seruku. Namun, laki-laki itu semakin gencar membuat kami semakin tidak sabar.
"Iya, Kevin. Jangan bikin kita penasaran, dong!" Sisi sudah mulai kesal karena kebiasaan Kevin yang satu ini.
"Siapa hayo ...?"
"Kevin, jangan gitu dong. Waktu keluar main tinggal sepuluh menit tau!" sergah Mia sembari menunjuk ke arah jam dinding yang tergantung di kelas.
"Ah, bodo amat. Aku mau pergi aja!" ujar Sisi yang sudah bosan diperlakukan seperti itu seraya berjalan menjauh menuju pintu keluar kelas.
"Hei, aku mau kasi tau, nih. Kok malah pergi?" katanya agar gadis berkacamata itu kembali. "Orang itu adalah Juan dari kelas XI-IPS 2. Aku juga dapet info kalo dia nggak ada di kelas waktu kejadian pertama. Artinya, dia nggak punya alibi sama sekali," jelas Kevin.
"Beneran?! Kamu serius, kan?" tanya Mia tidak percaya sambil menggebrak meja. Kevin hanya mengangguk sebagai jawaban. "Oh, ya ampun! Anak itu kan yang selalu masuk BK sejak semester pertama dia di sini. Dia pasti pelakunya!" Sisi yang mendengar penjelasan tersebut tak jadi keluar.
"Hei, hei, anak itu memang berandal yang suka buat masalah. Tapi kan belum tentu dia itu psikopat!" protes Sisi.
"Iya, bener. Lagian kita kan nggak tau apa dia punya motif atau nggak," aku menambahkan.
"Tapi sepertinya dia juga berpotensi menjadi pelaku. Soalnya tadi waktu aku tanya 'kamu ngapain ke sekolah sepagi itu?' Bukannya jawab, dia malah marah. Kalo emang dia nggak salah ya ngapain pake marah," papar Kevin dengan sedikit kekesalan yang masih tersisa di kalimat terakhir.
"Oh, ya. Aku penasaran nih, sebenernya hubungan kamu sama korban kedua itu ... apa? Kok kamu keliatan shock banget waktu liat dia?" tanyaku penasaran pada Mia. Kevin juga ikut memasang ekspresi serius.
"Y-yah, itu sebenarnya ... aku memang udah deket banget sama Aditya sejak SD. Kita udah kayak adik sama kakak. Sampai beberapa tahun kemudian, dia pindah sekolah waktu aku kelas dua SMP. Aku bener-bener nggak tau kalo dia sekolah di sini sampai dia ... yah begitulah," jelasnya. Tampak jelas jika dia sedang malas sekali membahas bagian yang itu.
"Kelas dua SMP, ya? Aku pindahnya kelas tiga, pantesan aja nggak tau," komentar Kevin. Dia terlihat memikirkan sesuatu. Sesaat kemudian mengangguk samar seraya menggumamkan kata 'aku mengerti.'
"Kevin, kalo punya kesimpulan jangan dipendam sendiri, dong. Kasi tau kita juga," ujarku yang sudah dibuat penasaran olehnya hari ini tiga kali. Iya, tiga kali.
"Baiklah, sebenarnya ini bukan kesimpulan. Tapi, aku harap kalian bisa menemukan yang lebih masuk akal. Rosaline merupakan adik kelas Kira saat SMP yang tidak ia sukai. Sebaliknya, Aditya adalah sahabat kecil Mia. Aku belum menemukan kesamaan dari kedua korban. Tapi, kemungkinan korban dipilih secara random dari siswa sekolah ini yang memiliki hubungan erat dengan kita di masa lalu.
"Steve adalah seorang antisosial yang jelas tidak memiliki teman — selain aku, mungkin — saat SMP. Lalu, hampir semua temanku berada di luar kota, kecuali kalian. Kemudian, Riyan hampir tidak pernah memiliki teman dekat sekali pun kecuali saat kecil dulu. Itu pun dia tidak sekolah di sini," jelas Kevin panjang lebar.
"Kalau kalian punya yang lebih masuk akal tidak masalah. Tapi, aku hanya ingin bertanya apakah ada — adik kelas atau siapalah — yang memiliki hubungan erat denganmu di masa lalu dan sekolah di sini?" tanya Kevin seraya menatap fokus ke arah Sisi.
"Entahlah, aku nggak terlalu ingat. Sejak kepalaku dipukul pake tongkat baseball dua tahun lalu, aku kan jadi amnesia," jawabnya. Kevin terlihat tidak puas dengan jawaban itu. Sayangnya, bel masuk kelas berbunyi sebelum sempat ia mengajukan pertanyaan selanjutnya.
------x---x------
Karena hari ini hari Jumat, sekolah dipulangkan lebih awal. Kevin berkata jika beberapa hari ke depan kita tidak akan melakukan penyelidikan, kecuali jika korban bertambah. Sejujurnya, aku tidak terlalu setuju jika dia hanya mau bergerak dengan satu nyawa sebagai bayarannya. Aku juga sedikit curiga padanya. Dia pasti sedang merencanakan hal lain yang lebih gila daripada meretas server sekolah.
Saat bel pulang sekolah berbunyi, Kevin tampak terburu-buru. Saking terburu-burunya, dia sampai meninggalkan jas almamater OSIS-nya di dalam kelas. Tanpa pikir panjang, aku membawa benda itu dan berniat kugunakan untuk mengorek informasi dari pemiliknya.
"Oh, gawat! Ketinggalan lagi!" serunya sambil menepuk dahi saat menyadari hal itu.
"Kamu cari ini ya?" Kevin segera menoleh ke arahku. Ekspresi paniknya berubah menjadi kelegaan.
"Iya, bener. Oh, syukurlah. Aku nggak tau harus gimana kalo hilang."
"Aku akan balikin ... dengan satu syarat," ucapku seraya mengacungkan jari telunjukku. Kevin yang masih tampak tergesa-gesa bertanya syarat apa yang kumaksud tanpa menunggu lebih lama. "Syaratnya, kamu harus jelasin apa yang Steve sembunyikan dari kita." Pemuda itu tampak berpikir selama beberapa saat.
"Oke, deh. Sini balikin," ucapnya datar, tanpa ekspresi yang berarti. Aku yang sudah tidak sabar segera mengembalikan apa yang ia minta.
"Makasih, Kira. Maaf, aku buru-buru!" Kevin segera menyambarnya lalu melesat hingga bayangannya tak tersisa lagi, hilang di balik kerumunan.
"Hei, KEVIN!!" seruku sambil berusaha mengejarnya. Namun, percuma saja. Dia lari seperti tikus yang dikejar kucing. Aku mendengus kesal karena tidak bisa menemukannya. Di sudut hatiku yang terdalam, muncul satu pertanyaan lagi.
Selama aku mengenalnya, dia memang memiliki kepribadian yang disiplin dan sangat tepat waktu. Tetapi, dia juga sangat teliti hingga peluang dia meningglkan barang penting hanya satu berbanding sepuluh ribu. Jadi, apa sebenarnya yang membuat Kevin terburu-buru?
*
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top