File 14

Sesuai rencana, aku dan Sisi akan mengisi waktu istirahat dengan membaca buku di perustakaan. Aku duduk di salah satu bangku sambil membaca sebuah novel teen fiction sementara Sisi menyusuri rak-rak untuk mencari buku yang judulnya ia sebutkan padaku saat berjalan kemari.

Aku terus membolak-balik halaman novel nyaris tidak ada satu pun kalimat yang aku perhatikan. Semua terasa lewat begitu saja - mungkin karena cerita ini juga bukan seleraku. Pikiranku justru tertuju pada pembicaraanku dengan Steve satu jam tiga puluh menit yang lalu. Benar-benar ambigu.

Jika aku ingat-ingat, dia seperti seolah meminimalisir kontak mata denganku saat bicara. Tapi, kenapa ya? Apa mata sipitku ini terlalu seram untuk dipandangi? Lagipula, berkomunikasi akan lebih nyaman dengan kontak mata, kan? Aku dengar, jika seseorang menghindari kontak mata, ada kemungkinan ia menyembunyikan sesuatu.

Ya, aku tahu jika ada sesuatu yang dia sembunyikan. Dia sendiri sudah mengakuinya. Tapi, yang masih membuatku bingung adalah kata "bagian lain dalam hidupku." Oh, kalimat itu benar-benar ambigu. Apalagi jika ditambah dengan "berkaitan erat dengan kakakku." Menurutku, kalimat itu bisa memancing kecurigaan orang lain.

Iya, aku juga tahu itu. Aku bukanlah apa-apa baginya. Hanya seorang gadis oriental yang menjadi temannya karena sebuah kasus yang justru membuat dia kehilangan orang yang cukup penting. Mungkin aku memang tidak pantas untuk mengetahui lebih jauh tentang dia. Aku tidak boleh mencampuri urusan pribadi orang lain.

Tapi, aku hanya ingin tahu satu hal. Apakah Steve masih berada di pihak kami, atau justru sebaliknya. Apakah dia berpihak pada protagonis atau antagonis dalam kasus ini? Hanya sebatas itu. Kalaupun ia memilih untuk menjadi antagonis, aku ingin tahu apa yang membuatnya melewati jalan itu.

"Udahlah, kalo nggak suka jangan baca," kata Mia yang tiba-tiba sudah berada di dekatku. Aku tersentak kaget lalu meletakkan buku yang aku baca - lebih tepatnya hanya lihat sekilas - di atas rak tempatku mengambilnya.

"Eh, Mia. Aku pikir kamu nggak mau ikut," sahutku. Sisi yang tiba-tiba datang meletakkan telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkan agar kami segera diam.

"Kita lagi di perpus, nggak boleh ribut. Kalian di luar aja sana. Nanti aku nyusul," bisiknya. Kami berdua hanya mengangguk patuh. Bagaimana pun juga, kami bisa dikenai hukuman jika membuat suara ribut di dalam perpustakaan.

"Oh ya, bagaimana latihanmu?" tanya Mia membuka percakapan. Aku mengernyitkan dahi heran. Sejak kapan di penasaran dengan semua latihanku?

"Maksud kamu latihan apa, sih?" aku bertanya balik. Sisi yang baru saja keluar dari perpustakaan langsung mengambil tempat kosong di bangku panjang yang kami duduki. "Latihan karateku biasa aja," jawabku seadanya.

"Ngomongin apa, nih?" tanya Sisi ikut dalam pembicaraan.

"Bukan, maksud aku bukan itu. Bukannya kemarin kamu bilang, kamu mau latihan kendo?" tanya Mia lagi. Kendo adalah semacam ilmu pedang tradisional Jepang. Dan sejujurnya aku malas membahas soal itu. Aku masih mencoba merahasiakan ini karena aku sendiri belajar secara otodidak.

"Nggak ada pertanyaan lain? Misalnya, 'kamu udah ngerjain laporan hasil praktikum?' atau yang lain kek?" tanyaku mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Namun gagal, Mia terus mendesak agar aku menjawab pertanyaannya.

Tapi untungnya, percakanpan ini segera berakhir dengan sebuah drama yang tak sengaja tercipta tak jauh dari kami. Iya, drama klasik di dunia SMA. Kalian pasti sudah mengerti.

"Hei tunggu! Bukannya itu ...." Mia menunjuk ke arah dua orang yang sejak tadi kami perhatikan. Aku ikut memperhatikan kedua orang itu lebih detail.

"I-itu ... itu bukannya Erlyn?!" tanya Sisi. Aku semakin menajamkan pernglihatan. "Ngapain dia coba-coba deketin cowok dengan status paling dingin di sekolah?!" Ini ... bukan drama biasa. Tentu saja karena itu adalah Steve yang sedang berkonfrontasi dengan gadis paling menyebalkan di kelas kami.

Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan hingga keduanya berpisah. Namun, dengan jelas aku masih bisa melihat gerak bibir mereka. Dan kalau tidak salah, Steve baru saja mengatakan "aku membenci perempuan." Aku tersentak. Apa selama ini juga ... dia membenciku?

"Wah, Steve! Yang tadi itu benar-benar keren!" puji Mia tanpa segan ketika laki-laki itu melintas di depan kami.

"Ya, aku berterima kasih karena sudah membalaskan perbuatannya padaku," sambung Sisi. Aku tahu, yang ia maksud pasti kejadian di dalam kelas yang dia ceritakan pada kami. "Tapi, kok kamu nggak ngasi dia pelajaran sekalian?"

"Karate dicipatakan ... untuk melindungi," ucapnya dingin tanpa menoleh. Oh, ralat. Sedetik kemudian dia benar-benar melakukannya lalu tersenyum ke arahku. "Bukankah begitu, Kira-chan?" tanyanya. Aku membelalak. Dia benar-benar memanggilku dengan kata chan?

"Ehh ...! Dia bilang apa tadi? Kira ... chan?" tanya Mia dengan nada tidak percaya sekaligus penasaran.

"Apa itu semacam panggilan kesayangan?" tanya Sisi, membuatku semakin terpojok. Dia semakin berseru heboh melihatku tidak bisa menjawab apa-apa. "Oh, astaga. Ternyata dia coba deketin kamu diam-diam, Kira."

Aku tahu, niatnya pasti ingin membuat Mia cemburu. Tapi, aku tidak tahu bagiamana harus menjelaskan ini. Dia memanggilku dengan nama depan - maksudku, memang itu yang selalu ia lakukan - sekaligus tambahan chan. Oh, jika seseorang mengerti, kesannya seperti kami sudah sangat dekat.

"Aku mau ke kantin," ucap Mia singkat lalu pergi menjauh. Tak lama kemudian, Sisi berlari mengikuti langkah Mia, beralasan jika dia belum sarapan sejak pagi.

Sekarang, tinggal hanya aku dengan semua kebingungan ini. Semua ini ... benar-benar ambigu. Apa arti semua ini?! 'Aku tidak tahan dengan sorot mata mereka.' 'Ini berhubungan erat dengan kakakku.' 'Bagian lain dalam hidupku.' 'Kira-chan.' Mengapa semua ini sulit sekali dijelaskan?!

Jika aku mengingat kejadian dimana aku terus bertanya tentang masa lalunya, aku begitu merasa bersalah. Aku seolah memaksanya membangkitkan kembali semma kenangan mengerikan itu setelah sekian lama ia mencba untuk menguburnya dalam-dalam. Dan sekarang ... jika sisi lain dalam dirinya benar-benar bangkit kemudian dengan tega melakukan semua ini demi membalaskan semua kekelaman dalam hidupnya, akulah yang paling bertanggung jawab.

Tidak, Kira. Ini bukan salahmu. Hentikan pikiranmu yang terlalu liar. Jangan sampai kau menjadi seperti dia yang membenci orang lain hanya karena terus tertekan dalam rasa bersalah yang ia buat sendiri! (baca: Mitsuki)

Oh, ya. Kalau tidak salah, aku sempat melihat Ade menatap tajam ke arah kami waktu Steve menarik lenganku pergi, dan waktu ia memanggilku dengan nama Kira-chan. Tatapan itu ... tatapan benci! Iya, aku tahu sejak awal mereka memang saling tidak menyukai, entah karena apa. Ade tidak suka jika aku dekat dengan Steve, begitupun sebaliknya.

Jadi sebenarnya ... siapa yang ada di pihakku?

*

Maaf cuma dikit. Tapi jangan lupa vote dan comment ya 😊.

See you on the next file.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top