File 10
Aku mengusap wajah yang terasa kebas. Frustasi, mungkin iya. Surat aneh yang kutemukan di atas meja membuat pikiranku sedikit kacau. Apalagi jika memikirkan tentang Perang Dunia ketiga yang terjadi di rumah antara aku dan Reina. Rasanya aku ingin membenturkan kepalaku dengan tembok.
"Riyan." Suara seorang gadis tak jauh dari tempatku memanggil. Menggangguku yang sedang berpikir keras. Oh, apa orang ini sama sekali tidak kasihan padaku?
"Apa?!" kataku dengan suara sedikit keras. Gadis yang memanggilku tersentak kaget kemudian memasang eksprresi innocent, memintaku untuk tidak marah. Aku menepuk dahi. Hahh ... bagaimana aku tidak akan marah jika dia menggangguku di saat yang tidak tepat.
"Ada apa?" tanyaku. Kali ini dengan nada yang lebih bersahabat. Gadis itu melambaikan tangan, memintaku untuk ikut dengannya. Aku menghela napas panjang. Semoga bukan hal remeh yang tak ada artinya sama sekali
"Riyan, sejak kapan kaca ini pecah?" tanyanya seraya menunjuk ke arah kaca jendela kelas kami yang pecah entah sejak kapan. Aku mengedikkan bahu.
"Tadi waktu kamu dateng, kacanya udah pecah nggak?" tanyanya lagi. Aku kembali mengedikkan bahu sebagai jawaban. Serius, aku tidak pernah memperhatikannya.
"Pokoknya bukan aku yang salah. Tadi waktu dateng pecahannya udah ada di sini," ujarnya membela diri. Ternyata tujuannya hanya untuk ini? Menyebalkan sekali.
"Tya, tunggu!" seruku. Gadis itu berusaha memindahakan pecahan kaca itu ke pojok ruangan, menoleh lalu menatapku penuh tanda tanya. "Kemarin kamu kan yang nemuin mayat?" tanyaku sambil berjalan mendekatinya, seolah sedang menginterogasi. Gadis bernama Tya itu mengangguk patah-patah.
"S-Sebenernya ... bukan aku yang nemuin. Tapi kakak kelas ya ...."
"Iya, aku tau. Tapi, kamu yang paling lama di TKP, kan?" tanyaku lagi. Tya kembali mengangguk samar lalu menunduk dalam-dalam.
"I-iya, memang aku sama Tasya yang paling lama di sana. Tapi, Riyan, aku nggak ngelakuin apa-apa. Sumpah! Rosa itu sahabat aku. Nggak mungkin aku yang bunuh dia dengan cara kejam kek gitu. Please, Riyan! Jangan laporkan aku ke polisi," pintanya. Matanya terlihat sedikit berair. Aku memang tidak bermaksud membuatnya menangis. Aku hanya ini bertanya sedikit. Lagipula, aku tidak akan tertipu dengan air mata buaya itu!
"Kalo nggak salah, kondisi mayatnya udah nggak bisa dikenali. Tapi, kok kamu bisa tau kalo itu Rosa?" tanyaku dengan nada penasaran yang terkesan seperti memojokkan. Tya tersentak kaget mendengarnya.
"Lagipula, bukannya kamu juga suka sama pacarnya Rosa? Cemburu itu motif yang bagus, lho," ucapku. Gadis itu semakin terpojok. Tidak tahu harus berkata apa.
"Riyan, aku nggak ngelakuin apa-apa. Aku memang suka sama pacarnya. Tapi bukan aku yang bunuh dia," kata Tya dengan nada memelas. Padahal aku hanya mengarang soal cemburu itu. Eh, ternyata benar, ya? "Please, Riyan. aku bukan pelakunya."
"Oke, kalo kamu memang bukan pelakunya, ayo buktikan. Polisi tidak akan percaya begitu saja tanpa bukti, walaupun kau menangis darah di hadapan mereka," ucapku. Yah, mengikuti gaya sinis Senior Kevin dalam menginterogasi tidak buruk juga.
"Oke, Riyan. Aku ini takut darah. Aku juga nggak pinter dalam menyembunyikan kebohongan. Walaupun aku bisa, aku nggak akan tega nyiksa orang sampe mati kek gitu," katanya. Aku mengangguk paham.
"Yah, mungkin saja kau punya kepribadian yang lain, yang membuatmu bisa bertindak seperti seorang psikopat," balasku tanpa kehilangan sedikit pun nada sinis.
"Riyan, mau kamu apa? Aku udah buktiin semuanya. Aku bukan pelakunya. Lagian, aku nggak tau psikopat itu apa!" serunya dengan nada innocent yang dibuat-buat. Aku menatapnya datar. Apa dia tidak bisa melakukan akting lebih baik dari ini?
"Ah, udahlah. Percuma, itu nggak akan bisa bikin polisi yakin kalo kamu bukan pelakunya," balasku lagi. Tanpa menunggu lama, aku segera berjalan menjauhi Tya sebelum terkena virus.
"Riyan, tunggu! Aku akan ngelakuin apa pun. Asalkan kamu jangan curiga," pintanya sembari bergelayut di lengan kiriku. Aku menghela napas panjang. Apa yang harus aku lakukan? Masalahnya, aku bukan laki-laki mesum yang akan meminta sebuah ciuman. Sayang sekali, aku tidak sebodoh itu.
"Oke, kalo gitu, aku mau kamu diem. Jangan gangguin aku lagi," ucapku singkat. Tanpa diduga, Tya justru mengikuti kemana pun aku pergi. Sebenarnya, apa yang ia inginkan?
"Riyan, kamu mau selidiki kasus ini, kan?" tanyanya dari belakangku. Aku hanya berkata 'tentu saja' tanpa menoleh. "Baiklah, Riyan. Sebaiknya aku katakan ini. Kurasa pelakunya bukan manusia, tapi vampire," ucapnya. Aku menghentikan langkah, berpikir.
'Vampire itu tidak ada,' itu yang dikatakan Kak Sisi. Tapi, luka yang diterima korban seolah mengatakan hal yang sebaliknya. Membuat para gadis seperti Tya menjadi takut tanpa alasan yang jelas. Meskipun aku menganggap Kak Edward seperti vampire, bukan berarti aku percaya pada makhluk penghisap darah itu — setelah mendengar Kak Sisi tentu saja.
Lalu jika pelaku sengaja melakukan itu, apa ia memiliki tujuan lain? Membuat kami mundur, misalnya? Jika iya, kenapa harus ada surat tantangan? Hmm ... apa mungkin, pelaku sengaja melakukan itu, agar tidak ada yang terlibat dalam permainan ini? Oh, aku mengerti.
Pelaku pasti sengaja melakukan itu, karena dia menginginkan pertarungan one by one sesungguhnya.
"Terima kasih," ucapku singkat lalu meninggalkaannya sendiri di koridor. Tersenyum miring, membuat beberapa orang mengataiku aneh.
------x---x------
Ruang OSIS, pukul 16:00.
"Kalian ini gimana, sih? Mau rapat tapi yang dateng cuma lima orang?! Yang lain mana?" tanya Senior Kevin kepada pengusrus inti OSIS yang bahkan tidak lengkap.
"Katanya mereka belum izin ke orang tua, Kak," jawab Nabila, wakil ketua OSIS.
"Kan kemarin udah Kakak kasi tau kalo rapatnya ditunda. Gimana ceritanya mau rapat tapi nggak ada sekretaris? Yang nulis siapa?" tanya Senior Kevin lagi dengan nada kesal. Aku yang berada tepat di sampingnya sama sekali tidak memperhatikan.
"Kakak jangan marah-marah terus, dong. Nanti aku aja yang nulis hasilnya," kata Ika, bendahara kedua.
"Terserah kalian aja, deh. Kalo pembina OSIS tau bisa-bisa kita semua dimarahin, lho," kata Senior yang sudah tidak peduli lagi.
"Serius, Vin? Perasaan yang marah dari tadi cuma kamu." Suara itu sontak mengejutkanku dan semua yang ada di ruang OSIS. Ternyata itu adalah suara Bu Indri yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu.
Tentu saja yang paling terkejut adalah Senior Kevin yang duduk membelakangi pintu. Dia langsung tertawa kecil untuk menutupi rasa malunya."Eh, Ibu. Ini, Bu. Sebenernya bukan marah sih. Cuma ...."
"Cuma ngomel," sambung Rio, bendahara pertama, tanpa rasa bersalah sama sekali. Tidak peduli meskipun diancam oleh Senior Kevin.
"Yah, Ibu juga kesal sama mereka. Padahal mereka tahu ini acara penting. Tapi, mereka tidak datang," keluh Bu Indri seraya mengambil tempat duduk yang berseberangan dengan kami.
"Jadi ... kita nggak bisa rapat?" tanya Nabila, yang kemudian hanya dijawab dengan sebuah helaan napas dari yang lain. Baiklah, kurasa ini kesempatan bagus.
"Maaf, Bu. Saya bukan bermaksud lancang. Tapi, boleh saya tahu siapa nama calon pengurus yang ditemukan bunuh diri sebelum hari pelantikan?" tanyaku. Semua yang berada di ruang OSIS menatapku heran. "Maaf, jika saya salah bicara."
"Tidak apa-apa, Riyan. Kamu juga perlu mengetahuinya. Namanya Niko, siswa kelas X-IPA 4. Keponakan dari Pak Erwin. Dia ditemukan tewas gantung diri di dalam kamarnya yang terkunci rapat satu minggu sebelum pelantikan pengurus baru," jelas Bu Indri. Aku mengangguk paham, berkata 'terima kasih.'
"Aku berharap kejadian itu tidak pernah terjadi. Tapi, sudahlah. Lagipula kau bekerja cukup bagus Riyan. Tidak sia-sia Kevin memilihmu sebagai pengganti Niko," ucap Nabila.
"Saya juga ingin bertanya, Bu. Bagaimana pendapat Ibu soal keputusan sekolah yang meminta kepolisian untuk menghentikan penyelidikan?" Kali ini giliran Senior Kevin yang bertanya.
"Soal itu ... bukan Ibu yang memutuskan. Sebenarnya, Ibu tidak setuju dengan keputusan itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Kasus setahun lalu saja sempat membuat akreditasi sekolah memburuk. Sekolah tidak ingin kasus ini sampai terdengar media. Sebagian yang lain berkata jika itu hanya akan mengganggu proses pembelajaran di hari efektif. Entahlah, Ibu tidak terlalu mendengar kata mereka. Itu sama saja dengan membela pelaku kriminal," papar Bu Indri.
"Kami juga tidak setuju," ungkap Rio.
"Senior, apa menurutmu ... Niko benar-benar bunuh diri? Bukan dibunuh?" tanyaku dengan berbisik.
"Apa maksudmu itu ...."
"Ya, apa Senior tidak merasa jika kedua kasus ini berhubungan?" tanyaku lagi. Senior Kevin terdiam, mengabaikan peserta rapat lainnya.
"Mungkin saja," ucapnya lirih.
*
Jangan lupa vote dan comment ya 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top