Epilog

Kevin's POV

Sebuah cahaya lembut menyapaku. Putih, semuanya putih. Samar-samar, aku mendengar suara tangisan yang semakin lama semakin terdengar jelas. Aku juga seperti mendnegar suara beberapa orang memanggil namaku. Sebenarnya apa yang terjadi. Aku tidak ingat apa-apa.

"Ini semua karena aku ...." Aku bisa mendengar suara itu dengan jelas. Karena dia? memangnya ada apa?

"Maafkan aku, Kevin. Semua ini  semua ini salahku," katanya lagi di sela-sela suara tangis itu. Salahnya? Memangnya apa yang dia lakukan?

"Aku mohon ... akan aku lakukan apa pun asalkan kau memaafkanku .... Apa pun itu  akan aku lakukan." Aku semakin bingung, tidak mengerti. Sebenarnya ada apa?

"Kau sudah tidur lama sekali, Kevin. Tapi kumohon .... Jangan mati!" serunya. Aku sedikit terkejut? Memangnya aku sudah mati?

Tunggu sebentar! Suara itu bukankah ... Mia? Kenapa dia menangis. Dan apa hubungannya dengan semua ini? Apa yang telah terjadi? Benar-benar tidak ada ingatan yang tersisa di memoriku. Tetapi kurasa, tidak ada gunanya bertanya pada diri sendiri. Suara tangisan Mia tidak akan memberi jawaban.

"Mia?" ucapku setelah bersusah payah menggerakkan bibir yang terasa kaku. Tangisnya seketika terhenti, berganti dengan tatapan tidak percaya. "Mia, kaukah itu?" tanyaku.

"Ke-Kevin ... k-kau ...." Mia menutup mulut tidak percaya. Matanya terlihat berkaca-kaca. Air di sudut matanya mengumpul kemudian mengalir perlahan. Aku semakin tidak mengerti. Ada apa sebenarnya?

Aku mencoba untuk berganti posisi. Meskipun sangat sulit, aku hanya ingin menatapnya lebih dekat. Kepalaku memang terasa berputar. Mungkin itu karena kondisi tubuhku yang belum stabil. Sepersekian detik kemudian, aku bisa merasakan dengan jelas seseorang memeluk erat tubuhku.

"Mia, apa yang kau lakukan?" tanyaku bingung. Namun, Mia justru semakin membuatku tidak paham akan situasi.

"Terima kasih, Kevin. Terima kasih," bisiknya. Untuk apa? Apa yang sudah aku lakukan? "Kau mungkin tidak ingat. Tapi aksi heroik-mu itu ... tidak akan pernah kulupakan ... seumur hidupku ...."

Apa katanya? Aksi heroik? Hei, ini bukan penjelasan jika justru membuatku semakin tidak mengerti. Bagaimana mungkin aku melakukan aksi heroik? Kalau tidak salah, aku ini bukan tipe orang yang rela kehilangan nyawa demi orang lain. Aku pasti akan memikirkan cara lain yang tidak membahayakan nyawa siapa pun.

"Saat pelaku berusaha menembakku ... kau menjadikan tubuhmu sendiri sebagai perisai untukku ... malam itu," jelasnya. Nah, ini baru jelas. Eh, apa?! Pelaku katanya? Jadi kasus itu sudah selesai? Tunggu sebentar ....

Ah, aku ingat sekarang!

"Maaf karena membuatmu hampir kehilangan nyawa," bisiknya lagi. Aku mengusap punggungnya, menggeleng samar, tidak apa-apa.

"Jika aku mati, itu artinya sudah takdir. Setidaknya, aku tidak mati sia-sia," balasku. Mia segera melepas pelukannya, menatapku dengan tatapan marah. Sekaligus memberiku pertanyaan baru. Apa kata-kataku ada yang salah?

"Payah! Seharusnya kau bersyukur karena masih hidup! Selain itu, kau seharusnya tidak merusak suasana dramatis ini!" serunya.

"M-maafkan aku. Aku tidak tahu kalau momen ini seharusnya dramatis," ucapku. Jika aku boleh meminjam kata-kata milik Steve, aku ingin berkata 'perempuan terkadang sangat menyebalkan'.

"Sebenarnya ... aku hanya menginginkan suasana dramatis saat mengatakan ...." Mia tidak melanjutkan ucapannya. Pipinya bersemu merah. Aku mengernyitkan dahi. Kenapa ekspresinya mirip denganku ketika dipaksa mengungkapkan perasaan?

Sekali lagi, dia kembali memeluk tubuhku erat-erat. Cukup lama terdiam hingga dia mengatakan alasan dia melakukan semua ini. "Soal cintamu yang tidak terbalas .... Sepertinya, aku juga mulai menyukaimu." Aku hanya tersenyum tipis, begumam 'terima kasih'.

Ah ya. Aku hampir lupa. Ada yang ingin aku katakan, soal nama dari kasus ini yang sepertinya sama sekali tidak salah.

Crimson, warna merah bata. Merupakan warna merah yang ternodai oleh kegelapan. Melambangkan cinta yang berubah menjadi kekelaman, mengubah segalanya menjadi kebencian. Hingga tanpa sadar meracuni jiwa yang kesepian. Membuatnya tega merenggut tak hanya satu, tetapi sekaligus tiga nyawa.

Crimson, warna merah bata. Merupakan warna merah yang ternodai oleh kegelapan. Juga merupakan warna merah yang hampir menjadi hitam. Melambangkan hubungan persahabatan kami yang hampir runyam di hadapan kesalahpahaman. Mengingatkan kami akan pentingnya keterbukaan. Karena bagaimanapun, selamanya persahabatan kami tak akan pernah bisa dibayar dengan apa saja."

Aku menghela napas lega. Akhirnya permainan berdarah ini berakhir sampai di sini. Sebenarnya aku sedikit merasa bersalah karena terlambat. Tapi ya sudahlah, aku tahu teman-temanku juga sudah berusaha membuktikan jika ....

"Kebenaran harus ditegakkan apa pun resikonya."

*

Waa ...!! Ichi update lagi. Padahal semingguan ini lagi sibuk-sibuknya 😄.

Jangan lupa vote dan comment-nya ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top