The Last File
"Kau sudah tidak bisa bergerak. Izinkan aku yang mengakhiri ini." Bisikan itu kembali. Sekalipun aku seolah berada di ujung tebing seperti ini, aku tak akan memberinya kesempatan seperti dulu.
Tiba-tiba, sebuah peluru melesat satu milimeter jaraknya dari pelipisku kemudian melubangi dinding tepat di belakang. Aku tersentak. Apa ada yang lain?
Riyan tertawa kecil saat tembakannya hampir mengenaiku. "Kalian semua salah. Akulah yang melakukan semua ini. Akulah pelakunya," kata pemuda itu.
Aku semakin tersentak. Bagaimana mungkin semua analisisku salah? Lalu, mengapa aku sama sekali tidak menyadarinya. Riyan, kurasa dia tak mungkin melakukan ini!
"Riyan?!" Seluruh anggota tim serempak berseru tidak percaya, kecuali aku. Riyan kembali tertawa kecil seraya menurunkan senjata api yang digenggamnya.
"Maafkan aku para Senior. Aku bergabung dengan kalian untuk menegakkan keadilan. Tetapi aku tidak bisa menghukum para koruptor dengan cara biasa. Karena itulah aku melakukan semua ini. Aku sedikit tidak percaya kalian tidak mencurigaiku. Padahal, aku kan tidak pernah punya alibi," jelasnya santai. Aku semakin tidak percaya. Ada apa sebenarnya?
"Sekarang juga, aku akan mengakhiri ini," kata bisikan itu. Aku tidak menolak, juga tidak menerima. Aku hanya bungkam melihat semua ini hingga akhirnya rasa sakit itu kembali saat tubuhku diambil alih.
Samar-samar, aku bisa melihat diriku sendiri tersenyum lebar kemudian menyerang balik Kombespol Erlangga yang lengah melihat pengakuan Riyan. Sepertinya alter egoku memang ahli dalam beladiri. Hanya dalam hitungan detik, dia berhasil melepaskan diri sekaligus merebut pistol milik Komisaris Polisi itu.
"Akting yang bagus, Riyan." Aku juga bisa mendengarnya mengucapkan kalimat pujian itu sembari terus mendekatkan moncong senjata api itu pada Kombespol Erlangga yang kuyakini sebagai pelaku yang asli. Aku juga bisa mendengar Riyan memberikan pujian balasan yang sama. Tunggu, 'akting' katanya?
Tepat pada saat itu, kesadaranku kembali pulih. Sepertinya dia hanya berniat membebaskanku, bukan membunuh. Kurasa itu bagus, meskipun aku tidak tahu secara pasti apa yang dia bicarakan dengan Riyan. "Menyerahlah, Pak Komisaris," ucapku datar. Hanya itu yang bisa kukatakan.
Polisi paruh baya itu itu tak punya pilihan lain. Dia akhirnya menyerahkan diri. Kak Adam tampak menghela napas berat saat memasang borgol pada kedua pergelangan tangan orang yang sangat ia percayai. Itu pun dia lakukan dengan sangat terpaksa setelah didesak oleh Komisaris Polisi itu. Akhirnya, semua ini berakhir.
"Hei, Riyan. Jadi kamu bukan pelakunya?" tanya salah satu dari mereka. Aku tidak melihat mereka, jadi tidak bisa memastikan itu siapa. Riyan hanya mengiyakan dengan santai setelah menyerahkan senjata api yang dia gunakan kepada Ipda Randy.
"Terus kalo bukan kenapa kamu malah bilang kek tadi?!" seru Sisi yang masih tampak tidak mengerti. Aku berjalan mendekat. "Apa yang sebenarnya kalian berdua rencanain?!" tanyanya lagi sembari menoleh ke arahku. Riyan melirikku, meminta pendapat.
"Rahasia," sahutku singkat. Gadis bermata empat itu segera protes. Begitu juga dengan Kevin yang masih tidak bisa menahan rasa penasarannya. Aku hanya menyeringai tipis. Aku menyahut seperti itu karena aku tahu jika rencana yang mereka maksud disusun oleh sisi lainku.
"Tapi, kalo yang nyerang Kak Steve waktu itu adalah Ellion, kenapa dia ada di pihak kita?" tanya Riyan heran. Pertanyaan yang mewakili rasa ingin tahuku. Kami semua serempak menoleh ke arah orang yang sedang dibicarakan.
"Yah, waktu itu, aku belum terlau mengenal kalian. Tapi sekarang rasanya sayang sekali kalo nggak membantu," jelasnya setelah dipandagi cukup lama oleh kami berenam. Itu bagus. Meskipun aku belum percaya seratu persen padanya. "Selain itu, sepertinya aku sudah mendapatkan apa yang aku cari."
"Maksud kamu apa sih?" tanya Sisi tidak mengerti. Disambut anggukan oleh kedua gadis lainnya. Ellion berjalan mendekat, hingga hanya berjarak beberapa langkah dari gadis berkacamata itu.
"Kau sendiri, Agatha," jawab laki-laki itu. Aku baru ingat jika tujuannya pindah ke sekolah ini adalah untuk mencari cinta pertamanya. Dan Agatha adalah nama belakang Sisi. Masuk akal jika gadis itulah yang dimaksud Ellion, meskipun aku tidak terlalu paham soal cinta pertama.
Wajah gadis berkacamata itu tampak bersemu merah. Kira dan juga Mia serempak berdeham keras melihtanya salah tingkah. "K-kalian ini a-apaan sih. Namaku itu ...."
"Sisilia Agatha, aku sudah tahu itu. Aku sudah tahu segalanya tentangmu. Dan tentu saja itu karena kau adalah cinta pertamaku yang sudah lama hilang," sambung Ellion sambil terus mendekatinya. Kedua gadis itu semakin gencar membalas perbuatan Sisi selama ini pada mereka.
Aku berjalan menjauh karena sudah tidak mengerti tentang pembicaraan mereka. Salah satu sisi gerbang akhirnya menjadi tempat yang kugunakan untuk bersandar seraya melipat kedua lengan. Memandangi langit sore yang mulai tampak berubah warna menjadi kemerahan.
"Bagaimana? Kau sudah melihat semuanya kan?" tanya bisikan itu lagi. Aku memandag sedatar mungkin bayangan yang kini muncul di depanku sambil tersenyum. Itu adalah senyuman tulus pertama sejak aku menyadari keberadaannya. Dia tampaknya benar-benar berharap aku memberikan balasan bernada positif. Tapi, aku tak bisa langsung percaya padanya. Bisa saja itu hanya trik untuk menipuku.
"Ya," responsku pendek.
"Ada apa lagi? Apa kau masih belum mengerti dengan tujuanku?" tanyanya. aku mencoba untuk mengalihkan pandangan ke seluruh penjuru mata angin yang kini tiba-tiba didominasi oleh kegelapan. Yang bisa kulihat hanya dia.
"Aku hanya ingin melindungimu. Masalahnya jika kau mati, maka aku juga akan mati. Dan aku tidak terima jika kau mati dengan cara yang tidak biasa," jelasnya. Sudah kuduga, yang dia pikirkan hanya keuntungan untuk dirinya saja. Memangnya psikopat mana yang mau melakukan sesuatu untuk orang lain?
"Aku hanya bercanda. Aku memang kasihan padamu. Jika kita bersatu, aku yakin tidak ada seorang pun yang bisa memandang remeh," ujarnya. Aku tetap terdiam. "Dan yah, aku sebenarnya tidak seratus persen psikopat. Aku hanya padamu berbohong soal itu. Aku hanya kebalikan darimu yang perlu berpikir lama untuk membunuh," jelasnya.
"Kekelaman dalam jiwaku berasal dari kebencian. Termasuk ketika kau tidak mau menerimaku. Tapi sekarang aku janji, aku tidak akan membunuh kecuali tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri," terangnya lagi. Aku menghela napas. Hidup ini memang rumit. Ada banyak sekali paradoks di dalamnya.
"Andrew, itu namamu kan?" tanyaku. Dia hanya mengiyakan. Baru kali ini dia tidak banyak bicara. "Kurasa, aku akan mulai menerima keberadaanmu," putusku. Dia tersenyum senang, kemudian meminta penjelasanku.
"Ini sudah takdir. Mungkin kita tidak punya pilihan lain selain saling menerima. Aku tahu, penyakit ini bisa bertahan selamanya. Jadi, aku tidak ingin membuat lebih banyak masalah dengan berkonfrontasi denganmu. Lagipula, mungkin ini adalah salah satu bentuk mencintai diri sendiri. Meskipun aku sebenanya tidak terlalu mengerti soal cinta," terangku.
"Bagus sekali, Steve." Dia tersenyum lebar seraya berjalan mendekat sampai hanya berjarak beberapa inchi denganku. Aku tidak bisa mundur untuk menjaga jarak. "Kau harus tahu, aku juga mencintaimu," lirihnya seraya memperlihatkan senyuman licik. Dia terus saja mendekat hingga bibirnya hampir saja menempel di dahiku.
“Stop it!” seruku sambil menutup mata kemudian perlahan membukanya. Yang kutemukan bukan sisi lainku, tetapi Kira yang tampaknya terkejut karena pekikanku.
"Ada apa? Kau berhalusinasi lagi?" tanyanya cemas. Aku kebingungan harus menjawab seperti apa. Semoga saja dia mengerti aku. "Kau berkeringat dingin. Sudah kubilang kan, jangan pernah sembunyikan apa pun yang kau rasakan lagi." Aku hanya menghela napas panjang.
"Yah, kau berhasil menebaknya," ucapku singkat. Aku memang tidak pernah bisa menyembunyikan apa pun darinya. Cepat atau lambat dia akan segera tahu. Aku tidak mengerti mengapa takdir mempertemukanku dengan gadis yang seolah memiliki kemampuan telepati seperti dia. Aku juga tidak mengerti.
Jika dia sudah telanjur menyukai laki-laki lain, mengapa gadis oriental ini masih saja peduli padaku yang jelas bukan apa-apa baginya. Menurut informasi yang kudengar, seseorang cenderung akan melupakan segalanya — termasuk teman — saat sedang mengalami yang namanya jatuh cinta. Tetapi mengapa dia masih saja mau membuang waktunya untukku yang seolah-olah spesial di matanya.
"Hei, jangan hanya diam saja di situ. Ilusi itu akan kembali jika pikiranmu kosong. Ayo, sebaiknya ikut dalam pembicaraan mereka," ujarnya sembari menarik pergelangan tanganku. "Tidak apa-apa. Aku juga sebenarnya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Setidaknya, kita sama-sama tidak mengerti," guraunya.
Aku hanya tersenyum tipis sebagai respons. Meskipun hati kecilku masih bertanya-tanya. Bagaimana dia bisa tahu jika aku tidak terlalu tertarik pada topik pembicaraan mereka padahal dia tidak pernah bertanya? Inilah yang membuatku mengira gadis itu memiliki kemampuan telepati. Walaupun begitu, entah mengapa wajahnya selalu tampak manis.
*
Jujur aja, Ichi kaget banget waktu kalian berhasil nebak kalo pelakunya Pak Erlangga. Entah kalian yang terlalu peka, atau memang Ichi yang terlalu eksplisit (baca: ceroboh) ngasi petunjuk 😂.
Tapi intinya, SELAMAT BAGI YANG BERHASIL MENEBAK! Mungkin kalian udah pantes masuk di tim mereka 😀.
Kalo ada yang nanya, scene-nya Steve sama alter egonya itu terinspirasi dari lagu Jekyll and Hyde versi vocaloid. Itu lho, yang dinyanyiin sama Miku dan IA. Ichi nggak taruh MV-nya di sini. Niatnya sih gitu, tapi nggak jadi karena ada unsur yuri-nya. Dan Ichi nggak mau karena Ichi sangat anti sama yang namanya yaoi dan yuri (dan takut di-report tentunya 😅)
Di sini, Ichi cuma taruh versi English cover-nya. Kalo mau liat MV asli, silahkan aja cari di youtube. Resiko ditanggung sendiri ya, hehe ... 😄.
Buat kalian yang nggak ngerti, intinya lagu itu tentang orang yang punya dua kepribadian, persis kayak Steve di cerita ini. Terus .... Ah, udahlah. Kalian translate aja sendiri. Ichi lagi males ngetik nih 😂.
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top