Side Story: the Plan
"Itu bisa saja jebakan!" Seruannya terdengar memekakkan telinga sepersekian detik sebelum pintu gudang yang sudah lapuk itu tertutup rapat dari luar. Dia hanya memandang pasrah seraya menyalahkan juniornya di dalam lubuk hati. Ah, sudah kuduga. Dia benar-benar tidak bisa diharapkan pada saat seperti ini.
Tanpa menunggu lebih lama, aku segera bangkit untuk menyelesaikan masalah ini. Membuat pertanyaan yang dilontarkannya tak bisa dia lanjutkan. Dan tentu saja seperti biasa dia mati-matian menolak kesadarannya kuambil alih. Tetapi aku tidak peduli. Selama aku bisa bebas melakukan apa yang kuinginkan, sakit yang dia rasakan tidak akan menghalangi.
"Kak Steve, kau baik-baik saja?" Aku bisa mendengar jelas pertanyaan dari Riyan — aku pernah mendengar dia memanggil nama juniornya ini — setelah seluruh kendali ada di tanganku. Hmph, rupanya dia benar-benar tidak tahu jika aku bukan Steve.
Aku berbalik sembari tersenyum licik sehingga bisa leluasa memandangnya tajam. "Kau bertanya aku baik-baik saja? Yah, sudah pasti 'aku baik-baik saja'," jawabku santai. Riyan tampak mengernyit bingung. Hmm ... mungkin saja karena anak ini mengenal dia sebagai sosok yang pendiam.
"Tidak usah banyak basa-basi. Sekarang juga, cepat jelaskan kenapa bencana ini bisa terjadi. Kuberitahu kau satu hal. Aku sangat tidak suka membuang waktu. Aku ingin cepat bebas," desakku. Riyan tampak semakin heran. Andai saja tidak akan menimbulkan masalah, akan kuakui jika aku hanyalah alter ego.
"Jadi begini, Kak. Tadi saat aku ke ruang loker, ada seseorang yang menempelkan pesan seperti yang dilakukan Senior beberapa hari yang lalu. Isinya, 'Datanglah ke gudang penyimpanan, temui aku di sana.' Jadi, aku langsung datang ke tempat ini. tapi, di sini tidak ada orang. Jadi, aku tunggu sebentar sampai akhirnya Kakak sampai di sini," jelasnya panjang lebar.
"Kau masih simpan pesan itu, kan. Berikan padaku," titahku seraya mengulurkan tangan dengan sebuah tatapan tajam. Anak itu menelan ludah lalu merogoh saku celana untuk mengambil pesan yang dia maksud.
Aku membacanya dengan teliti. Tampaknya anak ini memang tidak berbohong. Baiklah, harus kuakui. Aku tidak terlalu ahli dalam mengenali ciri-ciri orang melalui tulisan tangan seperti yang dilakukan Steve. Tetapi aku tidak akan pernah memberinya kesempatan hanya untuk menyimpulkan ciri-ciri pelaku setelah mengambil alih. Atau resikonya, dia akan memperparah keadaan.
"Jadi, selama dua puluh menit kau diam di sini, apa tidak ada yang kau temukan?" tanyaku setelah melipat pesan itu lalu mengembalikannya pada Riyan.
"Aku tidak selama itu, Kak. Mungkin baru lima menit," sanggahnya. Aku melambaikan tangan tidak peduli. Lagipula, aku hanya mengarang soal lama waktunya di sini.
"Sudah jawab saja pertanyaanku. Jangan buat aku melakukan hal yang tidak kau inginkan," sahutku. Riyan hanya menggeleng samar setelah mencoba memandangi sekeliling. Aku mendengus sebal. "Payah," desisku. Dia tidak merespons, kecuali dengan tatapan yang menampakkan kewaspadaan yang sangat tinggi.
Aku melipat kedua tangan di depan dada. Jika saja sekolah ini membolehkan siswa membawa handphone pasti akan jauh lebih mudah keluar dari jebakan. Tetapi sayangnya tidak. Aneh sekali, padahal zaman sudah berubah. Seharusnya peraturan itu berubah juga. Ah, baiklah. Mau tidak mau aku harus memanfaatkan barang yang ada di sini.
Kuedarkan pandangan, mencoba mencari sesuatu yang sekiranya bisa membantu. Hanya ada tumpukan barang bekas di sekitar sini. Kursi dan meja yang kehilangan kaki, keyborad dan komputer rusak, pecahan kaca. Hahh ... tidak ada yang spesial. Kuarahkan panglihatanku pada sepatu Riyan.
Aku menyeringai puas. Nah, itu dia. Tidak mungkin benda ini bisa ada di gudang sekolah tanpa sebab khusus.
"Riyan, kau tidak lihat? Orang yang menjebak kita, pasti sengaja meletakkannya. Kita bisa keluar dengan bantuan ini," ucapku seraya menunjukkan sebuah senjata api berukuran sedang yang mungkin tidak disadari Riyan.
"Kak Steve, tunggu!" serunya. Aku berdecak kesal. Dasar keras kepala! Apa dia memang ingin terjebak selamanya di tempat pengap ini, lalu mati karena tidak bisa bernapas? "Kita pasti akan mendapat masalah kalau memakai pistol," katanya.
"Tapi itu hanya jika mereka tahu kan?" tanyaku. Riyan tampak kebingungan. Tanpa pikir panjang, aku segera menembakkan sebuah peluru ke arah kaca jendela tepat di belakangnya hingga pecah berkeping-keping. Aku hanya tersenyum miring melihat ekspresi shock anak itu.
"Pecahan kaca dan selongsong pelurunya pasti ada di luar. Kau pasti sudah tahu, tepat di belakang sekolah kita ada rumpun semak belukar. Sekarang, kita hanya perlu meletakkan pecahan kaca yang ada di dekat tumpukan barang itu di depannya. Jadi, orang akan mengira jika kacanya ditembak dari luar. Bukankah begitu?" tanyaku di akhir penjelasan yang sebenarnya tidak perlu untuk seorang siswa SMA yang bisa menganalisis sendiri.
"Sekarang, buat pecahan kaca itu menjadi lebih kecil lalu letakkan di dekat jendela yang pecah." Riyan hanya mengangguk lalu melakukan apa yang kuperintahkan. Dia meletakkannya dengan sangat hati-hati. Kurasa itu bagus. Siapa pun tidak akan percaya pada kebohongan ini jika melihat luka di telapak tangan Riyan.
"Lalu sekarang bagaimana?" tanyanya setelah menyelesaikan tugas.
"Sepertinya masih ada beberapa peluru lagi. Tapi sebelumnya, kau akan melakukan apa saja yang kukatakan, kan?" Riyan mengangguk patuh. Tapi sepertinya itu hanya cara agar dia tidak perlu melihat apa yang tidak dia inginkan.
"Isi benda ini dengan peluru kosong, lalu simpan di tempat yang bahkan aku sendiri tidak tahu, tetapi masih bisa dijangkau tanganmu dengan mudah. Lalu, berpura-puralah menjadi pelakunya," ucapku. Riyan terperanjat mendengarnya, meminta penjelasan. "Aku yakin kau bukan pelakunya. Ini hanya akting, Riyan. Penglihatan tajammu itu akan sia-sia jika tidak dimanfaatkan," jelasku singkat.
"Baiklah, kapan aku harus melakukannya?" tanyanya antusias.
"Kurasa kau tahu kapan harus melakukannya, kan? Tentu saja, saat kau tidak bisa menyerang dari jarak jauh," jawabku. Meskipun tidak terlalu detail, kuharap dia bisa mengerti. Bukan karena aku tidak bisa hidup tanpa bantuannya. Tetapi karena aku ingin sedikit menguji anak ini.
"Dan sekarang, kembali ke rencana kita untuk keluar. Aku akan menembak kaca yang sejajar dengan ini. Dengan begitu kacanya akan pecah, bersamaan dengan kaca ruangan di depannya, jika kita beruntung. Suara itu akan membuat orang yang mendengarnya datang ke tempat ini. Saat itu terjadi, kita hanya perlu berpura-pura jika kita diserang dari luar. Dan tentu saja, kita akan terbebas dari masalah yang kau khawatirkan," jelasku lagi. Riyan mengangguk-angguk sebagai isyarat jika dia mengerti.
Tanpa menunggu lebih lama, aku kembali menembakkan peluru dari pistol itu ke arah kaca yang sejajar dengan sebelumnya. Aku menyeringai puas. Tampaknya, keberuntungan memang berpihak padaku. Terlihat jelas dari dua kaca yang pecah dalam satu tembakan. Aku juga tidak perlu mengganti biaya pemasangan kaca karena mereka pasti percaya jika aku dan Riyan diserang orang tak dikenal.
"Gunakan pada saat yang tepat. Aku mengandalkanmu, Riyan." Aku melemparkan senjata api itu ke arahnya saat terdengar beberapa langkah kaki yang mengarah kemari.
"Akan kulakukan." Riyan mengangguk mantap sembari menangkapnya.
Aku tersenyum miring. Ternyata tidak sulit memintanya melakukan sesuatu. "Good boy."
*
Yah, akhirnya udah jelas kan. Riyan nggak sadar kalo itu sebenernya cuma alter ego, bukan Steve yang asli.
artaingga jawaban kamu nggak seratus persen salah. Soalnya Andrew bukannya nyusun rencana bareng Riyan. Dia cuma suruh Riyan buat ngelancarin rencananya. Jadi, kalo ketemu jangan hajar Ichi ya, hehe .... 😂
Kalo sampe besok Ichi nggak dapet ide, side story-nya cuma ini aja ya. kalo kalian ngerasa masih ada plot hole, komen aja jangan takut. Ichi nggak punya alter ego yang bisa bahayain kalian 😄.
Oke, jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top