File 6

Polisi segera datang ke tempat kejadian perkara beberapa menit setelah Tuan Ishida a.k.a. ayah Kira melakukan panggilan darurat. Pria itu terlihat biasa saja, sama sekali tidak ada rasa panik yang terlihat saat melihat mayat. Para polisi segera membawa mayat yang kami temukan untuk menjalani proses autopsi. Memang jika dilihat sekilas, korban tewas dalam kondisi yang tidak jauh berbeda dengan korban sebelumnya.

Karena sedikit penasaran, aku sempat memeriksa rigor mortis dari mayat tersebut. Dari kekuannya, sepertinya dia dibunuh sekitar dua jam yang lalu, jelas sebelum bel pulang berbunyi. Tetapi yang aneh, mengapa tidak ada yang menyadari keberadaan mayat ini. Padahal letaknya di tempat pejalan kaki biasa lalu-lalang.

Untungnya Komisaris Erlangga yang memimpin penyelidikan ini tidak berkomentar apa-apa saat mengetahui aksiku sebelum mereka datang. Mungkin karena mereka sudah bosan melihatku yang entah bagaimana caranya hampir selalu ada di TKP. Mereka sempat menginterogasi ayah Kira, tetapi aku tidak. Mungkin itu karena mereka juga sudah bosan mendengar jawabanku yang hampir tidak pernah memiliki intonasi.

Akhirnya, kami diperbolehkan pergi sepuluh menit kemudian. Aku juga sempat berbicara sedikit dengan kakak sepupuku. Mereka sama sekali tidak menaruh kecurigaan pada ayah Kira dikarenakan pria itu memiliki alibi yang sempurna. Aku akui, dia memang tipe karyawan yang tidak suka makan gaji buta, tetapi anehnya selalu menolak promosi jabatan. Tidak seperti karyawan lain yang akan menerimanya dengan senang hati.

Baiklah jika begitu, sekarang adalah giliranku untuk menginterogasi.

"Tuan, boleh saya bertanya?" ucapku dengan bahasa formal. Ayah Kira menampakkan antusiasmenya walaupun tanpa menoleh. Itu wajar karena dia sedang menyetir. "Mengapa Anda terlihat biasa saja saat berhadapan dengan mayat?"

"Di Jepang, saya sudah biasa menemukan hal semacam ini. Menemukan mayat di dekat sebuah gedung bukan hal aneh. Meskipun yang tadi itu bukan kasus bunuh diri, saya tidak terlalu terkejut karena sudah familier," jelasnya. Caranya menjawab terlihat normal. Aku bahkan ragu jika dia berbohong.

"Jadi begitu, ya? Maaf, saya hanya sedikit penasaran," balasku. Pria yang kelihatannya seumuran dengan ayahku itu hanya tersenyum tipis sebagai respons.

"Tidak masalah, Tuan Muda. Oh ya, apa Anda baik-baik saja?" tanyanya ramah.  "Tadi saya melihat Anda terlihat sedikit shock."

"Saya tidak bisa melawan hukum gravitasi. Hanya itu. Karena saya adalah penderita hemofilia, saya sedikit shock saat mencium aroma darah yang saya kira berasal dari luka," jelasku seadanya. Kurasa memang tidak mungkin aku harus membahas soal infinity illusion yang sampai saat ini belum terlalu aku mengerti.

"Sebaiknya Anda berhati-hati, Tuan Muda," sarannya. "Anda adalah orang yang berhak untuk menggantikan posisi Tuan Besar di perusahaan. Karena itu, masa depan perusahaan ini ditentukan oleh Anda," lanjutnya.

'Masa depan perusahaan' katanya? Hmph, hanya untuk dalam konteks yang ini, aku merasa lebih baik kakak saja yang berada di posisi itu. Aku sama sekali tidak menginginkan posisi CEO. Bukan karena malas. Tetapi, jika mengingat ayahku yang lama-kelamaan menjadi seorang workaholic, lebih baik aku tidak berhak atas aset apa pun.

"Mr. Ishida, kalau tidak salah  Anda ini akuntan, kan?" tanyaku mengalihkan tema pembicaraan yang semakin lama menjadi out of topic.

"Ya, benar sekali," jawabnya singkat. "Anda ingin saya menyelidiki sesuatu berhubungan dengan kasus ini? Tidak usah sungkan. Saya juga masih punya rasa keadilan." Aku terdiam selama beberapa saat karena dia sudah mengetahui tujuanku. Ternyata, buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya.

"Saya punya beberapa permintaan."

-------x---x------

Mobil ayah Kira melambat kemudian berhenti di depan rumah yang beberapa kali pernah kudatangi sebelumnya. Rumah yang memancarkan kehangatan di setiap sentinya. Walaupun tidak begitu luas, tetapi aku bisa melihat pemiliknya tak terlalu peduli. Mereka tetap terlihat bahagia.

Ayah Kira tidak melarangku masuk, justru dialah yang memaksa. Dia bahkan mengajakku untuk makan malam di sini dengan menggunakan litotes dimana-mana. Aku hanya tersenyum tipis, menolak tawaran itu. Tetapi tidak dengan ajakan untuk masuk. Lagipula, memang ada yang ingin kubicarakan dengan putrinya.

Sesampainya di pintu depan, aku menemukan tiga pasang sepatu yang sudah terlalu sering kulihat. Tentu saja sepasang di antaranya adalah sepatu si pemilik rumah. Aku mengernyitkan dahi. Jadi, mereka melanjutkan penyelidikan di sini ya? Apa mereka tidak khawatir dengan keamanannya. Bahkan, aku bisa mendengar semua pembicaraan dari tempatku berdiri saat ini.

"Eh, itu beneran Kak Edward kan? Kok dia tau kalo kita ada di sini?"

"Iya nih. Bukannya dia bilang 'aku sedikit sibuk'?"

"Oh, jangan-jangan maksudnya sibuk itu dia mau dateng buat minta restu ke orang tua kamu! Liat aja tuh, dia deket banget sama ayah kamu."

"Enak aja! Steve itu anak dari CEO perusahaan tempat Ayah kerja."

"CEO? Seriusan?"

"Wah, kok bisa pas banget kayak di novel romance."

"Eh, dimana-mana novel romance itu kan tentang CEO sama karyawannya. Bukan anak dari CEO sama anaknya karyawan."

"Aduh, Kira. Itu udah terlalu mainstream. Lagian nih, masa iya kamu mau tungguin Steve jadi CEO terus kamu jadi karyawannya?"

“Aku  nggak ngerti maksud kalian ini apa?”

"Riyan, ini urursan cewek! Lagian aku ngomongnya sama Kira, bukan kamu."

Aku segera memasang ekspresi sedatar mungkin saat mendengar potongan pembicaraan itu. Mereka sebenarnya melanjutkan penyelidikan atau membiacarakan orang lain di belakang? Ralat, mereka membiacarakan aku yang berdiri di depan pintu dari ruang tamu. Artinya, mereka membicarakanku di depan.

"Apa aku boleh bergabung?" Aku memilih untuk melangkahkan kaki ke dalam rumah itu. Daripada waktu terbuang sia-sia, lebih baik aku mengatakan ini pada mereka semua.

"Lagian siapa yang suruh kamu buat kabur?" Sisi bertanya balik seraya menaikkan posisi kacamata serta nada bicaranya sekaligus. Aku berdecak, siapa yang berniat 'kabur'? Aku hanya sedang berusaha untuk melakukan penyelidikan sendiri.

"Memang ini sulit dipercaya. Tetapi, aku menemukan korban lagi," paparku sambil mengambil tempat di salah satu sisi sofa yang masih kosong. Seperti dugaanku, mereka semua terkejut. "Walaupun aku hanya sempat memeriksa rigor mortis, kuat dugaanku jika ini berhubungan dengan kasus yang sedang kita tangani. Luka yang diterimanya juga sama persis dengan korban-korban sebelumnya."

"Tapi, bagaimana jika itu hanya kebetulan?" tanya Kira. "Menusuk jantung korban kan bukan modus milik satu orang kan?"

"Aku tahu cukup banyak tentang korban. Dia adalah salah satu bawahan ayahku yang belum lama ini mendapat promosi. Jadi, kemungkinan ini memiliki hubungan dengan kasus-kasus sebelumnya," terangku. "Kecuali jika ayah Kira mendapatkan apa yang aku minta, maka dugaanku yang ledua lebih tepat."

"Jujur aja, sebenernya kamu punya berapa dugaan sih?" tanya Sisi. Aku berpikir sejenak, kemudian mengangkat seluruh jari tangan kananku. "Lima? Banyak banget."

"Mungkin lebih dari itu. Entahlah, aku juga sedang bingung," sahutku seraya kembali mencoba untuk mengingat-ingat.

"Maaf, Kak Edward. Tapi jika kasusnya sudah seserius ini, menurutku kita harus bergerak cepat. Kami tidak tahu harus bagaimana, tetapi kami yakin Kakak punya rencana yang jauh lebih baik," timpal Riyan. Aku menghela napas. Tidak kusangkan jika anak ini bisa membuat powerful sentences seperti ini.

"Aku tidak bisa memimpin. Aku juga tidak yakin kalian bisa mengikuti caraku. Tapi, jika kalian setuju dengan syarat yang kuberikan, tidak masalah," jelasku. "Pertama, lakukan apa yang aku minta saja, jangan bertindak sendiri. Kedua, jangan berpikir negatif, sekalipun yang kulakukan tidak bisa diterima logika kalian."

"Baik, kami setuju," sahut Kira. "Apa ada syarat lain lagi?" Pertanyaan paling tulus yang pernah kudengar selama seharian ini.

"Bilang aja yang kamu mau itu cuma otoritas penuh. Udah kayak penjajah Hindia Belanda aja," gerutu Sisi. Aku tidak terlalu memperhatikannya. "Oh ya, aku lupa. Kamu kan orang Inggris," lanjutnya. Aku mendelik, tidak suka jika ada yang berani menyebutku begitu. Dari semua frasa yang ada, yang paling kubenci adalah 'British people' atau yang sejenisnya.

"Kamu ini. Steve nggak suka dikatai orang Inggris." Itulah yang bisa kusimpulkan dari gerak bibir Kira saat berbisik pada gadis berkacamata itu seraya menyikutnya. Sisi yang tampak kesal hanya mengiyakan.

"Syarat ketiga, aku ingin Riyan memanggilku dengan nama depan," ujarku lagi. Dari semua syarat yang kuberikan, ini yang paling sederhana. Keterlaluan jika dia tidak bisa memenuhinya.

"Ah, iya iya. Kita udah setuju sama syarat aneh kamu. Tapi awas, kamu juga nggak boleh kabur lagi," balas Sisi dengan nada mengancam. Aku tidak merespons. Sudah kukatakan, aku tidak pernah 'kabur'.

"Jadi sejauh ini, apa yang bisa kita simpulkan?" Kira kembali bertanya.

"Aku punya dua kesimpulan, hanya satu yang akan kuberitahu. Yang kedua akan kita pakai jika ayahmu mememukan yang kuharapkan," paparku. "Sementara ini, kita anggap saja pelaku bukan satu orang. Semua pelaku meniru modus kasus sebelumnya, sehingga terlihat sebagai pembunuhan berantai. Dan jika yang ini terbukti benar, kita harus menarik diri dari penyelidikan," tegasku lagi. Riyan tampak ingin protes, tetapi batal. Mungkin karena teringat persyaratan yang kuberikan.

"Ya udah, kalo gitu kita sampe sini aja. Kira, aku pulang dulu ya," pamit Sisi, disusul Riyan. Aku juga hendak beranjak ketika sang pemilik rumah memanggilku kembali.

"Sebenarnya, apa yang kau minta dari ayahku?" tanyanya dengan sedikit nada ragu yang bercampur penasaran.

"Yah, hanya  permintaan kecil." Aku tersenyum tipis, melanjutkan langkahku yang sempat terhenti menuju halte bus terdekat. Tentu saja setelah dengan halus menolak tawaran ayah Kira untuk mengantar.

*

Ada yang mau nyoba nulis cerita romance pake ide antimainstream dari Sisi? “CEO's Son and Officer's Daughter” kayaknya bakalan menarik ya. Udah terlalu bosen liat cerita CEO yang gitu-gitu aja.

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top