File 4
Oh, pemandangan sore yang indah. Sayangnya, aku hanya bisa memandangimu lewat jendela kamar. Aku tidak punya waktu untuk itu. Kasus ini datang lagi, membuatku sibuk dengan layar laptop. Doakan aku agar segera menyelesaikan apa yang sudah kumulai. Setelah itu, aku bisa belajar lebih serius.
Yah, aku memang sedang sibuk dengan laptopku. Ini adalah caraku melakukan penyelidikan. Sampai-sampai Kira memberiku julukan detektif hikikomori. Entahlah, aku tidak terlalu mengerti. Tetapi dia sendiri yang menjelaskan jika hikikomori adalah sebutan untuk orang yang menarik diri dari kehidupan sosial. Padahal jika kupikirkan lagi, aku tidak separah itu.
Tetapi bukan dengan jalan hacking. Kalian pikir penemuan hebat abad dua puluh ini hanya bisa digunakan untuk itu? Ada banyak sekali cara lain, yang lebih aman tentunya. Kali ini, aku menggunakannya untuk mencari informasi tentang kasus pembunuhan yang terjadi selama beberapa bulan terakhir.
Sebelum mengataiku aneh, kuberitahu kalian satu hal. Tidak ada kasus kriminal yang benar-benar baru. Semua pasti memiliki kemiripan dengan kasus-kasus yang terjadi sebelumnya. Entah itu trik pelaku dalam menyembunyikan kejahatannya, cara membuat alibi, bahkan motif pelaku. Setahuku, motif paling klasik adalah karena cinta atau dendam. Seperti dua kasus sebelumnya.
“Steve, teman-temanmu da- .... Oh, astaga. Kau bahkan belum berganti seragam?!” kata Ibu yang tiba-tiba membuka pintu kamar, membuatku terkesiap.
“Oh, Ibu. Apa kau tidak bisa mengetuk pintu lebih dulu?” tanyaku sambil mematikan laptop yang bahkan belum memberiku informasi apa pun.
“Terserah apa katamu. Kau ini benar-benar tidak jauh berbeda dengan Erick,” balasnya.
Aku menghela napas panjang, benar-benar kesal. Bukan karena Ibu yang memarahiku. Aku justru senang jika ia punya cukup energi untuk memarahi anaknya ini. Aku hanya tidak suka jika dia menyebut nama yang paling tidak ingin aku dengar, apalagi jika sampai menyamakanku dengannya.
“Hai, ternyata kau ini sulit sekali dihubungi ya,” ujar Kevin sambil berkacak pinggang ketika aku baru saja sampai di depan pintu. Astaga, mereka pasti menolak ajakan Ibu untuk masuk dan menunggu di ruang tengah.
“Jangan mencoba untuk menjadi ayahku yang kedua,” balasku. Kevin hanya tertawa kecil, memperlihatkan sikap kekanakannya yang tidak pernah berubah sejak pertama kali bertemu sejak kelas tiga SMP.
“Ayo masuk,” ajakku. Tampak dari raut wajah mereka jika sebentar lagi mereka akan menolak. “Tidak ada protes. Ayah berkata jika koleganya akan datang pukul lima tepat. Sekarang sudah pukul empat lebih empat puluh lima menit. Artinya lima belas menit lagi mereka akan datang,” ucapku sebelum ada interupsi.
“Okelah kalo gitu. Aku nggak keberatan,” kata Sisi yang kemudian disambut anggukan oleh yang lain. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera membawa mereka ke ruangan kosong di dekat pintu belakang rumah. Meskipun kosong, ruangan ini tak seperti bayangan kalian. Tidak ada debu menumpuk atau barang yang berserakan, apalagi hantu.
“Wow, ini luasnya seperti aula sekolah,” ucap Kira kagum sambil memandang sekeliling yang tidak ada barang apa pun. Hanya beberapa kursi lipat dan sebuah meja kecil dengan beberapa tumpukan kertas di atasnya.
“Kamu pasti beruntung kalo berhasil dapetin hatinya.” Kira yang mendengarnya berusaha memukul Sisi. Meskipun mecoba berbisik, aku bisa mendengar suara gadis berkacamata itu karena tidak ada suara lain di sekitar sini.
“Aku juga baru tau jika ada ruangan ini di rumahmu,” sambung Kevin. Aku hanya mengedikkan bahu.
“Itu karena kau tidak pernah memperhatikannya,” balasku seraya mengambil salah satu tumpukan kertas yang ada di meja itu. Tepatnya, lembaran koran lama yang kutumpuk menjadi satu. Isinya? Hanya berita kriminal. Keluargaku tidak berlangganan koran, sama sekali tidak pernah.
“Kamu nggak mau tau kenapa Riyan nggak mau ikut?” tanya Sisi. Aku tidak merespons. Sama sekali tidak tertarik.
“Baiklah, sebaiknya kita segera mulai,” ucap Kevin. “Informasi apa saja yang sudah kau dapatkan?”
“Tidak banyak. Aku hanya menguping pembicaraan Komisaris Polisi kemarin dengan salah satu petugas forensik. Korban diperkirakan meninggal pukul tujuh sampai delapan pagi. Penyebabnya adalah luka di dada kiri. Sejauh ini, mereka belum menemukan bukti. Kecuali, pesan misterius di handphone milik korban yang diduga berasal dari pelaku,” jelasku.
“Hanya itu?” tanya Kevin ragu. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. “Padahal biasanya kau yang paling cepat mendapat informasi — yang entah darimana datangnya — dari sebuah kasus.”
“Jadi, bagaimana dugaanmu sejauh ini?” tanya Kira.
“Yah, memang belum ada yang spesial. Hanya saja, aku menduga kasus ini ada hubungannya dengan kasus pembunuhan yang terjadi seminggu lalu,” ucapku sambil menyodorkan salah satu koran yang sudah kutandai pada mereka. “Korbannya juga mendapat luka di dada kiri, dan juga ... punya catatan kasus korupsi. Ah, jangan lupakan yang ini.” Aku kembali menyodorkan koran lain yang berisi berita kriminal.
“Juga?” tanya Sisi heran. Mungkin ia sama sekali tidak tahu tentang rumor itu.
“Aku tidak sengaja mendengar Rio membicarakan isu tentang penggelapan yang dilakukan korban. Aku sebenarnya tidak terlalu percaya. Tapi, ada kemungkinan pelaku percaya kemudian membunuhnya,” paparku.
“Disini tertulis, ‘korban memiliki catatan korupsi sebesar lima belas miliar’. Di koran yang lain juga tertulis jika ‘korban diketahui menggelapkan dana ...’. Ah, aku malas membaca berita seperti ini,” ungkap Kira.
“Jadi menurutmu, pelaku hanya mengincar para koruptor, begitu?” tebak Kevin.
“Entahlah, sebenarnya aku tidak terlalu yakin. Masih ada kemungkinan jika pelaku ingin merebut jabatan korban,” jawabku.
“Maksud kamu, pelaku bukan satu orang?” tanya Sisi. Aku mengangguk sebagai jawaban. Gadis itu kembali melihat-lihat isi koran setelah menerima respons.
“Pelaku dari kasus pertama membunuh atasannya agar ia bisa naik jabatan menggantikan korban. Tapi, kepolisian kekurangan bukti untuk menyeret tersangka ke balik jeruji besi. Setelah itu, kasus lainnya mulai bermunculan. Polisi menduga jika kasus-kasus itu meniru modus dari pembunuh korban pertama yang menamai dirinya ‘the eraser’. Nama yang aneh sekali memang.” Aku tertawa kecil. “Itu adalah dugaan kepolisian sementara.”
“Jadi sekarang, bisa kamu jelasin tentang anak baru yang tadi?” tanya gadis berkacamata tipis itu. Aku mengerutkan kening bingung. “Ergh ... aku lupa namanya. Itu yang tadi kenalan sama kita di depan ruang OSIS.”
“Oh, dia adalah kenalanku dari media sosial. Dia anak dari Komisaris Erlangga, polisi yang memimpin penyelidikan kasus ini. Aku lupa bagaimana awal dari perkenalan itu. Intinya, dia banyak bertanya tentang sekolah kita. Lalu kemarin, dia berkata padaku jika dia akan pindah untuk mencari cinta pertamanya,” paparku. “Jadi cinta bisa membuat orang rela melakukan segalanya ya?”
“Yah, gitu deh. Kamu bakalan ngerti kalo udah ngalamin. Emangnya, kamu nggak pernah jatuh cinta ya?” tanya Sisi penuh selidik. Aku mengedikkan bahu. Lagipula, aku tidak tahu cinta itu apa. Namun, Kevin yang sudah mengetahui semuanya memandangku intens.
“Baiklah, jika kalian tidak ada pertanyaan lain. Kita akhiri saja sampai di sini,” ucapku sembari merapikan lembaran-lembaran koran yang tercecer di lantai.
“Aku masih ada satu pertanyaan lagi,” sahut Kevin. Sebelah alisku terangkat. “Darimana saja kau mendapat semua informasi itu, bahkan dugaan kepolisian. Tidak mungkin kau mendapatkannya dengan cara hacking, kan?” Aku menghela napas kemudian tersenyum tipis.
“Baiklah, kalau kau bertanya. Kasus-kasus semacam ini sudah terjadi cukup lama. Kira-kira, beberapa minggu sebelum ujian semester ganjil. Aku ikut serta dalam penyelidikan karena sepupuku yang terlibat dalam penyelidikan itu. Karenanya, aku tidak banyak membantu kalian dalam kasus pembunuhan berantai di sekolah. Maafkan aku soal itu,” ungkapku dengan sedikit nada menyesal.
“Ah, tidak perlu minta maaf. Seharusnya kami yang minta maaf karena mencurigaimu sebagai pelaku,” balas Kira. Kedua sudut bibirku terangkat mendengarnya. Apa hanya aku yang merasa jika setiap kata-kata yang terlontar dari gadis itu begitu menenangkan?
“Oke kalo gitu, kita pulang dulu. Kita lanjutin lagi besok,” putus Kevin. Aku tidak berkomentar sampai bayangan mereka benar-benar tidak terlihat lagi dari depan pintu gerbang rumahku. Aku tidak bisa menahan karena satu menit setelah kepergian mereka, beberapa buah mobil tampak mendekat.
Namun, bukan itu yang menyebabkan aku tetap bergeming di tempat ini. Melainkan karena siluet bayangan salah seorang gadis di antara mereka berdua yang selalu saja membuatku tidak bisa menahan diri untuk tersenyum. Dia memang tidak sempurna, tetapi bagiku sangat istimewa. Seandainya ....
“Maaf, Tuan Muda. Tapi, bisa Anda menepi sedikit?” ujar seseorang membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap, dia adalah salah satu bawahan Ayah yang hendak memarkirkan mobilnya. Meskipun malu, aku tetap berusaha untuk terlihat cool dengan tersenyum dan bersikap formal. Itu adalah satu-satunya cara.
Kira, mengapa kau selalu saja membuatku seperti ini? Apa kau juga pernah mengalami hal sepertiku? batinku saat memandangi seluruh kota yang mulai berubah menjadi siluet indah dari balkon. Seperti hidupku yang dulu seperti film hitam putih. Dia datang, menggoreskan berbagai warna di hidupku yang dulu bagaikan lukisan monokrom. Padahal pada kenyataannya, dia sama sekali tidak melakukan apa pun. Aku sungguh tidak mengerti.
Angin sepoi-sepoi menerbangkan benda-benda ringan yang dilaluinya. Menerbangkan rambutku yang jarang disisir ini dengan lembut. Menerbangkan daun-daun kering yang jatuh dari pohonnya. Namun sayangnya tidak bisa menerbangkan perasaan terpendam ini padanya. Perasaan yang hingga sekarang belum kumengerti.
Ah, kenapa otakku yang biasanya sangat scientific ini mendadak menyusun kalimat puitis dan indah seperti tadi?
*
Entah kenapa Ichi mendadak jadi puitis hari ini. Mungkin karena masih kebawa gaya narasi di novelnya Tere Liye 😂. Ichi juga nggak tau kenapa hari ini pengen update dua chapter.
Oke, jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top