File 26
Kulihat cahaya matahari yang mulai bergerak ke arah barat melalui jendela. Satu hari kulalui hampir tanpa kegiatan apa pun selain menatap langit-langit ruangan. Kalimat Ayah pagi tadi masih saja terngiang-ngiang. Berhenti dari penyelidikan, sulit sekali untuk melakukannya.
Mungkin gegar otak ini akan mengalahkan pendarahan sebagai kondisi tubuh paling menyebalkan. Aku benar-benar merasa seperti orang amnesia yang tidak bisa mengingat kejadian sebelumnya. Padahal ini kan hanya gegar otak ringan. Harusnya aku tidak sampai mengalami semaput.
"Kau ingin tahu apa yang terjadi?" tanya bisikan itu. Aku mendengus kesal. Sekarang apa yang dia inginkan. Apa dia tidak cukup melakukan hal aneh saat aku terjebak di gudang bersama Riyan? Tetapi, jika dia tahu sesuatu, sebaiknya aku dengarkan saja penjelasannya.
"Kau tidak sadarkan diri karena aku yang mengambil alih. Tepat setelah Ellion memukulmu, aku segera mengambil alih kendali dan berpura-pura tidak sadarkan diri. Aku tahu, niat Ellion sebenarnya adalah melumpuhkan pertahananmu. Itu dia lakukan agar kau tidak punya pilihan lain selain keluar dari penyelidikan," jelasnya. Ellion? Ah, jadi anak itu yang melakukannya.
"Lalu?" tanyaku sedikit penasaran. Meskipun di dasar hatiku masih terselip rasa tidak percaya.
"Lanjutan ceritanya kau tebak saja sendiri. Apa gunanya aku berbicara dengan orang yang tidak mau menerima keberadaanku," balasnya dengan nada kesal. Aku tidak peduli. Lagipula, bagaimana aku bisa menerima keberadaan monster yang sewaktu-waktu bisa membunuh orang lain di sekitarku?
"Aku bukan monster seperti yang kau pikirkan. Walaupun kita berbeda, aku sudah berusaha menerimamu sebagai kepribadian asli yang overthinking. Dan sudah kuputuskan, tujuan utamaku adalah melindungimu, dengan caraku sendiri tentunya," jelasnya lagi. Aku tersenyum hambar mendengarnya. Itu lelucon paling tidak lucu yang pernah kudengar.
"Saat kasus ini tuntas, akan kupastikan kau terkejut dengan plot twist yang kubuat. Kau mungkin akan segera sadar jika selama ini aku berusaha untuk melindungimu. Bukan memanfaatkanmu," ujarnya.
"Melindungiku? Apa kau berpikir aku akan percaya dengan omong kosong itu?" tanyaku sinis.
"Kau tidak mengerti. Dan akan kubuat kau mengerti akan tujuanku. Saat itu, aku yakin kau akan menerimaku sebagai alter ego dengan sukarela," sahutnya. Aku menghela napas panjang. Apa yang akan dia lakukan sehingga begitu optimis aku akan menerimanya?
Tiga ketukan di pintu menyadarkanku dari ilusi. Aku yakin yang melakukannya bukan Ibu, Ayah, apalagi para perawat. Karena mereka pasti akan langsung membuka pintu tanpa mengetuknya jika aku sedang sendirian. Cukup lama hingga pintu itu akhirnya terbuka setengahnya.
Sudah kuduga. Mereka adalah para anggota timku. Karena aku yakin sekarang sudah waktunya bagi bel pulang sekolah untuk berbunyi. Mereka bahkan masih berpakaian seragam. Aku memicingkan mata. Oh, aku salah. Ternyata ada satu orang lagi, orang yang membuatku bisa sampai di tempat ini, Ellion.
"Kak Steve, kami datang menjenguk," ucap Riyan ramah. Aku tidak merespons, itu suda jelas bukan? "Maaf, kami tidak sempat membawa apa-apa," katanya lagi. Aku hanya mengangguk samar. Aku sudah bisa menduga hal itu.
"Steve, apa kepalamu baik-baik saja?" tanya Kira yang tampak bingung harus memulai pembicaraan darimana.
"Yah, begitulah. Aku hanya merasa seperti orang bodoh seharian ini," jawabku. Hasilnya, hampir semua dari mereka tampak kebingungan dengan jawabanku yang kurang spesifik.
"Akhirnya kamu tau rasanya jadi orang bodoh." Gadis berkacamata itu sepertinya salah mengartikan ucapanku.
"Bukan begitu. Dokter melarangku memikirkan hal berat sampai pulih. Itulah yang membuatku merasa seperti orang bodoh," jelasku seadanya. Aku menghela napas panjang. "Sepertinya aku akan keluar dari penyelidikan ini."
"Ehh, kok gitu?!"
"Aku merasa misi ini terlalu berbahaya. Sebaiknya kita hentikan saja. Lagipula, kita harus mulai memikirkan soal kelulusan," jelasku. Mereka bertiga tampak menghela napas kecewa. Namun, ada satu hal yang berbeda. Aku menemukan sebuah seringai puas samar di wajah Ellion.
"Teman-teman, maaf aku pulang lebih dulu ya. Ayah bisa marah kalau aku terlambat," pamit Ellion yang kemudian mendapat tanggapan berupa anggukan dari yang lain, kecuali aku.
Aku tertawa sinis ketika langkah kakinya tidak lagi terdengar. Jika di sini tidak ada orang lain, aku pasti akan tertawa lepas. "Pulanglah, Ellion. Tertawalah sepuas hatimu. Jika aku keluar dari rumah sakit ini, akan kuajari kau arti dari keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang kau salah pahami. Dan saat hari itu tiba, akan kutunjukkan padamu arti yang sesungguhnya. Pada akhirnya, keadilan-lah yang akan menang," batinku.
"Hoi, kamu kenapa sih?!" seru gadis berkacamata tipis itu. Aku tersenyum miring lalu menoleh ke arahnya.
"Bagaimana aktingku?" tanyaku datar. Sisi mengernyit bingung, bagitu juga dengan Kira dan Riyan. "Aku tidak akan keluar dari penyelidikan ini. Aku akan tunjukkan siapa pelakunya pada kalian saat aku diperbolehkan pulang," jelasku.
"Kau sudah tahu?!" tanya Kira tidak percaya. Aku mengangguk mantap. "Kenapa kau tidak mengatakannya sekarang saja?" tanyanya lagi.
"Jika kuberitahu kalian sekarang, ending dari kasus ini tidak akan seru," jawabku. "Lagipula, apa gunanya aku memberitahu kalian jika pelakunya sedang tidak ada di tempat ini? Aku tidak akan memberi kalian spoiler," tegasku. Mereka langsung memasang ekspresi kecewa.
"Baiklah kalau begitu. Walaupun kami penasaran, kami hanya bisa berharap Kak Steve cepat pulih," ucap Riyan.
"Ya udah, kita pulang dulu ya. Bye," pamit Sisi kemudian bersiap keluar diikuti oleh Riyan dan juga Kira. Aku menghela napas panjang. Mungkinkah mereka benar-benar menganggapku sebagai teman? Mungkinkah, Kira juga menganggapku hanya sebagai teman. Kurasa apa yang dikatakan Kevin benar. Aku tidak ingin jika hanya menjadi 'teman'.
"Apa kita bisa bicara sebentar?" tanyaku setelah berhasil menghentikan langkah gadis berwajah oriental itu. Aku benar-benar berharap bisa mengetahui lebih jauh tentang laki-laki yang 'disukainya' itu. Bukan apa-apa. Aku hanya penasaran.
"Tentu saja," balasnya sambil tersenyum kembali mendekat. "Apa yang ingin kau bicarakan. Apa ... kau mau memberitahuku pelakunya?" tanyanya sambil tertawa kecil. Jelas sekali jika dia hanya bercanda.
"Apa bagimu, keberadaanku itu mengganggu?" tanyaku to the point.
"B-bicara apa kau?! Ten-tu saja tidak," jawabnya dengan nada kesal yang kedengarannya hanya dibuat-buat. Aku kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya dalam sepuluh menit terakhir. Bisa saja itu hanya kebohongan. Jika dia sudah telanjur suka pada laki-laki lain, apa yang penting dari eksistensiku?
"Kalau begitu, aku hanya ingin bertanya sedikit ... tentang laki-laki yang kau suka itu," ujarku apa adanya. Tampak jelas olehku perubahan warna di pipi gadis itu. "Jika kau tidak mau, tidak masalah," aku bergumam.
"Kau tidak suka jika aku jatuh cinta?" tanya gadis itu. Aku menggeleng cepat. Jika itu adalah hal lumrah bagi setiap orang, mengapa aku harus tidak suka? Aku hanya bisa berharap dia mengerti maksudku.
"Sora .... Walaupun tidak sempurna, dia sangat luar biasa. Justru karena dia memiliki kekurangan, aku menjadi tertarik. Tapi ... kurasa dia tidak menyukaiku. Lagipula apa yang dia harapkan dariku? Dia memiliki segalanya, sedangkan aku?" ujarnya. Aku bisa melihat kedua tangannya yang meremas rok.
"Percuma saja, dia tidak mungkin memiliki perasaan yang sama sepertiku. Dia pasti sudah telanjur jatuh cinta pada gadis lain. Aku ingin membuang perasaan ini sebelum kecewa lebih dalam, tapi tidak bisa. Aku tidak tahu caranya," ungkap gadis itu. Aku tidak merespons. Bukankah jika seperti itu seharusnya dia lebih mudah mengerti apa yang kurasakan?
"Kita sama," lirihku. Kira cepat-cepat mengangkat wajah, tertawa renyah demi memecah kecanggungan.
"Ah, maaf. Aku jadi curhat," katanya. "Sudahlah, jangan bahas dia lagi. Kalau kau juga sama, bisakah kau melupakan wajah gadis itu sebentar?" Aku berkata 'tidak' dalam hati. Itu karena dialah gadis yang kumaksud. Bagaimana aku bisa melupakan sementara yang bersangkutan ada di depan mataku?
"Kita ini teman kan? Nah, jangan pernah bertanya apakah aku membencimu, apa aku terganggu, atau pertanyaan yang sejenis lagi. Oke?" Tanpa ragu, kedua tangan Kira menggenggam telapak tangaku yang dingin. "Dan … tidak usah pikirkan yang aku katakan soal Sora. Bagaimanapun, temanku jauh lebih penting," ungkapnya sambil tersenyum.
Aku bisa merasakan sesuatu yang hangat dalam dada begitu melihat senyuman yang selalu mengingatkanku pada Alenna. Entahlah aku tidak mengerti. Walaupun Kira terlihat sangat 'menyukai' laki-laki itu, ucapannya membuatku merasa sedikit lebih lega. Setidaknya aku masih memiliki tempat.
*
Seandainya kalian peka, Ichi yakin kalian bisa tau siapa sebenernya identitas dari cowok yang namanya Sora tadi. Dan Ichi yakin, kalian bakalan kaget kalo tau siapa sebenernya dia. Hehe ... Ichi nggak akan ngasi spoiler 😂.
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top