File 25

Sebuah cahaya putih menyilaukan memaksa mataku untuk terbuka setengahnya. Dahiku terlipat ketika sebuah aroma pekat antiseptik menyerang penciuman. Tidak salah lagi, aku ada di rumah sakit. Luka di lengan pasti — untuk yang ke sekian kalinya — membuatku kehilangan banyak darah. Tapi, apa kepalaku baik-baik saja?

Aku mencoba untuk berganti posisi. Rasa nyeri yang luar biasa seakan menusuk kepalaku seketika. Persis seperti ketika alter egoku mendesak untuk bangkit. Refleks kedua tanganku memeganginya. Rasanya memang ada perban di sana. Semoga saja aku tidak perlu mendengar diagnosis mengerikan dari dokter saraf.

Aku melirik jendela dengan gorden terbuka setengahnya. Matahari masih tampak bersinar dari ufuk timur. Sudah pagi rupanya, jadi sudah berapa lama aku pingsan? Aku juga ingin tahu hari ini hari apa. Masih berharap aku bisa keluar dalam waktu singkat agar bisa menepati janji pada Dokter Hary.

Suara langkah berat seseorang terdengar mendekat kemudian menggerakkan gagang pintu. Seorang pria berpakaian putih khas tenaga medis tersenyum ke arahku. "Kau sudah bangun rupanya. Apa kau tahu, kau tertidur hampir selama dua hari," ucapnya. Aku tersentak, selama itu? Memangnya apa yang terjadi padaku?

Tanpa menunggu lebih lama, pria itu mulai melakukan beberapa prosedur pemeriksaan. Menanyakan apa yang masih kurasakan. Tentu saja aku menjawab jujur jika kepalaku masih terasa nyeri. "Kau hanya mengalami gegar otak ringan. Kami sudah melakukan prosedur medis terbaik untuk itu. Keadaanmu memang mulai membaik. Tapi usahakan dalam beberapa hari ke depan, jangan terlalu memaksakan diri hingga benar-benar pulih," paparnya. Aku hanya bisa mengangguk patuh.

"Hemofilia itu memang sempat membuatmu kehilangan cukup banyak darah. Tetapi sepertinya temanmu itu tahu cara pertolongan pertama yang benar," terangnya lagi. Siapa yang dia maksud temanku? Dan  apa yang terjadi sebelum aku sampai di sini. Aku hanya ingat seseorang memukul kepalaku dari belakang kemudian mengayunkan sebuah pisau.

"Saya tahu, kau ini anak yang genius. Tapi sebaiknya istirahat saja, tidak usah pikirkan hal berat seperti perubahan iklim global." Dari nada bicaranya, aku bisa tahu jika pria itu sedang berusaha membuat gurauan. Lagipula siapa yang akan memikirkan perubahan iklim global?

Aku termenung cukup lama. Gegar otak ringan? Jika hanya itu, bukankah seharusnya aku tidak perlu sampai kehilangan kesadaran. Selain itu, aku tidak perlu sampai lupa apa yang kulakukan sebelum sampai di tempat ini. Ah, aku tidak mengerti. Tidak usah pikirkan hal berat, kurasa aku tidak bisa hanya tiduran tanpa memikirkan apa pun.

Gelombang suara gagang pintu yang digerakkan kembali mengusik gendang telingaku. Kali ini yang melakukannya adalah Ibu. Dia tampak tersenyum lebar saat melihatku bersandar di tempat tidur. "Sayang, kau sudah bangun?" tanyanya. Aku hanya bisa mengangguk sambil memperlihatkan sebuah senyuman agar gurat-gurat kekhawatiran yang terlihat di wajah Ibu tidak bertambah.

"Apa Dokter sudah memeriksa keadaanmu?" tanya Ibu lagi. Aku kembali mengangguk mengiyakan. "Kau pasti sudah dengar diagnosis dokter. Ibu sangat khawatir. Sakit kepalamu masih terasa?"

"Yah, hanya sedikit," sahutku. Yang masih kupikirkan adalah kejadian sebelum aku sampai di ruangan ini. Pukulan itu rasanya cukup keras. Tetapi mengapa aku hanya mengalami gegar otak ringan. Iya, aku tahu jika seharusnya aku bersyukur. Tetapi aku yakin ada hal lain yang tidak kuketahui.

Untuk ke sekian kalinya, suara pintu yang terbuka kembali mengusik. Keheranan menyapa ketika melihat pria yang berdiri di bawah bingkai pintu adalah Ayah. Ya, bagaimana aku tidak heran. Sangat aneh jika pengusaha yang selalu memiliki jadwal padat sejak bangun tidur menyempatkan diri untuk datang ke rumah sakit.

"Steve, keluarlah dari investigasi itu," tegas Ayah to the point. Aku tersentak kaget. Dia bahkan tidak menyempatkan diri untuk berbicara dengan Ibu atau menanyakan kondisiku. "Biar Ayah saja yang beribacara dengan Adam," lanjutnya tanpa intonasi. Aku menundukkan wajah sedalam mungkin. Sorot mata Ayah membuatku seolah kehilangan kemampuan bicara.

"Ayah tahu, kau merasa bertanggung jawab karena sudah telanjur terlibat. Tapi Ayah tidak akan diam saja kalau itu bisa membuatmu dalam bahaya." Aku meremas selimut putih yang kupakai demi menyembunyikan kedua telapak tanganku yang gemetaran serta berkeringan dingin.

"Maaf," lirihku. Hanya itu kata yang aku tahu dan dapat kuucapkan agar bisa selamat dari kemarahan Ayah. Kututup rapat-rapat kelopak mata seraya menggigit bibir bawah dengan gelisah. Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang mengelus puncak kepalaku. Aku kembali terperanjat, tetapi belum berani mengangkat wajah.

"Ayah yang seharusnya meminta maaf," ucapnya. Aku semakin tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ada apa sebenarnya ini? Aku yang salah karena membahayakan diriku sendiri, dan seharusnya aku yang mengucapkan permintaan maaf. Tetapi mengapa Ayah yang tiba-tiba melakukannya?

"Dulunya Ayah membangun perusahaan ini, agar kalian bisa hidup dengan nyaman. Ayah mengorbankan segalanya demi kalian. Tetapi sekarang, Ayah justru mengorbankan kalian demi perusahaan ini. Tanpa sadar Ayah malah menjadi workaholic dan membiarkan kalian melakukan apa pun tanpa pengawasan," jelas Ayah. Aku masih belum berani mengangkat wajah. Bisa saja itu adalah cara barunya untuk memarahiku.

"Ayah terlambat menyadari jika semua ini salah. Ayah baru sadar setelah mendengar penjelasan dari karyawan yang tidak pernah mau naik jabatan. Dia berkata jika, 'Saya bekerja untuk keluarga, tetapi apa gunanya jika saya tidak lagi memiliki waktu luang untuk keluarga,'" jelas Ayah lagi. Aku masih belum mengerti apa yang dia maksud.

"Dua belas tahun sebelum hari ini, Ayah kehilangan Alenna. Kemudian Erick setahun lalu. Tetapi Ayah sama sekali tidak menyadari, seakan-akan mengabaikan mereka. Sekarang, hanya kau yang tersisa, dan Ayah masih saja tidak acuh," ucapnya seraya kembali mengusap kepalaku.

"Maaf karena Ayah tidak terlalu memperhatikanmu. Dan sekarang, Ayah tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Sebagai satu-satunya anak yang tersisa, seharusnya Ayah lebih memperhatikanmu. Tentu saja Ayah tidak rela kehilangan satu anak lagi. Kau mau memaafkan Ayah kan?" Aku ragu-ragu membalas tatapan Ayah, mengangguk samar.

"Ayah tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini lagi. Karena itu, biarkan Ayah berbicara pada Adam agar kau tidak perlu lagi ikut dalam penyelidikan. Ayah tahu jika kau memiliki rasa keadilan yang tinggi. Kau benar-benar mirip dengan ibumu," kata Ayah lalu menoleh ke arah Ibu yang hanya bisa memerhatikan dari belakang.

"Tetapi dengan hemofilia itu, Ayah rasa kau tidak perlu melakukannya. Bagi Ayah kau sangat spesial walaupun tidak menjadi detektif," ungkap Ayah sembari merengkuh kepalaku kemudian mendekapnya erat-erat. Aku hanya menghela napas tipis. Bagiku, sesuatu yang sudah dimulai, harus diakhiri bagaimanapun caranya. Tetapi di sisi lain, aku tidak berani menentang Ayah.

*

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top