File 21

Mataku akhirnya kembali terbuka. Cahaya matahari yang menerabas masuk melalui jendela kamar menjadi penyebabnya. Beberapa bagian tubuhku terasa pegal. Dan bukankah terakhir kali aku tersadar, aku masih terperangkap di gudang penyimpanan bersma Riyan? Jadi sudah berapa lama aku tertidur?

Tunggu! Sepertinya aku tidak tertidur. Tidak salah lagi, ini karena sisi lainku lagi. Dia pasti melakukan sesuatu sepanjang sore kemudian kembali ke rumah dan terus menguasai tubuhku hingga malam. Menyebalkan, sekarang aku tidak ingat apa-apa kecuali kejadian sebelum dia mengambil alih. Bagaimana aku bisa menjamin apa yang dilakukannya bukan hal-hal aneh.

Aku melirik jam di handphone, pukul delapan lebih tiga puluh menit. Mataku seketika melebar. Apa?! Gawat, aku sudah terlambat ke sekolah.

Eh, tunggu sebentar. Kemarin — jika sisi lainku memang menguasaiku tidak lebih dari satu hari — adalah hari Sabtu. Berarti sekarang hari Minggu, ya? Ah, payah! Untungnya tidak ada yang melihatku kalang kabut menuruni tangga dengan wajah panik.

Aku segera menuju wastafel. Mencuci muka yang masih tampak kusut. Mengamati kelopak mataku yang tidak lagi menghitam. Pasti dia tidak mengalami insomnia selama mengambil alih. Ternyata keberadaannya juga membawa segelintir dampak positif. Hanya saja, aku belum bisa mengatakan sisi lainku sebenarnya baik.

Iya, bagaimana tidak? Sewaktu aku kelas tiga SMP, dia bahkan nyaris membunuh Kevin yang menjadi siswa baru saat itu. Tahun lalu dia juga hampir melakukan hal yang sama. Jika seandainya itu benar-benar terjadi, maka yang menanggung akibatnya tidak lain adalah aku sendiri. Sekarang, dia ingin membunuh laki-laki yang dicintai Kira. Bagaimana aku bisa menjamin jika dia tidak akan melakukannya sedangkan kesadaranku diambil alih?

"Sayang, tumben sekali kau tidur lagi setelah bangun pagi?" tanya Ibu yang tampak sedang membereskan meja makan. Memangnya mereka sudah sarapan ya?

"Tadi malam, kenapa kau tiba-tiba lebih terbuka (baca: cerewet) sekali? Ibu sampai berpikir kau demam." Aku tidak menjawab. Aku kan tidak ingat apa pun yang terjadi.

"Apa Ibu sudah sarapan?" tanyaku karena tidak tahan dengan semua kebingungan ini. Bukannya menjawab, Ibu justru memperlihatkan ekspresi bingung sepertiku. Ah, sebenarnya apa yang terjadi?

"Apa kau sudah lupa? Tadi, kau semangat sekali berkata jika kau ingin kuliah di Oxford saat makan," jelas Ibu. Mataku melebar. Inggris?! Tidak, lebih baik aku tidak kuliah jika harus di sana. Apakah ini yang dimaksud, 'Alter ego merupakan kebalikan dari kepribadian asli'? "Kenapa, Sayang?" tanya Ibu lagi setelah lama memerhatikan reaksiku.

Aku menelan ludah. Apa yang harus kukatakan? Aku bukan pembohong yang baik. Tetapi tidak mungkin aku harus mengatakannya secara jujur. Apa yang akan dikatakan Ibu jika tahu bahwa putranya ini memiliki kepribadian ganda. "Ergh ... tidak ada. Setelah kupikirkan lagi  sepertinya Amerika masih lebih baik." Aku tertawa kecil.

"Begitu ya. Sebenarnya tidak masalah dimana pun kau ingin kuliah. Tetapi jika kau akan merasa lebih baik di sana, tidak apa-apa. Ibu akan selalu mendukung," balas Ibu sembari memperlihatkan senyuman yang selalu terekam dalam memoriku.

Aku menghela napas lega. Helaan napas penuh arti. Yang pertama karena Ibu tidak lagi membahas soal sisi lainku yang bertingkah aneh tadi malam. Sedangkan yang kedua, Ibu tidak memaksaku untuk kuliah di Inggris yang akan mengembalikan kenangan menyakitkan di masa lalu.

Baiklah, jika memang waktu sarapan sudah lewat untuk kepribadian asli, aku akan berjalan-jalan di sekitar rumah. Atau mungkin, menghabiskan waktu di bawah pohon bisa mengusir pikiran negatif. Dan siapa tahu, aku bisa menemukan teori fisika baru seperti yang dilakukan Newton.

Aku mendongak menatap langit yang begitu cerah. Dedaunan yang gugur karena tertiup angin memenuhi penglihatanku. Aku tersenyum tipis. Pohon dengan mudahnya melepaskan daun yang sangat berharga baginya. Seharusnya begitu juga aku yang mungkin harus segera melepaskan gadis yang sangat berharga bagiku.

"Dia bukan milikku," itulah yang selalu menjadi alasan bagiku untuk merelakannya. Mungkin Kira lebih dulu memahami perasaannya daripada aku. Jika dia sudah mengerti, mengatakannya secara jujur pada pemuda itu sama sekali bukan hal yang sulit. Tidak sepertiku yang bahkan sampai sekarang belum mengerti.

Aku bersandar di pintu gerbang dengan kedua lengan menyilang di depan dada. Kupejamkan kedua mataku, sebisa mungkin menikmati angin sepoi-sepoi yang menenangkan pikiranku. Andai saja aku bisa selalu merasakannya. Saat ilusi itu kembali membuat keringat dingin mengalir deras, kedatangannya bisa membuatku merasa lebih baik.

Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh benda dingin yang diletakkan seorang pria di tangan kananku. Aku mengamatinya lamat-lamat, sebuah kunci mobil? Aku menatap fokus ke depan. Mendapati sebuah mobil hitam berhenti sempurna di depanku. Baiklah, mungkin pria itu ingin aku memarkirkan mobilnya. Kebetulan sekali, aku sudah bisa melakukan parkir paralel.

Dua menit kemudian, aku kembali menuju ke teras rumah. Mengamati pria yang sepertinya kukenali itu dari jauh. Tanpa sengaja menguping pembicaraannya dengan ayahku. Anehnya, mereka terlihat akrab sekali. Pembicaraan yang kudengar benar-benar seperti percakapan antaranggota keluarga. Ketika Ayah menyebut namanya, barulah aku sadar jika dia tak lain adalah Kak Adam.

''Hai, Paman. Lama sekali tidak bertemu." Kak Adam menyalami Ayah tanpa menunggu lama.

"Paman ada urusan bisnis," balas Ayah.

"Wah, Paman terlihat awet muda. Maksudku, Paman masih saja memiliki jiwa muda," gurau personil kepolisian itu.

"Kau ini jangan meledek Paman." Ayah tertawa kecil. "Oh ya, kau sekarang sudah tampak lebih dewasa. Apa belum ada rencana untuk menikah?" Kak Adam menggaruk tengkuk. Mungkin bagi beberapa orang reaksi itu tempak seperti lelucon. Tetapi tidak untukku.

"Tidak usah khawatir. Jangan pikirkan soal dana, nanti Paman bantu. Asalkan kau sudah punya calonnya," kata Ayah sambil menepuk bahu Kak Adam.

"Terima kasih sebelumnya, Paman. Oh ya, aku tidak melihat Steve. Dimana dia?" tanya Kak Adam. Dia pasti hanya mengalihkan topik agar Ayah tidak membahas soal dirinya yang masih single.

Ayah memandang heran polisi berpangkat AKP itu. "Yang di belakangmu itu siapa?" Kak Adam tersentak saat menoleh ke arahku yang hanya memandang datar mereka berdua.

"Ini kunci mobil Anda, Tuan. Mobil Anda sudah ada di tempat aman," ucapku sambil menyerahkan benda itu sambil membungkukkan badan layaknya seorang waiter. "Apa saya bisa mendapat uang tip?" tanyaku.

"Steve, kenapa kau tidak bilang?! Aku pikir kamu security yang baru!" seru Kak Adam sambil merebut kunci mobilnya dariku. "Jangan menatapku seperti itu. Tidak ada uang tip untukmu!" serunya lagi. Aku tidak merespons seruannya. Yang kuperhatikan justru ekspresi yang hampir tidak pernah ditunjukkannya selama menjadi aparat penegak hukum.

"Kalian berdua bicara di dalam saja. Paman ada urusan penting," ucap Ayah lalu pergi begitu saja menuju ke arah mobil yang terparkir rapi di samping mobil Kak Adam.

"Kak Adam, sebenarnya ada apa?" tanyaku. Yang ditanyai hanya menghela napas panjang sebagai jawaban. Kau sampai tidak mengenali adik sepupu sendiri. Pasti ada yang salah.

Kak Adam kembali menghela napas panjang. Ekspresi serius tergambar dengan jelas. "Aku diminta keluar dari penyelidikan."

*

AKP Adam masih jomblo. Ada yang mau jadi calonnya? Hehe 😀.

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top