File 18

Aku segera menjatuhkan diri ke atas tempat tidur yang masih tidak ada bedanya dengan hari-hari kemarin. Bersandar pada pojok ruangan sembari memeluk lutut seperti anak kecil yang ketakutan. Yah, memang seperti itulah aku di hadapan bayang-bayang itu. Kengerian yang tanpa ampun menyiksa diriku. Yah, mungkin ... aku memang pantas mendapatkannya.

Flashback On

"Aku mengerti keadaan ini Steve," Kira berucap dengan sungguh-sungguh. Aku tetap bergeming. Tidak ingin membangkitkan ingatan itu lagi jika terus melihat tatapan yang sangat mirip dengan Alenna.

"Aku akan tetap dalam penyelidikan ini. Aku akan lakukan apa pun yang kau minta. Walaupun mungkin keberadaanku tidak akan terlalu berpengaruh. Tetapi setidaknya, kau tidak terlibat dalam bahaya ... sendiri," ujarnya lagi. Aku masih tetap pada posisi membelakanginya.

"Aku percaya padamu." Aku menghela napas panjang. Bersiap dengan semua kemungkinan yang ada jika aku merespons. Berbalik perlahan, menatap manik coklat kemerahan itu lamat-lamat. Sorot matanya benar-benar menggambarkan rasa tanggung jawab yang besar serta berani mengambil resiko.

"Kakak, tidak usah khawatir. Ini salah Alenna. Biar Alenna saja yang mengaku pada Ayah." Suara itu sukup jelas terdengar di telingaku. Tersamarkan oleh suara angin dingin yang berembus memainkan rambut hitam pekat sepinggangnya. Meskipun begitu, aku tetap tidak mengalihkan pandangan sedetik pun dari gadis itu. Mencoba membiarkan diriku tenggelam oleh ilusi di depan mata.

"Alenna, apa kau memang benar-benar hidup bersama jiwanya, lalu datang padaku yang masih belum bisa menerima?" batinku seraya berjalan mendekat. Kira hanya terdiam membalas tatapanku. Sepertinya dia benar-benar menungguku bicara. "Kira, apa benar kau adalah Alenna?"

Cukup lama aku bergeming. Memikirkan peluang paling tidak masuk akal itu. Sangat mustahil jika Kira adalah Alenna. Tetapi setengah dari hati kecilku merasa jika itu memang benar. "Kira, jika kau memang Alenna ...." Tanpa berpikir lebih lama, aku meraih lengan gadis itu lalu membuatnya jatuh dalam dekapanku. "... jangan pernah tinggalkan aku lagi."

"Kira ... terima kasih ...," aku berbisik dengan suara selembut mungkin. Walaupun dia tidak mengerti maksudku yang sebenarnya, itu sudah cukup. Hampir setengah menit aku menahan posisi ini. Selama dia tidak memberontak, aku belum ingin melepasnya. Jika dia benar-benar Alenna ... aku tidak ingin dia pergi.

Flashback Off

Dasar payah! Alenna tidak mungkin kembali lagi. Itu pasti hanya ilusi seperti biasaya. Ilusi yang muncul akibat perasaan yang disebut dengan kerinduan. Memang sakit ketika menyadari semuanya tidak nyata. Tetapi aku sama sekali tidak memiliki ide bagaimana cara untuk mengakhiri bayangan yang tidak kalah mengerikan untuk diingat kembali.

Aku menghela napas, semakin merapatkan kedua lututku. Rasanya seperti kembali lagi ke masa itu. Masa dimana aku hanya bisa melakukan hal seperti ini, meringkuk di sudut ruangan dengan ekspresi ketakutan serta keputusasaan yang sangat pekat. Masa dimana tidak ada seorang pun yang mau menerima keberadaanku di kota ini.

"Mau apa kau di sini? Dasar payah!" Seorang anak laki-laki dengan keras mendorongku hingga terbentur ke dinding. Kepalaku terasa sakit sekali. Tetapi aku tidak bisa melawan, tubuhnya jauh lebih besar dariku.

"Kau sebaiknya mati saja!" ujar yang lain tidak kalah sarkas. Aku hanya menunduk menghindari tatapan matanya yang bisa membuatku semakin tersiksa.

"Kenapa hanya diam saja, hah?! Ayo lawan!" Salah satu dari mereka justru menantang sembari menjambak rambut yang luruh ke wajahku, beberapa helai jatuh ke tanah yang tampak lembab. Aku menggigit bibir bawah, menjaga air di pelupuk mataku yang mulai menggenang.

"Hei, apa yang kalian lakukan pada adikku?!" Seruan itu terdengar begitu nyaring tak jauh dari tempat ini. Mereka yang tampak belum puas menggangguku segera berlari menjauh hingga akhirnya hilang dari pandanganku. "Maaf ya, Steve. Aku sedikit terlambat. Kau tidak apa-apa, kan?" tanya anak yang seruannya membuat mereka semua berlari ketakutan.

Aku menatapnya tajam. Geram karena melihatnya kembali. Aku membersihkan pakaian seragamku yang kotor seraya berusaha mengabaikan eksistensinya. Senyuman yang terkembang di wajah anak laki-laki itu seolah tidak bisa melihat keadaan. "Aku bukan adikmu!"

....

Aku segera membenturkan kepala ke tembok. Sial, mengapa ilusi itu justru melibatkan seseorang yang selalu bersikap sok-pahlawan padaku. Orang yang selalu tampak seperti penyelamat di mata orang lain, tetapi kenyataannya jauh dari semua itu. Orang yang selalu dibandingkan denganku, bahkan oleh ibuku sendiri. Jangan bertanya lagi, aku tidak ingin membahas pengkhianat seperti dia.

"Siapa yang sebenarnya kau maksud pengkhianat?" Oh, tidak! Bisikan itu kembali. Mengusikku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berguna. Ikut campur ke dalam urusan yang sudah kacau. Kali ini bukan hanya bisikan. Bayangan seseorang yang menyerupai doppleganger-ku juga muncul.

"Apa yang kau inginkan? Mencoba membunuh orang menggunakan tubuhku lagi?" tanyaku dengan nada tidak suka. Dia hanya tertawa kecil. Namun kesannya sudah cukup untuk membuatku merasakan aura seorang pembunuh.

"Ya, jika kau sendiri yang memintanya," sahutnya tidak peduli. Aku memicingkan mata, mencoba memperhatikannya lebih detail untuk mencari perbedaan. "Panggil saja aku Andrew. Rasanya aneh jika terus-terusan memakai namamu," ucapnya. Aku sama sekali tidak heran. Alter ego memang memiliki identitas yang berbeda dengan kepribadian asli, aku sudah mengetahui hal itu.

"Kau ingin pengkhianat itu lenyap dari galaksi ini?" tanyanya dengan sebuah senyuman licik. Tampak jelas jika dia sangat berharap aku menjawab 'ya'.

"Jika kau membunuhnya, artinya aku dan dia sama saja. Tidak ada bedanya," balasku dengan intonasi tajam. Sebenarnya yang ingin kukatakan adalah, "Ini bukan urusanmu!"

"Oh, Steve. Kau terlalu naif. Jawab saja 'ya'. Sejak dulu aku memang berharap bisa membunuh orang yang membuatmu depresi," ujarnya. Aku menajamkan sorot mataku. Semua orang harus tahu jika memiliki dua kepribadian sangat merepotkan.

"Hentikan. Aku tidak butuh bantuanmu," tegasku.

"Ah, kau ini memang overthinking. Serahkan saja semuanya padaku. Aku janji ini akan sangat menyenangkan," katanya hampir bersamaan dengan kaburnya pandanganku.

"HENTIKAN!!" teriakku. "Mungkin aku akan melakukannya ... suatu hari nanti ...," ucapku dengan napas yang terasa sesak. Aku hampir saja putus asa ketika kepalaku semakin berdenyut keras. Hingga akhirnya mulai mereda dalam hitungan detik. Aku menghela napas lega, mencoba mengalihkan pikiranku agar dia tidak kembali.

Keadaan ini benar-benar tidak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. Ilusi tak bertepi, usikan alter ego yang selalu mencoba untuk ikut campur, mimpi buruk, semuanya selalu sama. Seperti yang kukatakan sebelumnya, hidupku seperti rekaman video yang terus berulang-ulang tanpa ada perubahan signifikan.

Tiga ketukan di pintu kamar menyadarkanku dari lamunan. Diikuti suara gagang pintu yang digerakkan ke bawah. Hanya dalam hitungan detik, wajah khawatir Ibu muncul dari balik pintu. "Sayang, kau tidak apa-apa?" tanyanya cemas. Aku menggeleng kuat-kuat sambil berusaha tersenyum.

Ibu segera menghampiriku yang masih saja meringkuk di pojok ruangan. Tersenyum lembut seraya mengusap keringat dingin yang mengalir deras di dahiku. Mendesah beberapa kali.  Kalimat "sentuhan Ibu penuh cinta" yang awalnya tidak kumengerti, kini bisa kurasakan.

"Kau adalah anak yang paling Ibu sayangi. Tapi sayangnya, kau harus mengalami semua itu," ungkapnya. Aku benar-benar tidak tahu harus menyahut seperti apa, hanya bisa terus mendengarkan ucapannya yang penuh makna. "Tenanglah, Ibu yakin kau pasti kuat melewatinya." Aku mengangguk mantap sebagai respons.

"Kau adalah saksi perjuangan Ayahmu sebelum sukses seperti sekarang ini. Senyumanmu menjadi alasan mengapa kami tidak pernah menyerah. Kau adalah salah satu alasan bagi Ibu untuk bahagia," bisiknya lalu mengecup pipiku yang masih basah karena keringat dingin. Aku bisa menemukan ketenangan yang belum pernah kurasakan karenanya.

"Tapi sayang sekali, Erick sudah tidak tinggal di rumah ini, untuk beberapa tahun ke depan." Aku tertegun, geram. Mengapa ... lagi-lagi Ibu menyebut nama itu?

"Ada apa, Sayang? Dia itu kan kakakmu," balas Ibu. Aku kembali menghela napas. "Kau mungkin tidak tahu. Dia sangat menyayangimu, Steve," lanjutnya.

"Maaf, jika seandainya kau tidak suka. Tetapi Ibu yakin, suatu saat kau akan mengerti tentang dia," kata Ibu lalu kembali mengecup pipiku. Beringsut keluar dari kamar dengan sebuah senyuman hangat.

*

Kalo Ichi sih malahan lebih baper sama scene ini. Soalnya, yang Ichi denger, "Cinta pertama bagi seorang anak laki-laki adalah ibunya, sedangkan cinta pertama bagi seorang anak perempuan adalah ayahnya." Ichi sih setuju banget. Kalian gimana?

Ayo dong, Minnasan. Ichi lagi mager nih 😔. Kasi Ichi semangat biar makin rajin nulisnya.

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top