File 17

"Aku tau kamu lebih peduli sama dia daripada aku, Kira," lirih Sisi yang tiba-tiba memandang kosong. Aku tertegun. Mengapa dia tiba-tiba berpikiran seperti itu? "Tapi ... jangan pernah sebut-sebut masa lalu!" geramnya lalu berjalan cepat menuju rumahnya yang hanya beerjarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri.

Aku menghela napas panjang, serbasalah. Apa yang harus kulakukan sekarang. Pergi menemui Steve jelas akan memperparah suasana hati tetanggaku itu. Cepatlah berpikir, Kira-chan. Kamu tidak boleh diam saja. Aku tahu jika yang kukatakan benar-benar menyakitinya. Aku juga seringkali marah pada siapa pun yang menyebut-nyebut masa lalu. Tetapi sekarang, bagaimana aku harus meminta maaf? Dia sudah telanjur marah padaku.

Aku segera meraih handphone. Lekas menghubungi sebuah kontak. Nada tunggu terdengar selama cukup lama. Ayolah, cepatlah tersambung, kumohon.

"Halo," sapa seseorang dari seberang sana. Aku meloncat kegirangan. Akhirnya ....

"Ah, Riyan. Kamu lagi ngapain?" tanyaku sok berbasa-basi.

"Lagi ngerjain tugas, Kak. Ada apa ya?"

"Ah, nggak ada kok. Kamu marah sama aku?" tanyaku ragu-ragu.

"Kenapa aku harus marah?" Riyan bertanya balik. Aku tertawa kecil. Memang dari nada bicaranya sangat kecil kemungkinan jika dia juga sedang marah. Lagipula, dia kan tida punya alasan untuk marah.

"Hehe .... Iya, aku tau. Cuma mau ngetes aja kok. Ya udah, kamu lanjutin aja tugasnya," ucapku lalu menutup sambungan telepon. Untungnya Riyan tidak marah. Jika iya, maka aku tidak akan tahu apa yang akan kulakukan.

Aku melangkah riang ke dalam rumah seperti seorang anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah ulang tahun. Tiba-tiba handphoneku kembali berdering saat aaku menaiki tangga sembari mendengungkan lagu favoritku, Hikaru Nara. Aku segera melihat siapa yang menelpon, lalu menekan ikon answer.

"Halo, Kira-chan. Lama sekali tidak menelpon." Wajah seorang laki-laki oriental yang melakukan panggilan video tampak jelas di layar handphone.

"Kaitou-kun, kau ini punya indra keenam atau apa. Kenapa kau selalu menelpon pada saat yang tepat?" tanyaku dengan nada kesal yang kubuat-buat.

"Aku tidak mengerti maksudmu itu apa?"

"Kami ada kasus lagi," jawabku singkat sambil merebahkan diri di atas tempat tidurku yang kini sudah lebih rapi.

"Hee? Kau ini sudah seperti Detective Conan saja yang kemana pun selalu membawa sial," sahutnya tanpa beban. Aku mendelik galak. Hasilnya dia langsung mengucapkan permintaan maaf.

"Kau tidak ingin tahu tantang kasus ini?" tawarku. Karena sudah pasti dia sangat antusias dengan kasus yang kami hadapi, seaneh apa pun dan serumit apa pun.

"Boleh juga," ucapnya. "Kalau begitu ayo jelaskan," pintanya. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera menjelaskaan detail-detail kasus ini secara rinci. Karena seperti biasa, aku ingin mendengar petunjuknya yang seolah tidak berguna.

"Bagaimana menurutmu? Apa kau tidak merasa familier dengan kasus ini?" tanyaku di akhir penjelasan. Kaitou tampak berpikir selama beberapa saat.

"Ya, ini mirip seperti .... Kau jangan marah ya kalau jawabanku tidak masuk akal," ancamnya terlebih dahulu. Aku hanya memandang datar sambil mengiyakan. "Ini mirip seperti 'kasus Kira' yang ada di Death Note. Maksudku ... bukan Kira namamu," jelasnya. Aku tersentak, benar juga.

"Pelaku menyerang jantung korban. Entah mengapa itu membuatku merasa jika kasus yang kalian hadapi mirip sekali dengan yang ada di anime, yaitu membuat korban mengalami serangan jantung. Selain itu, Light Yagami sebagai anak dari pimpinan kepolisian membunuh para penjahat karena idealisme juga," papar Kaitou seolah tidak tahu jika aku sudah menonton anime itu berkali-kali.

"Aku mengerti sekarang, Kaitou-kun. Terima kasih banyak," ungkapku.

"Apa sekarang kau bekerja sama dengan L?" tanyanya setengah berbisik. Aku mengernyit. L adalah nama samaran dari detektif yang memimpin penyelidikan Kasus Kira. Itu artinya sekarang yang berperan sebagai L adalah ....

"Yah, sudah pasti. Dia pasti sudah punya gambaran tentang pelakunya," ucapku dengan nada bangga. "Hanya saja ... dia ragu karena pelaku seolah memperjuaangkan keadilan."

"Eh, kau ini bicara apa, Kira-chan?"

"L-kami memiliki rasa keadilan yang tinggi. Dia merasa jika pelaku sedang berusaha memperjuangkan keadilan. Bahkan kepolisian saja seolah mendukung tindakan pelaku. Dia ragu, apakah harus menangkapnya ... atau sebaliknya," jelasku lirih.

"Oh, begitu rupanya." Kaitou mengangguk paham. "Nah, sebaiknya kau katakan pada L-mu. Menegakkan keadilan memang sudah menjadi keharusan. Tetapi jika dilakukan dengan cara seperti itu, maka pelaku tidak lebih dari seorang pembunuh biasa yang dibutakan idealisme," jelas Kaitou.

"Oh ya, kau benar. Aku harus segara mengatakan ini padanya. Sekali lagi, terima kasih, Kaitou-kun." Aku tersenyum lebar. Merasa beruntung memiliki saudara sepupu seperti dia.

"Apa L temanmu itu eksentrik seperti dalam anime, atau dia tampan sepertiku?" tanyanya. Kali ini benar-benar berbisik. Padahal tidak mungkin ada yang mau menguping pembicaraan tidak penting, terlebih jika mendengar pertanyaan Kaitou yang jauh dari kata bermutu. Aku hanya memandang datar Kaitou yang bergaya narsis di depan kamera handphone.

"Apa tidak ada pertanyaan lain?!" tanyaku dengan nada yang sedikit keras.

"Ah, kalau begitu aku bisa tebak. L yang kau maksud pasti laki-laki yang membuatmu rela hujan-hujanan di halte bus tahun lalu," katanya tanpa rasa bersalah. Aku membelalak, bagaimana mungkin dia bisa tahu?!
(Bagi yang belum baca seri pertama, mampir dulu ya biar ngerti 😊).

"Kau ini bicara apa? Jangan sembarangan!" seruku kesal. Setelah ini, dia pasti akan menggodaku lagi seperti saat dia berkunjung ke rumahku dulu.

"Hmm ... yang tadi itu sebenarnya aku hanya mengarang. Tetapi, jika kulihat reaksimu, aku sekarang menjadi yakin." Kaitou mengangguk-angguk tanpa mempedulikan reaksiku. Ah, sial! Aku terperangkap lagi.

"Diam kau, *Baka-itou!" Aku sudah tidak tahan lagi hingga mengeluarkan makian yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang bisa berbahasa Jepang. Seolah indra pendengarannya tidak bisa berfungsi, Kaitou tetap tak acuh. Dia masih saja memperlihatkan seringai mengejek.

"Maaf, Kira-chan. Jika kau tidak ada hubungan apa-apa - hanya teman - mengapa kau harus marah?" tanyanya tanpa intonasi. Aku semakin merasa terpojok. Tidak tahu harus bereaksi apa. Di satu sisi, otakku membenarkan perkataan Kaitou. Di sisi lain, hatiku menepis kuat-kuat kalimat yang sebenarnya digunakan Kaitou untuk menggodaku.

"Maaf, Kira-chan. Aku tidak akan melakukannya lagi." Kaitou mencoba meyakinkanku. Aku mengembungkan pipi kesal. "Ayolah, Kira-chan. Kau tidak jadi terlihat cantik dengan wajah seperti itu," ucapnya. Aku menghela napas panjang, membiarkan sepupuku itu berbicara sepuasnya tanpa merespons.

"Kau marah ya? Ya sudah kalau begitu, aku akhiri saja. Bye," pamitnya lalu mengakhiri telepon setelah cukup lama tidak ditanggapi. Aku meletakkan handphone di atas meja, tersenyum tipis. Sesebal apa pun aku setelah berbicara dengan Kaitou, aku akan merasa senang setelah telepon ditutup. Aneh sekali memang, aku sendiri tidak mengerti.

Aku tiduran menatap langit-langit kamar yang terlihat terang oleh cahaya lampu neon. Benar juga. Jika Steve hanya temanku mengapa aku harus marah ketika Kaitou membahas soal 'laki-laki di tengah hujan'. Seharusnya aku menanggapinya dengan cara biasa. Lalu, apa aku menyukainya?

Ah, jangan bodoh, Kira-chan. Mana mungkin kau menyukainya? Kau kan sama sekali tidak merasakan gejala jatuh cinta. Bukannya merasa senang saat di dekat laki-laki itu, yang muncul justru perasaan takut. Apa itu yang dinamakan cinta?! Tidak kan. Reaksi semacam itu tidak bisa dijadikan patokan. Jika iya, apakah Sisi dan Riyan saling menyukai? Kurasa tidak.

Ah, kurasa aku harus bersyukur karena tidak jatuh cinta padanya. Itu pasti hanya akan menjadi unrequited love. Lihat saja. Apa yang diharapkan pemuda itu dariku? Aku ini tidak kaya. Nilaiku selisih satu dua poin dari KKM. Cantik? Wajahku biasa saja jika dibandingkan dengan wanita Asia Timur. Yang bisa kubanggakan hanya kemampuan karate. Lagipula, itu seharusnya bukan hal yang bisa dibanggakan seorang perempuan remaja.

Aku yakin, kisah cinta antara laki-laki yang hampir tidak memiliki kekurangan dengan gadis biasa saja hanya ada dalam novel. Aku juga yakin, Kak Ichi tidak akan menulis cerita semacam itu. Itu tidak mungkin menjadi kenyataan di dunia ini. Jadi lupakan saja soal ucapan mereka, soal perasaan yang sudah pasti bukan cinta.

Yang kurasakan saat ini hanya rasa empati. Iya, aku hanya mencoba peduli pada keadaannya yang jauh lebih menyedihkan daripada yang dipikirkan orang-orang di kota ini. Lagipula, menurutku tidak penting apa perasaanku padanya selama aku percaya padanya, dan juga teman-temanku. Iya, merekalah yang jauh lebih berarti daripada apa pun.

*

"Bagi orang Asia Timur mungkin kamu b aja, Kira. Tapi di Indonesia kamu itu cantik, tau. Apalagi di matanya dia ..."
(Kok ini malah omelin tokohnya sendiri 😂)

*Baka: bodoh

"Ame no Shounen" (Laki-laki di tengah hujan), julukannya klise banget ya, ehhe 😂.

Yah, Ichi jadi agak kasian sama Riyan. 😀 Dia memang nggak marah, tapi pasti cemburu liat Kira yang tiba-tiba di- .... Ahh, udahlah ntar baper lagi.

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top