File 16
Kira's POV
"Jadi, Steve. Apa rencana kita sekarang?" tanyaku penuh rasa ingin tahu. Aku berharap bisa segera melihat analisisnya. Aku benar-benar berharap gayanya sama seperti detektif dalam anime.
"Aku punya dugaan kuat tentang pelaku. Tetapi, masih ragu apakah aku harus menangkap pelakunya ... atau tidak," terangnya. Aku memandang heran, begitu juga dengan Sisi dan juga Riyan. "Pelaku sedang berusaha membela keadilan. Aku masih bingung apakah harus menangkapnya atau tidak."
"Steve ...," lirihku. Jika kejadiannya memang benar seperti ini, maka aku tidak bisa melihat pertunjukan analisisnya dam waktu dekat. Selain itu, mengapa aku mendadak merasa terenyuh mendengar perkataanya.
"Kenapa kamu bisa berpikir kayak gitu?! Kita ini detektif, kita harus menangkap pelakunya walaupun seandainya dunia nggak setuju!" seru Sisi sambil menggebrak meja. Aku terkejut, hingga benar-benar kehilangan kata-kata.
"Kita tidak boleh gegabah. Kita harus memikirkannya hingga matang," Steve merespons. Meskipun menghadapi Sisi yang mulai terlihat geram, laki-lai itu sama sekali tidak menunjukkan perubahan berarti dari raut wajah datarnya.
"Kamu selalu bilang kek gitu. Tapi apa? Kita sama sekali nggak bergerak maju. Sedangkan waktu aku punya rencana lain, kamu bilang nggak boleh. Kamu bikin peraturan supaya bisa dapet otoritas penuh, aku iyain aja. Tapi, kamu juga harus sadar kalo kamu itu egois," ujar Sisi seakan tanpa jeda sedetik pun. Steve hanya diam selama beberapa saat, memejamkan mata.
"Baiklah, jika kau berpikir begitu. Keluarlah dari penyelidikan, biarkan aku sendiri yang menanganinya," kata Steve singkat, namun begitu dingin. Aku tersentak. Cepat sekali keadaan berubah menjadi seperti ini.
"Jika aku memang seburuk itu di mata kalian, lebih baik tinggalkan penyelidikan ini. Aku sendiri yang menyelesaikannya, walaupun harus kehilangan nyawaku." Steve lantas bangkit dari kursinya, berjalan perlahan menuju pintu keluar. Wajahnya semakin terlihat dingin saat langit mendung menjadi latar belakangnya.
"Steve, tunggu!" seruku lalu berjalan cepat menyusulnya hingga pemuda itu benar-benar berhenti. Dia tidak berbalik badan sehingga posisinya tepat memunggungiku.
"Kau juga, Kira. Keluarlah dari penyelidikan. Aku tidak ingin melibatkanmu dalam bahaya," sahutnya. Aku mengepalkan jemari, memikirkan kata yang seharusnya kukatakan untuk memperbaiki keadaan.
"Aku mengerti keadaan ini Steve," ujarku. Dia sama sekali tidak menyahut, tetap bergeming. "Aku akan tetap dalam penyelidikan ini. Aku akan lakukan apa pun yang kau minta. Walaupun mungkin keberadaanku tidak akan terlalu berpengaruh. Tetapi setidaknya, kau tidak terlibat dalam bahaya ... sendiri."
"Aku percaya padamu," ujarku lagi. Laki-laki itu menghela napas lalu berbalik menghadapku. Tatapan menusuknya membuatku sedikit gentar. Dingin, benar-benar tanpa emosi. Tetapi aku tidak boleh menarik kata-kataku. Aku akan tetap dalam penyelidikan ini. Dia percaya padaku kan. Karena itu aku harus menjaga kepercayaannya.
Dia berjalan beberapa langkah mendekat. Pandangannya terlihat sendu. Aku merasakan denyut jantungku bertambah kencang. Sekarang apa yang akan dia lakukan padaku? Apakah yang kukatakan tadi membuatnya sakit hati hingga membangkitkan alter egonya yang jelas lebih kejam.
Steve hanya berdiri diam tanpa suara hampir selama setengah menit. Dia tiba-tiba meraih pergelangan tanganku, menariknya kuat-kuat hingga aku jatuh terhuyung ke arahnya. Nadiku seakan berhenti berdenyut. Aku seketika kehilangan kekuatan untuk memberontak ketika kedua lengan pemuda itu dengan erat mendekap tubuhku.
"Kira ... terima kasih ...," bisiknya. Lidahku seketika terasa kelu. Hawa panas mulai menyelimuti wajahku. Tetapi nada bicaranya saat berbisik terdengar sendu hingga aku benar-benar merasa tersentuh. Membuatku menjadi sedikit tenang dalam pelukannya yang entah mengapa tiba-tiba terasa menghangatkan. Aku tersenyum tipis, sama sekali tidak memberontak hingga dia sendiri yang melepaskannya setelah cukup lama.
Pundak yang begitu kokoh itu, sudah lama sekali menanggung beban berat. Pandangannya sudah cukup menjadi sinyal bahwa dia sudah sangat lelah melihat hal-hal mengerikan yang membuatnya tak jarang menyembunyikan air mata dengan terpaksa agar terlihat kuat. Aku hanya ingin membantunya, itu saja. Karena dia telah memberikan kepercayaan padaku, aku akan terus menjaganya.
"Kira, kenapa kamu ngalah dari dia?" tanya Sisi ketika hanya kami berdua yang menjadi siswa terakhir yang keluar dari gerbang sekolah. Aku enggan menjawab. "Kira, jawab jangan cuma diem," desaknya. Aku menghela napas panjang.
"Kita udah telanjur, Sisi. Nggak mungkin kita keluar dari penyelidikan setelah sejauh ini. Lagian seandainya kita keluar dari penyelidikan pun, kita tetep dalam bahaya karena pelaku pasti ingin melenyapkan siapa pun yang tahu info tentang dia," sahutku seolah tanpa jeda seperti yang dia lakukan sebelumnya.
"Aku tau, Kira. Steve itu orangnya ganteng, keren, genius, populer, kaya, jago beladiri .... Dia itu nyaris sempurna, hampir nggak punya kekuarangan apa-apa. Tapi seandainya kamu jadi nikah sama cowok kek gitu, aku yakin kamu nggak bakalan bahagia sama sifat egoisnya," balas Sisi, juga tanpa jeda sepertiku.
"Sisi, dia itu bukannya egois. Cuma kita yang terlalu perfeksionis. Nggak ada satu pun orang di dunia ini yang nggak punya sifat jelek. Termasuk dia. Kevin aja selalu salah di mata kamu." Aku tidak mau kalah.
"Kenapa kamu malah belain cowok itu. Ya ... aku tau sekarang. Kamu pasti suka sama dia kan? Sama kek Mia, kamu jadi nggak bisa berpikir objektif," tuduhnya dengan setengah berteriak. "Sadar Kira. Cinta memang membutakan. Tapi kamu nggak boleh kalah sama tampang dingin kayak gitu."
"Jangan ngomong sembarangan!" sergahku. "Kamu juga harus paham. Masa lalunya kelam. Dia itu kesepian, Sisi. Dia sama sekali nggak pernah punya temen sebelum kita. Dia cuma pengen dimengerti. Dia nggak mau kehilangan temen dekat, karena itu dia jadi overprotektif sama kita. Temperamennya mungkin nggak cocok sama kamu, tapi dia nggak bisa jadi apa pun yang kita mau," jelasku.
"Dengan cara membatasi kebebasan kita? Itu namanya otoriter, Kira!" seru Sisi yang tidak mau disalahkan begitu saja.
"Kamu harus ngerti, Sisi. Dia cuma butuh temen, makanya aku janji mau bantuin dia. Dan kalo seandainya kamu nggak mau, it's okay. Silahkan keluar dari penyelidikan ini," putusku seperti yang dikatakan Steve. Berharap semoga dia tidak membuat perdebatan yang lebih panjang.
"Kamu juga harus buka mata lebar-lebar. Cowok itu susah ditebak isi pikirannya. Kamu liat sendiri kan gimana waktu dia hampir ngebunuh Pak Erwin dulu!" Sepertinya Sisi sama sekali tidak mau berhenti sampai aku menyerah. Apa yang harus kukatakan. Kejadian itu kan karena alter egonya yang mendadak bangkit. Bagaimana aku menjelaskannya?
(Baca seri kedua ya biar ngerti 😊).
"Aku baru aja bilang. Dia punya masa lalu kelam. Harusnya kamu juga ngerti kalo dia juga depresi makanya kadang emosinya suka meledak-ledak." Untungnya aku segera menemukan alternatif penjelasan lain daripada harus mengatakannya secara jujur. Bisa-bisa dia semakin menyerang atau mengiraku masokis. "Masa lalu kamu juga kelam kan. Harusnya kamu bisa lebih ngerti perasaan dia."
"Aku tau kamu lebih peduli sama dia daripada aku, Kira," lirih Sisi yang tiba-tiba memandang kosong. Aku tertegun. Mengapa dia tiba-tiba berpikiran seperti itu? "Tapi ... jangan pernah sebut-sebut masa lalu!" geramnya lalu berjalan cepat menuju rumahnya yang hanya beerjarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri.
*
Kok deg-degan yang ngebayanginnya? File selanjutnya masih pake POV Kira ya. Soalnya, Ichi udah kangen banget sama Kaitou.
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top