File 15
Sore itu, cuaca cukup mendung. Tetapi sama sekali tidak menghalangi niatku untuk menyelesaikan kasus ini sebelum Kevin kembali. Aku hanya perlu mengetahui apa motif dari si pelaku, dengan begitu aku bisa menentukan siapa yang bersalah di antara semua tersangka yang kukpikirkan. Jika sudah seperti itu, aku hanya tinggal menemukan bukti.
Yah, mungkin ini terbalik dari cara penyelidikan yang dilakukan Kevin, yaitu dengan menemukan bukti yang kemudian mengarah pada identitas sang pelaku, lalu mencari tahu motif untuk memperkuat deduksi. Itulah yang membuatku berharap semoga mereka bisa menerima caraku yang terbilang aneh.
"Sekarang, kita harus bergerak cepat. Kasus ini semakin lama semakin serius. Dua hingga tiga korban terus bertambah setiap hari. Kita harus menghentikannya secepat mungkin. Jika tidak, tentu saja korban akan ssemakin banyak berjatuhan," ucapku memulai diskusi. Mungkin baru pertama kali ini tidak ada yang membalas dengan kata-kata yang sebenarnya tidak perlu.
"Sejauh ini, aku sudah mendapatkan cukup banyak informasi. Maaf, jika aku tidak terlalu melibatkan kalian. Pertama tentang korban. Sudah ada dua puluh empat orang yang terbunuh. Semuanya mendapatkan luka di dada kiri dengan bentuk yang bermacam-macam. Lalu, jangan lupakan fakta bahwa korban mendapatkan pesan dari pelaku sebelum terbunuh.
"Setelah kutelusuri lebih lanjut, ternyata dugaanku yang kedua lebih tepat, yaitu pelaku hanya mengincar mereka yang memiliki catatan korupsi. Artinya kita tidak perlu menarik diri dari penyelidikan. Selain itu, isi pesan yang diterima korban kurang lebih berbunyi, 'Hentikan kejahatanmu, kau sudah membunuh banyak orang'. Sejujurnya, aku tidak mengerti apa hubungan antara pesan itu dengan semuanya," paparku.
"Hanya itu saja informasi yang bisa kuberikan. Sekarang, aku ingin meminta pendapat kalian soal kasus ini," ujarku mengakhiri penjelasan. Ketiga temanku saling memandang satu sama lain, seolah sedang takut salah dalam menjawab soal fisika. Setelah cukup lama menunggu, Riyan akhirnya mengacungkan tangan ragu-ragu. Aku menautkan jari-jari tangan lalu meletakkaannya di depan wajah sebagai isyarat jika aku siap mendengarnya.
"Kak Steve, sepertinya aku tahu arti dari pesan itu. Sebelumnya, Kak Steve tahu kan jika koruptor merugikan negara dengan menyalahgunakan uang yang seharusnya untuk rakyat?" Aku hanya mengangguk sebagai respons. "Nah, aku berpikir jika pelaku bermaksud untuk meminta korban menghentikan kejahatannya yang telah membuat rakyat menderita."
Penjelasan yang sangat singkat tetapi mampu menjawab beberapa pertanyaan membingungkan yang terus mengganggu pikiranku. Jika memang seperti itu, maka tidak salah lagi, pelaku sama sekali tidak ada maksud untuk menyingkirkan mereka yang merugikan instansinya. Tetapi jauh lebih kompleks, yaitu ingin melenyapkan mereka yang merugikan negara.
"Terima kasih. Aku sudah menemukan satu mata rantai," ucapku. Riyan tersenyum tipis sebagai respons. "Mata rantai yang kumaksud adalah, pelaku bermaksud ingin melenyapkan mereka yang telah merugikan negara dan juga rakyat kecil. Itulah motifnya. Hanya saja, aku masih belum bisa menyimpulkan apa yang salah darinya hingga pelaku meutuskan untuk membunuh mereka. Tetapi sepertinya aku sangat familier."
"Sesuatu yang bisa bikin kamu ngelakuin hal-hal aneh, aku yakin pasti idealisme kalo bukan psikopati," sahut Sisi dari seberang meja. Aku mengangkat alis, meminta penjelasan. "Yah, aku tahu karena Kevin yang idealis bisa ngelakuin hal-hal gila di luar logika," jawabnya santai. Aku menghela napas. Penjelasan yang sederhana sekali namun sepertinya cocok dengan yang kupikirkan.
"Pendapat yang bagus. Jadi sekarang, kita bisa menyimpulkan satu hal lagi. Motif pelaku adalah ingin memberi hukuman kepada para koruptor yang telah membunuh banyak rakyat kecil secara tidak langsung. Pelaku pasti memiliki rasa keadilan yang tinggi," terangku. "Kira, apa ada hal lain yang kau pikirkan?"
"Hmm ... sepertinya ada. Aku hanya merasa familier dengan kasus ini. Sepertinya ... aku pernah mendengar ada kasus yang sejenis," jelasnya. Aku kembali memasang ekspresi serius. Menunggu penjelasannya. "Aku lupa. Akan kuberitahu jika aku sudah ingat," katanya cepat.
"Baiklah jika sudah tidak ada lagi, sepertinya ... aku tahu sesuatu," ucapku datar. Karena aku sendiri saja masih bingung.
"Eeh ... kamu tau sesuatu?!' tanya Sisi tidak percaya. Aku mengangguk samar. "Kasi tau dong!" desaknya.
"Maaf, aku juga masih terlalu yakin. Aku kuberitahu kalian jika aku sudah menemukan jawabannya," balasku. Gadis berkacamata itu tampak menghela napas kecewa.
Yang sebenarnya masih membuatku bingung adalah bagaimana caranya pelaku bisa mengetahui tentang catatan korupsi korban sementara dia bekerja di instansi yang berbeda? Rumor, rasanya terlalu mustahil bagi pelaku kriminal kelas tinggi untuk cepat percaya pada kabar angin. Lalu, apa pelaku juga memiliki informan sepertiku. Ah, itu sepertinya jauh lebih mustahil, ia akan jauh lebih mudah terdeteksi.
Lalu tentang alibi. Bagaimana bisa pelaku membunuh para korban bahkan saat malam hari tanpa dicurigai oleh warga kota yang melintas di sekitar TKP. Oh ya, aku tidak boleh lupa jika hampir semua TKP juga berada di tempat yang tidak bisa disebut sepi. Bagaimana pelaku bisa lolos dari kecurigaan.
Aku juga masih belum terlalu mengerti. Mengapa kepolisian justru bergerak lebih lamban dalam kasus ini. Mereka seolah tidak mendapat banyak informasi untuk melanjutkan penyelidikan. Kak Adam juga, mengapa dia seolah sama sekali tidak pernah menemukan titik terang setiap kali ditemukan korban baru. Mengapa dia tida bisa menemukan keanehan dalam rekaman CCTV itu. Apa pelaku sudah mengetahuinya sehingga bisa mengelabui kamera pengawas.
Aku akui, pelaku cukup cerdas dalam menyembunyikan kejahatan. Dia pasti bukan orang yang awam dalam dunia kriminal. Tetapi, menyebutnya sebagai seorang penjahat kambuhan sepertinya berlawanan dengan kesimpulan bahwa pelaku memiliki rasa keadilan yang tinggi.
Memang masih ada yang lebih masuk akal untuk membuat seseorang melakukan hal-hal aneh, yaitu psikopati. Tetapi, sangat aneh jika seorang psikopat membunuh korbannya dengan cara menyerang bagian vital, yang tentu saja akan membuat korban tewas seketika. Mereka pasti tidak akan puas jika belum melihat penderitaan korban yang sekarat.
Yang paling membuatku bingung adalah ... haruskah aku menangkap pelaku? Dia membunuh bukan dengan motif klasik, yaitu cinta dan dendam. Melainkan idealisme yang mendesaknya. Ah, mungkin ini bisa dikategorikan sebagai dendam pada mereka yang merugikan rakyat kecil. Pelaku sedang berusaha menjadi pembela keadilan.
Tidak bisa dipungkiri jika aku juga memiliki rasa keadilan yang mulai tumbuh subur sejak aku bergabung ke dalam tim ini. Sekarang yang menjadi pertanyaanku, jika aku menangkap pelaku yang sedang berusaha membela keadilan, apakah aku menentang keadilan? Apakah aku yang seharusnya dimusnahkan?
"Jadi, Steve. Apa rencana kita sekarang?" tanya Kira penasaran. Diikuti anggukan setuju oleh dua anggota tim detektif lainnya.
"Aku punya dugaan kuat tentang pelaku. Tetapi, masih ragu apakah aku harus menangkap pelakunya ... atau tidak," jelasku. Mereka bertiga seketika terheran. Aku kembali mengela napas untuk yang ke sekian kali. "Pelaku sedang berusaha membela keadilan. Aku masih bingung apakah harus menangkapnya atau tidak."
"Steve ...," lirih Kira dengan wajah penuh empati. Aku menatap langit-langit ruangan yang mulai gelap, berharap bisa menemukan titik terang.
"Kenapa kamu bisa berpikir kayak gitu?! Kita ini detektif, kita harus menangkap pelakunya walaupun seandainya dunia nggak setuju!" seru Sisi. Aku hanya memandang datar. Sudah kuduga, mereka tidak mengerti jalan pikiranku.
"Kita tidak boleh gegabah. Kita harus memikirkannya hingga matang," sahutku, masih dengan nada tenang. Meskipun sebenarnya, pikiranku sedang tidak setenang luarnya.
"Kamu selalu bilang kek gitu. Tapi apa? Kita sama sekali nggak bergerak maju. Sedangkan waktu aku punya rencana lain, kamu bilang nggak boleh. Kamu bikin peraturan supaya bisa dapet otoritas penuh, aku iyain aja. Tapi, kamu juga harus sadar kalo kamu itu juga egois," ujar gadis berkacamata tipis itu panjang lebar.
Aku menggigit bibir bawah. Mungkin benar, aku memimpin dengan cara yang terlalu otoriter. Sudah kuduga, aku tidak bisa memimpin. Lebih baik aku bekerja sendiri. Iya, itu jauh lebih baik. Selain bebas membuat peraturan sendiri, aku juga tidak perlu khawatir dengan keselamatan orang lain dalam misi berbahaya ini.
"Baiklah, jika kau berpikir begitu. Keluarlah dari penyelidikan, biarkan aku sendiri yang menanganinya," tegasku.
*
Sampe sini, kalian udah curigai siapa aja?
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top