File 12
Aku membuka mataku perlahan. Kali ini aku tidak bermimpi buruk. Hanya saja, aku melihat beberapa hal aneh di dalam tidurku. Ketika mataku terbuka sepenuhnya, aku baru menyadari satu hal. Yaitu aku terbangun di suatu tempat yang tidak sewajarnya. Tentu saja. Bagaimana mungkin aku tiba-tiba ada di koridor sekolah?
"Apa yang terjadi?" tanyaku pada diri sendiri. Aku memandang sekeliling. Siswa lain yang berada di koridor tampak jauh lebih tidak mengerti daripada aku. Kecuali satu, Kira yang entah sejak kapan berdiri di depanku dengan tatapan aneh. Dia seolah sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. "Kira, ada apa ini?"
"Bisa kita bicara empat mata sebentar?" Kira mengulurkan tangan kanannya. Empat mata? Mungkin dia berharap aku segera menarik lengannya menjauhi keramaian seperti yang kulakukan tahun lalu. Baiklah, lagipula aku tidak ingin ada yang ikut campur. Selain itu, aku tidak ingin ada yang menjadi benci pada Kira.
Tanpa berpikir panjang, aku segera menerima uluran tangannya lalu berjalan cepat menjauhi keramaian. Hari ini, aku tidak paham mengapa setiap sudut sekolah menjadi ramai. Jika begitu, sebaiknya kemana aku membawanya? "Ikut aku." Kira yang sebelumnya hanya menurut kini berjalan cepat sebenarnya berlari ke tempat yang cukup tersembunyi. Aku mengerti, pasti pembicaraan ini cukup penting.
"Kira, bisa katakan padaku apa yang baru saja terjadi?" tanyaku penasaran ketika gadis oriental itu akhirnya mengehentikan langkahnya di halaman belakang sekolah yang jarang sekali didatangi orang. Kira tidak menjawab, dia hanya menunudukkan wajah, sedetik kemudian membalas tatapan mataku. Dia menghela napas, cukup lama hingga ahirnya dia mulai bicara.
"Bagimu, aku ini apa?" Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia justru memberi pertanyaan balik yang tak kalah membingungkan. Aku mengernyitkan dahi, meminta penjelasan. "Bagimu, aku ini apa, Steve?!" tanyanya lagi dengan nada yang sedikit lebih keras. Aku tersentak, dia benar-benar serius.
"K-kau itu kan ... temanku," jawabku apa adanya. Namun, Kira hanya menggeleng samar dengan tatapan tajam yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Tidak usah berbohong lagi, Steve. Kau tidak bisa membohongiku!" sentaknya. Bukannya mendapat penjelasan, aku semakin bingung dengan situasi ini. Seingatku sampai tadi malam, semua masih saja terulang seperti hari-hari sebelumnya. Sekarang, mengapa semuanya beurbah drastis, cepat sekali.
"Kau sebenarnya tidak pernah menganggapku sebagai teman, kan?" tanya Kira. Aku terpegun. Mengapa dia tiba-tiba berkata seperti itu? Ada apa sebenarnya? Ah, jangan-jangan ini semua karena ... sisi lainku! Dia pasti mengambil alih sejak aku bangun dari tidur, kemudian mengatakan sesuatu pada Kira yang berpikir jika itu adalah diriku yang asli.
"Kira, kau ini bicara apa?! Memangnya apa yang sudh kulakukan padamu?" aku bertanya balik. Tentu saja aku tidak terima jika akibat dari tindakan alter ego harus aku tanggung sendiri. Tetapi ... aku tidak ingin jika Kira justru menjauh ketika tahu bahwa sebenarnya aku memiliki dua kepribadian.
"Aku sudah tahu jika sebenarnya kau ...." Kira tidak melanjutkan ucapannya. Aku penasaran, 'sebenarnya' apa? Dia hanya menelan ludah, kemudian menghela napas panjang. "... berkepribadian ganda." Tenggorokanku seperti tercekat. Dia sudah mengetahuinya? Tidak mungkin .... Lalu sekarang apa yang akan terjadi? Aku tidak ingin dia membenciku hanya karena kelainan yang aku tidak tahu apa sebabnya.
"Bagaimana aku bisa tahu? Itu sangat mudah. Steve yang aku kenal memiliki sifat kalem dan jarang sekali bicara. Jadi, ketika aku melihatnya berubah menjadi cerewet, sudah pasti itu alter ego," jelas Kira dengan sebuah senyuman yang terlihat hambar karena matanya tidak ikut tersenyum. Aku menghela napas berat. Memang sejak pertama kali bertemu aku tidak pernah bisa menyembunyikan apa pun darinya. Sama sekali tidak pernah.
"Dia hanya memberitahuku apa yang kau sembunyikan, karena dia adalah kebalikan dari kepribadian aslimu yang suka memendam perasaan." Aku tersentak. 'Apa yang kau sembunyikan' katanya? Payah! Mengapa dia seenaknya saja membeberkan rahasia yang lama aku simpan?!
"Kau tidak sendirian, Steve. Beban hidumu bukan untuk kau tanggung sendiri. Tetapi sayangnya, kau lebih suka melakukan yang sebaliknya. Kau hanya diam saja, menyembunyikan semuanya dariku. Membohongiku dengan kata 'aku tidak apa-apa'. Aku mengerti. Itu karena aku bukan temanmu kan?" Kali ini akulah yang menelan ludah. Kehilangan kata-kata untuk berargumen.
"Aku tahu, kapasitas otakmu mungkin sepuluh kali lebih besar daripada manusia normal. Tuhan menciptakanmu dengan kekuatan lebih dibandingkan orang lain yang seusia. Tapi ... aku yakin satu juta persen, kau tidak akan pernah bisa menanggung beban itu sendirian. Karena itulah gunanya teman," katanya dengan memelankan suara. Aku bisa melihat dengan jelas matanya yang mulai berkaca-kaca.
"Kita ... memiliki masa lalu yang sama-sama kelam. 'Post-Traumatic Stress Disorder', aku tahu persis bagaimana rasanya. Ketika kau mengalami insomnia karena bayangan mengerikan yang selalu membuatmu merasa seperti sedang berhalusinasi, aku juga merasakannya. Menyakitkan sekali, bukan?
"Tetapi, aku mencoba untuk terbuka, berharap suatu saat kau juga membagi rasa sakit itu. Tidak apa-apa walaupun bebanku bertambah. Aku berusaha peduli padamu, tapi kau justru mengabaikanku. Aku berusaha untuk jujur, tapi kau balas dengan kebohongan. Aku percaya padamu, tapi kau tidak mempercayaiku." Setetes air dari ujung matanya perlahan mengalir. Namun, gadis itu lekas menyekanya. Aku menggigit bibir bawah. Benarkah aku sejahat itu padanya?
"Kau tahu? Sejak pertama kali melihatmu, aku bisa merasakannya, kesendirian. Saat kau menyerang dengan niat membunuh saat latihan karate pertamaku di sini, aku bisa mengerti jika kau menderita trauma parah. Bahkan hingga sekarang, aku bisa melihat tatapan penuh luka di matamu." Dia kembali menatapku intens, membuat jantungku kembali berdebar dengan ritme yang aneh.
"Dirimu yang lain ... dia hanya ingin kau terbebas dari depresi. Dia tidak ingin kau terus merasa sendirian. Karena itulah dia memberitahuku apa yang membuatmu sedih. Aku sudah berjanji padanya untuk membuatmu terbebas dari beban itu. Tapi ... apa yang harus kulakukan sementara kau tidak menganggapku sebagai teman?" Aku tiba-tiba merasa sesak. Perasaan bersalah bergemuruh di dadaku.
"Aku ... benar-benar minta maaf," ucapku lirih. Perlahan, aku bisa merasakannya. Air yang mengalir dari mataku. Air mata pertama setelah sekian lama aku lelah dengan tangisan. Aku benar-benar tidak percaya. Hari ini ....
"Walaupun seluruh dunia menganggapnya sebagai kelemahan, aku tetap percaya kau itu kuat. Menangislah jika itu ... memang membuatmu merasa lebih baik," bisiknya sembari mengusap lembut pipiku yang mulai sedikit basah.
"Aku tahu, aku bukan apa-apa. Kau boleh mengabaikanku, membohongiku, menyakitiku, membenciku, atau bahkan ... membunuhku demi mengubur rahasia yang telanjur kuketahui. Silahkan lakukan jika itu membuatmu merasa lebih baik. Tetapi kumohon, jangan pernah lakukan itu pada dirimu sendiri. Behentilah menyakiti dirimu sendiri," ucapnya lagi. Namun, alis yang turun lagi-lagi membuatku tidak percaya pada senyumannya.
"Kakak, sudahlah. Alenna tidak suka kalau Kakak seperti ini. Alenna janji tidak akan nakal lagi, tidak akan main hujan lagi." Seorang anak perempuan tiba-tiba muncul, terlihat nyata. Mengusap air mataku seperti yang dilakukan oleh Kira. Tatapan dari iris berwarma coklat itu tampak bening, masih polos seperti tindakannya. Aku memandangnya haru. Meskipun aku tidak mengerti mengapa sorot mata anak itu sangat mirip dengan Kira.
Aku segera menangkap telapak tangannya yang perlahan turun dari wajahku, menggenggamnya erat-erat. Gadis itu memang tampak sedikit terkejut. Halus, tetapi masih terasa basah. "Aku tidak akan pernah melakukannya. Karena aku percaya jika aku dilahirkan ... untuk melindungi." Sudut bibirku terangkat ke atas.
"Maaf, jika aku sempat menyakitimu," ucapku lagi. Kira hanya menggeleng samar sebagai respons. Barulah sekarang aku percaya dengan senyumannya yang terlihat jauh lebih indah daripada sebelumnya.
"Tidak usah minta maaf. Aku sepertinya terlalu mendaramtisir," balasnya sambil tertawa kecil menyeka air matanya yang masih tersisa. "Berjanjilah, jangan pernah sembunyikan kesedihanmu, lagi. Karena yang kau lakukan hanya akan menyiksa dirimu sendiri. Dan itu akan membuatku jauh lebih khawatir." Aku mengangguk setuju, meskipun aku ragu bisa menepatinya.
"Soal alter egoku, tolong rahasiakan. Hanya kau yang tahu soal ini. Aku tidak ingin mendapat stigma," ucapku pelan, khawatir jika ada yang mendengarnya. "Aku percaya padamu." Mata coklat kemerahan itu terlihat sedikit berbinar sedetik setelah aku mengucapkannya. Ekspresinya benar-benar tidak bisa kutebak.
"Terima kasih," ungkapnya. Aku tidak mengerti, untuk apa ucapannya? "Terima kasih karena sudah ... percaya padaku," katanya memperjelas. Aku mengangguk samar seraya melepas genggaman tanganku yang bisa membuat rumor menyebar luas jika sampai ada yang melihat. Kira hanya tersenyum tipis. Terlihat manis sekali.
Kira, aku memang masih menyimpan kebohongan. Sekarang, aku tidak menganggapmu sebagai teman. Melainkan lebih dari itu.
*
Maaf, Ichi nggak jadi pake POV 1 Kira. Sebagai gantinya, satu chapter (1,22 K kata) scene khusus tentang mereka. Ada yang baper? Ichi waktu nulis ini sengaja sambil denger lagu anime mellow yang diulang-ulang (Orange, Himawari no Yakusoku, Hikaru Nara) biar dapet feel-nya.
Jadi, Ichi mau nanya nih. Cerita ini kan sebenernya 80% misteri, 18% slice of life, 2% romance. Sampe saat ini, apakah kalian bisa dapet feel waktu baca scene-scene kek tadi. Soalnya Ichi ini HSP (Highly Sensitive Person), dramatis dikit aja udah bisa nangis.
Nah, buat kalian yang nggak kek Ichi, apakah bisa dapet feel waktu baca?
Itu aja sih pertanyaannya. Tolong dijawab ya (kalo nggak dijawab, nanti Ichi bakalan slow update, lho 😣).
Kalo memang nggak dapet feel, jawab jujur ya. Supaya nanti Ichi bisa belajar lagi buat dapetin feel. Soalnya ini penting banget ya. Kan buat apa nulis cerita panjang-panjang kalo nggak ada feel.
Oke, kalo udah jawab, jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top