File 1
Kurasa aku tidak perlu memperkenalkan diriku lagi. Lagipula, semua orang sudah mengenalku sebagai anggota tim detektif paling misterius dan selalu menjadi incaran para pembunuh. Aku juga sedang malas berbicara saat ini. Lebih baik aku tiduran di kelas dan menunggu waktu-waktu membosankan ini berlalu.
Kasus pembunuhan berantai yang terjadi di sekolahku beberapa waktu yang lalu sudah benar-benar tuntas. Si- ehm ... maksudku si pelaku sudah mendapat hukuman kurungan penjara seumur hidup sebagai balasan yang setimpal atas perbuatannya. Aku sebenarnya sedang tidak ingin membahas kasus itu. Itu adalah salah satu kasus paling menyebalkan yang pernah terjadi.
Bagaimana tidak? Kasus itu membuatku diopname di rumah sakit selama lima hari. Dan jika dihitung, aku sudah menjadi korban percobaan pembunuhan sebanyak enam kali. Yang membuatku heran, aku selalu lolos karena keajaiban. Bukan hanya itu, crimson case juga membuatku terpaksa mengikuti ujian semester susulan meskipun pada akhirnya posisiku sama sekali tidak bergeser.
"Hoi, jangan tidur!" seru seseorang seraya menggebrak meja tempat dudukku. Aku mengenali suara ini. Sangat kenal. Dia adalah temanku sejak SMP yang selalu membuat energiku terbuang sia-sia karena harus melayani sikapnya. Yah, siapa lagi kalau bukan Kevin. Dia memang bukan teman kelasku. Tapi, dia adalah anggota OSIS yang punya sedikit kebebasan untuk masuk ke kelas lain.
"Apa?" tanyaku malas. Sekilas kulihat tumpukan kertas soal Ujian Nasional yang berada di tangannya. Ah, sudah kuduga.
"IQ seratus delapan puluh sembilan-mu itu harus dimanfaatkan dengan baik. Kalau tidak, aku akan merebut posisimu sebagai peringkat pertama paralel," ancamnya dengan semangat menggebu-gebu. Aku hanya mengangkat sebelah alis.
"Coba saja. Aku juga bosan karena selalu menjadi yang teratas dalam semua ujian," sahutku tak acuh.
"Dasar sombong! Lihat saja nanti!" geramnya. Aku kembali meletakkan kepalaku di atas buku paket pelajaran yang aku gunakan sebagai bantal. Aku tidak bermaksud sombong. Aku benar-benar serius. Setiap kali pembagian raport, ayah hanya berkata, 'Ranking paralel lagi, ya?' Jadi sebenarnya, aku hanya ingin tahu bagaimana reaksi ayah jika ranking itu turun.
"Hei, daripada kejeniusanmu itu sia-sia, lebih baik ikut aku ke ruang OSIS," ucapnya seraya menarik paksa pergelangan tanganku. Aku tidak memberontak. Biarkan saja dia mau membawaku kemana. Lagipula, aku sedang bosan tidur dan diam saja di dalam kelas.
"Aku bukan anggota OSIS," sanggahku. Namun, Kevin sama sekali tidak peduli. Hmm mungkin ini adalah balasan karena aku mengabaikannya. Ya sudahlah.
"Biarkan saja. Setidaknya kamu tidak membuang waktu berhargamu dengan tidur di kelas lagi," katanya sambil terus menarik pergelangan tangaku menuju ruang OSIS yang kusangka akan ramai. Ternyata, dia sana hanya ada dua orang adik kelasku yang juga terlihat sibuk dengan lembaran soal.
"Lho, Kak Edward?" tanya Nabila, si wakil ketua OSIS. "Kok tumben ya?" Aku hanya melirik pada Kevin yang belum melepaskanku. Nabila mengangguk paham. Untung saja dia mengerti diriku yang malas berbicara ini.
"Kami akan mengerjakan soal UN di sini," jelas Kevin. Kami? Bukankah hanya dia?
"Wah, kebetulan nih. Kami juga lagi ngerjain soal semester ganjil kemarin. Kak Edward, ajarin dong," pinta Rio, bendahara OSIS kalau tidak salah. Aku mengehela napas. Seandainya aku bisa melakukan hal lain yang tidak berkaitan dengan sains sekali saja. Aku ingin bebas dari rumus-rumus walaupun hanya semenit.
"Nah, kalian kerjakan saja dulu sama dia. Aku ada urusan," ujar Kevin lalu pergi meninggalkanku di sini bersama kedua adik kelasku. Dasar ya! Awas kau, Kevin!
"Kak Edward, silahkan duduk saja," kata Nabila seraya menujuk salah satu kursi yang masih kosong di dekatnya. Tanpa pikir panjang, aku segera mengmbil posisi di sana.
"Apa tidak masalah mengerjakan soal di sini?" tanyaku tanpa intonasi berarti.
"Sama sekali tidak, Kak. Kami biasa di sini setiap hari pertama masuk sekolah. Biasalah, Kak. Bosen kalo di kelas terus," ungkap Nabila. Rupanya dia juga memiliki penderitaan yang sama denganku setiap hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang.
"Kami juga biasa ngomongin kepala sekolah yang jarang ngasi dana ke OSIS," jawab Rio tanpa beban. Nabila yang berada tepat di sampingnya pun segera menyikut agar tidak ketelepasan bicara.
"Iya, sih Kak. Kalo boleh jujur, kami sering ngelakuin itu," jawab Nabila sambil teratawa kecil. Aku tidak menanggapinya.
"Bahkan akhir-akhir ini, ada rumor beredar tentang kepala sekolah yang katanya menggelapkan dana sekolah sampai milyaran," sambung Rio dengan sedikit berbisik. Nabila yang mendengar ucapan teman sekelasnya sontak memukul punggung laki-laki itu dengan buku paket pelajaran.
"Kau tidak perlu membicarakan itu," katanya dengan raut wajah kesal. "Kak Edward datang bukan untuk mendengar gosip." Benar sekali. Itu memang bukan tujuanku. Lagipula, aku tahu jika membiacakan keburukan orang di belakangnya bukanlah hal baik yang biasa dilakukan seorang pemberani.
"Tapi, bukannya Kak Edward itu detektif? Kan bagus kalo dia selidiki kasus kek gitu," sanggah Rio. Nabila tampak berpikir sejenak. Aku tidak menanggapi. Kasus penggelapan semacam itu sama sekali tidak membuatku tertarik.
"Lagipula, bukankah koruptor adalah pengkhianat yang membuat negara rugi. Seharusnya kita menentang aksi mereka apa pun bentuknya," lanjut Rio dengan nada sok idealis.
"AKU BENCI KORUPTOR!!" Tiba-tiba saja Nabila naik ke atas kursi kemudian mengeluarkan suara melengking miliknya yang membuat telingaku terasa sakit. Bahkan Rio yang berada di dekatnya sudah menutup telinganya sambil berdecak-decak kesal.
"Aku juga benci. Tapi tidak perlu sampai berteriak-teriak seperti itu," ucapku dengan sedikit nada kesal di sana. Nabila yang mendengarnya hanya bisa tertawa kecil kemudian turun dari kursi.
"Jadi, Kak Edward mau kan selidiki kasus itu?" tanya Nabila dengan raut wajah memelas. Oh, perempuan itu memang rumit. Bagaimana aku harus menjelaskan ini? "Kak Edward kan benci koruptor juga."
"Aku tidak punya waktu. Aku harus belajar," dalihku. Alasan paling klasik yang pasti akan dilontarakan setiap anak sekolah tahun terakhir jika sedang malas melakukan suatu hal.
"Kak Edward sudah sejenius itu masih belajar?" tanya Rio sedikit ragu. Apa ini artinya alasan klasik itu tidak akan berguna jika aku yang menggunakannya?
"Tentu saja perlu. Rencananya, aku akan kuliah di Amerika," jawabku seadanya. Semoga saja mereka tidak bertanya alasan mengapa aku memilih Amerika bukan Inggris. Aku memang tidak ada niat untuk merahasiakannya seperti dulu. Hanya saja, aku sedang malas berbicara untuk saat ini.
"Woah, Amerika?! Keren! Semoga berhasil, Kak," ucap Nabila menyemangati. Aku menghela napas lega. Untung saja dia tidak bertanya. Mungkin itu bukan informasi yang penting. Hmm ... atau itu karena dia tidak tahu jika ayahku adalah orang Inggris? Entahlah.
"Ya," sahutku singkat. Padahal pada kenyataanya, aku tidak terlalu serius belajar akhir-akhir ini. Ibu sampai berkali-kali memperingatkanku. Sementara itu Ayah tidak terlalu peduli saking sibuknya. Karena itulah aku ingin tahu bagaiamana reaksinya jika ranking-ku turun.
"SENIOR!!" seru seorang laki-laki dari luar ruang OSIS. Pemiliki suara serak itu tentu saja itu tak lain adalah Riyan. Tidak ada siswa lain di sekolah ini yang memanggil kakak kelasnya dengan kata itu. Dia berlari masuk ke dalam ruang OSIS. Namun, raut wajahnya tampak berubah setelah kedua mata kami bertemu.
"K-Kak Ed-ward?! Ke-kenapa bisa ada di sini?" tanyanya lirih sedikit tergagap. Aku semakin menajamkan pandanganku padanya seraya tersenyum jahat. Entah mengapa raut wajah Riyan yang ketakutan membuatku ingin tertawa lepas.
"Riyan, ada apa? Kak Kevin sedang pergi," jelas Rio.
"Kak Rio, kenapa Kak Edward bisa ada di sini?!" tanya Riyan panik. Aku sebenarnya tidak tahu apa yang membuatnya takut padaku. Padahal aku kan tidak seseram drakula. Tapi, ekspresi ketakutannya benar-benar terlihat lucu.
"Jawab pertanyaanku!" seru Rio kesal. Senyumanku melebar ketika melihat Riyan yang semakin panik. Oh, apa yang sedang kupikirkan? Mengapa aku sangat menikmati ekspresi paniknya? Aku kan bukan psikopat yang mendapat kesenangan dari rasa takut orang lain.
"I-iya, tadi di ruang Kepala Sekolah ada ...." Riyan tidak melanjutkan ucapannya yang menggantung di ujung lidah. Membuat Rio tertular paniknya.
"Ada apa?" tanya Nabila. Raut wajahnya menampakkan kecemasan yang luar biasa.
"Ikut aku," ucapnya kemudian berlari kembali menuju ruang Kepala Sekolah. Kami bertiga segera mengikuti Riyan. Aku sebenarnya cukup tertarik pada hal ini. Biasanya yang membuat Riyan panik adalah sesuatu yang menarik.
Tidak perlu waktu lama bagi kami untuk sampai di ruang kepala sekolah karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari ruang OSIS. Ternyata ada juga manfaat aku mengikuti keinginan Kevin. Tapi apa yang dilakukan Riyan di ruang kepala sekolah? Anak ini tidak melakukan hal aneh, kan?
Belum sampai di tujuan, aku sudah merasakan hal aneh. Suatu aroma yang sangat familier tercium tak jauh dari tempat kami. Sangat familier. Kurasa apa yang dimaksud Riyan adalah ....
*
Yeayy!! Akhirnya seri ketiga up! 😄😄
Sejujurnya outline dari cerita ini belum terlalu mateng (emangnya makanan?) Tapi karena drafnya Tsuki no Ko udah tamat sebelum target, nggak papalah Ichi mulai pelan-pelan. Jadi kalo slow update, jangan marah ya 😂😂.
Btw, kalo Ichi nulis genre teenlit, kalian mau baca nggak? (tapi bukan tentang badboy vs nerd ya). Ichi mau nulis teenfict dengan subgenre psikologi, kalian mau baca nggak? (Kalo nggak, ya udah. Ichi nangis dulu deh, kalian jahat 😢). Ehhe, nggak kok, bercanda 😃.
Oke, seperti biasa, jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top