Lembar Kedua
"Mengapa kau tidak mendapatkan nilai seratus?"
Pertanyaan itu membuat (Y/n) tertegun. Suara milik ayahnya yang kini berdiri di depannya membuat gadis itu tak dapat berkutik. Ia pikir, nilai sembilan puluh sudah bagus untuk pelajaran Fisika. Ia pikir, pujian dari kedua kakak laki-lakinya sudah cukup baginya. Namun, sama seperti apa yang ia duga, semua itu hanyalah pemikirannya semata. Bukan fakta yang sebenarnya ada.
"M-Maaf, Tou-san. Aku akan lebih berusaha lagi nanti," ujar (Y/n) setelah sekian lama terdiam. Membiarkan luka yang baru tertoreh di hatinya.
"Pegang ucapanmu itu, (Y/n)."
Setelah mengatakan satu kalimat itu, ayahnya pun pergi dari kamar (Y/n). Sepeninggalan ayahnya, (Y/n) duduk terjatuh ke atas lantai kamarnya. Ia menarik kedua kakinya hingga tertekuk di depan tubuhnya.
Siang ini, ayahnya pulang ke rumah untuk mengambil dokumen yang harus ia ambil seorang diri. Tidak bisa meminta bantuan karyawan maupun sekretarisnya. Alhasil, kejadian itu pun membuat (Y/n) yang sedang libur karena rapat besar-besaran para guru, bertemu dengan ayahnya. Kemarin gadis itu memang ingin memberitahu kepada pria paruh baya itu pasal ulangannya yang mendapatkan nilai cukup tinggi, terlebih dalam pelajaran Fisika. Namun, karena ayahnya baru saja pulang ketika hari telah larut malam dan (Y/n) pun sudah tertidur lelap, alhasil (Y/n) baru bisa memberitahunya sekarang. Sebelumnya ia ingin mengatakannya di pagi hari, ketika sedang sarapan bersama. Tetapi, ayahnya yang tengah terburu-buru membuatnya mengurungkan niatnya. Hingga siang ini adalah saat yang tepat.
Namun, bukan pujian seperti yang ia harapkan yang (Y/n) dapat. Melainkan pertanyaan datar yang justru menohok dan melukai perasaannya. Ayahnya memang tidak tahu seberapa besar perjuangannya selama ini. Hanya untuk mendapat nilai sempurna di pelajaran Fisika. Ayahnya juga tidak tahu jika beberapa hari sebelum ulangan itu, (Y/n) selalu bergadang dan kurang tidur untuk belajar. Namun, dari sanalah ia tahu; ayahnya memang tidak tahu menahu apapun mengenai dirinya.
"(Y/n)?"
Tangis tanpa suara milik (Y/n) sontak membuat gadis itu menengadahkan kepalanya. Wajahnya yang kusut dan bekas air mata terlihat dengan jelas di depan mata Manjirou. Melihat bekas air mata dan sisa-sisa air mata yang masih mengalir itu, membuat Manjirou tahu (Y/n) tengah menangis.
"Ada apa, (Y/n)?" tanya Manjirou lebih lembut.
"T-Tou-san memarahiku lagi. Beliau berkata, seharusnya aku mendapatkan nilai seratus, bukan sembilan puluh." Seusai mengatakan hal itu, tangis (Y/n) kian menderas. Ia tampak sesenggukan dengan tangan yang menutupi wajahnya.
Manjirou mengepalkan tangannya dengan erat. Ia memang tahu jika ayah mereka selalu menuntut kesempurnaan di segala bidang, baik akademis maupun nonakademis. Manjirou dan Shinichiro merupakan salah satu korbannya. Namun, karena mental yang dimiliki oleh mereka berdua lebih kuat daripada (Y/n), alhasil mereka pun masih bisa bertahan. Bertahan hanya untuk menunggu saat yang tepat untuk membantah semua perkataan ayahnya itu.
Dan kini saatnya telah tiba. Ketika Manjirou melihat tangis (Y/n) yang selama ini jarang terlihat meskipun ayah mereka selalu tidak puas dengan hasil ulangannya, di mata pelajaran apapun itu. Selama itu pula, Manjirou selalu melindungi (Y/n). Begitu juga dengan Shinichiro. Namun, karena Manjirou lebih sering bersama dengan (Y/n), maka dirinyalah yang selalu memasang perisai untuk adik perempuan satu-satunya itu.
Tangan Manjirou menarik tubuh (Y/n) ke dalam dekapannya. Memberikan kehangatan sekaligus ketenangan kepada gadis itu. Bibirnya terus mengucapkan kalimat yang sama.
"Jangan menangis, (Y/n). Ada aku dan Shinichiro Nii-chan yang selalu ada untukmu. Maka dari itu, tersenyumlah. Tunjukan kepada dunia jika perkataan Tou-san tidak akan membuatmu terpuruk dan berakhir jatuh ke dalam jurang yang terjal."
Dari balik punggungnya, Manjirou dapat merasakan anggukan kepala (Y/n). Meskipun masih terdengar suara sesenggukannya, namun tangisnya telah mereda. Berkat perkataan Manjirou. Berkat kakak laki-lakinya yang selalu ada untuknya.
***
"Tou-san berulah lagi pada (Y/n)."
Hari sudah larut. Bulan telah merangkak naik ke angkasa, ditemani oleh beberapa bintang di langit malam. Shinichiro menghembuskan mulutnya, mengeluarkan asap akibat sebatang rokok yang ia hirup.
"Apakah ia masih menuntut (Y/n) untuk selalu menjadi yang sempurna?" Shinichiro menyahut.
"Ya, benar," jawab Manjirou. "Apa yang akan kita lakukan sekarang? Sudah waktunya, bukan?"
Shinichiro menghembuskan asap rokok melalui mulutnya. Tangannya yang bertumpu pada pagar pembatas balkon kamarnya tampak tengah mengepal.
"Ya," sahutnya. "Sudah cukup bagi pria itu karena menyakiti adik kita terus-menerus."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top