30
Apol menonton semua kehebohan yang terjadi di halaman sekolah. "Sepertinya sudah mencapai puncak. Aku kasihan mereka hujan-hujanan."
"Kalau kamu kasihan, kenapa tidak turut membantu?" sindir seseorang.
"Aku pikir aku sudah cukup membantu." Apol terkekeh, menoleh ke orang yang menyindir. "Kamu berkata seperti itu karena masih mengkhawatirkan Hellen, apa aku salah?"
"Apol, kamu tak pernah berubah." Orang lain menegur, bersedekap malas.
"Memangnya apa yang kamu harapkan dariku? Apa kita dekat? Kurasa tidak. Kamu hanya kebetulan mengetahui rahasiaku." Apol tersenyum culas, kembali memperhatikan halaman. "Jangan buat aku mengulangi perkataanku. Watson Dan telah melakukan perbuatan benar. Ini tidak salah."
Apol menatap langit nan menangis. "Hanya orang bodoh yang tidak gila kehilangan cinta pertamanya."
-
Tunggu sebentar. Jeremy berhenti berlari. Entah kenapa dia pernah melihat gerakan orang yang mereka kejar. Di mana dia pernah melihatnya? Saat sekolah dasar? Ah, benar. Waktu ujian praktek olahraga.
"Jer? Apa yang kamu lakukan?"
"Aku kenal orang ini, Aiden. Kamu diam di sana." Jeremy melanjutkan larinya, memotong rute yang dilalui orang itu. Terkejut, sosok itu pun memutar langkah. Jeremy mengepalkan tangan. Sesuai dugaan! Jeremy yang melakukan gerakan tipuan itu berhasil meraih lengannya.
Tanpa berpikir dua kali, Jeremy langsung menyingkap tudung mantel yang menyembunyikan wajah si Penguntit. Tapi kemudian, dia dibuat terkesiap kaget saat melihat siapa orang di balik tudung tersebut.
"E-Erika?!" pekik Jeremy, matanya membulat syok.
Nguing! Nguing!
Suara sirine? Aiden menoleh. Satu mobil ambulans memasuki lapangan. Tunggu, itu bukan pusat 911, melainkan ambulans rumah sakit jiwa. Apa yang dilakukan pusat kejiwaan di Madoka? Siapa yang memanggil mereka? Siapa yang hendak mereka bawa? Begitu banyak deretan pertanyaan di kepala Aiden, namun dia tahan demi mendengar seruan Jeremy di depan.
Saat ini Aiden kedinginan karena disiram air hujan, namun mendadak tubuhnya laksana mati rasa melihat pemandangan di hadapan. Ada yang lebih dingin dibanding ratusan jarum menusuk pori-pori. "... Erika?"
Benar. Di balik jubah mantel kuning, terdapat sosok Erika Lanneiola. Sahabat kecil Hellen dan Jeremy, partner Grim, dan anggota pertama klub detektif Madoka. Dialah Penguntit Monokrom.
"Aku bisa menjelaskan semuanya. Kalian tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ini rahasia di antara aku, El, dan Rokko. Kalian salah paham."
"Salah paham? Setelah yang kamu lakukan pada Hellen, kamu bilang salah paham? KAMU PIKIR APA YANG SUDAH KAMU PERBUAT, HAH? Kenapa .... Kenapa, Rik? Kenapa kamu tega melakukan ini pada temanmu sendiri? Apa kamu tak pernah menganggap Hellen sebagai sahabatmu?" Suara Jeremy memelan, terdengar serak dan senduk.
"Tidak!" Erika menggenggam kedua tangan Jeremy, berlutut. "Ini tidak seperti yang kamu lihat, Jeri. Jangan memandang dari luar. Ini sangat kompleks. Aku melakukannya demi El. Kamu tidak tahu maksud sebenarnya dari Penguntit Monokrom."
"Kamu menakuti Hellen 12 tahun, Rik. Apanya yang untuk Hellen? Kamu ingin membunuhnya, iya? KENAPA KAMU MENYAKITI HELLEN SEBEGININYA? Apa salahnya sampai kamu ...." Jeremy mengusap wajah. Entahlah dia sedang menangis atau menyeka air hujan yang mengganggu pipi.
Erika beranjak bangun, tersenyum. "Aku takkan menyalahkanmu kalau kamu mau memilih untuk tidak percaya padaku. Aku bisa memakluminya. Di mata kalian, aku memang terlihat seperti penguntit jahat. Namun aku yakin, pasti ada yang tahu tujuan asliku melakukan ini semua."
King akhirnya sampai ke TKP, menatap bingung Erika. Dia gagal paham. Itukah Penguntit Kuningnya? Seorang perempuan? batinnya. King menggaruk kepala bingung.
"Rika?"
Jeremy menoleh, melotot. Astaga! Itu Hellen.
"Apa yang kamu—" Hellen menatap pakaian mantel hujan kuning di tubuh Erika. Terdiam lama. Mundur tiga langkah, menggelengkan kepala. "Tidak mungkin. Ini candaan, 'kan? Penguntit Monokrom tidak mungkin kamu. Kita berteman. Kita sudah berbaikan. Kamu—"
"El, kumohon .... Ini demimu."
"TIDAK MUNGKIN! KAMU TIDAK BISA MELAKUKAN INI PADAKU. Kenapa ...? Aku mempercayaimu .... Tapi kenapa kamu seperti ini ...? Kenapa kamu mengkhianatiku? KENAPA, HAH? KENAPA!"
Erika yang sudah terisak, kemudian memaksa untuk menerbitkan senyum di wajahnya. "Apa kamu ingat perkataanku waktu itu? Aku tahu kamu belum bisa melupakan Rokko. Aku tahu jauh di lubuk hatimu, kamu masih menangisi kematiannya. Aku tahu kamu tidak bisa menggeser posisi Rokko dari hatimu."
"LALU KENAPA? APA HUBUNGANNYA?"
"Sadarlah, El! Rokko sudah tiada! Kamu hanya menyiksa diri sendiri! Sampai kapan kamu akan begini?!" Erika meremas mantel hujannya.
Hellen beringas, mengangkat tangan hendak menampar Erika. Emosinya membuncah.
Di sanalah Watson datang. Dia menahan tangan Hellen. Ekspresinya sulit dibaca. Kedatangannya tepat ketika hujan berhenti turun.
"Lepaskan, Watson. Biarkan aku menghukum penguntit sialan yang meneror hidupku," desis Hellen memberontak. Tenaganya cukup kuat sampai-sampai Watson meringis. "Lepaskan!"
Alih-alih melepaskan, Watson justru menarik Hellen ke pelukannya. Erika terdiam melihat Watson menangis. Itu bukan air hujan, itu adalah air mata asli.
"Apa yang kamu lakukan, Watson? Aku tahu kamu senang karena analisismu benar. Sekarang kita harus membawanya ke kantor polisi. Jadi, lepaskan aku!"
"Maaf, aku tidak bisa menjadi doktermu, Stern. Ini di luar kekuasaanku. Sepertinya Bari tidak cukup untuk menyembuhkan lukamu, ya?"
"Apa maksudmu, Dan?" Aiden peka. Ini pertama kalinya Watson bertingkah ganjil.
Grak! Pintu ambulans terbuka. Chyntia melompat turun, melangkah ke tempat Watson, tersenyum sedih seraya mengusap-usap kepala Hellen. "Aduh, putriku basah kuyup. Nanti kamu masuk angin, lho, kalau tidak ganti baju. Mama sudah sering mengingatkanmu."
"Mama ...? Mama ngapain di sini?"
"Menjemputmu, dong, Sayang. Apalagi? Mama sama Papa kangen jalan-jalan denganmu. Kamu mau, 'kan, ikut? Kita liburan ke tempat panggung drama Romeo & Juliet kesukaanmu itu, lho."
"Eh? Ta-tapi ini mendadak .... Bagaimana dengan Erika? Mama tahu kalau dia-lah yang ...?"
Chyntia tersenyum. "Mama tahu, kok. Nak Watson sudah menjelaskan semuanya. Maka dari itu, ikut Mama, ya? Kita wisata! El pasti sudah capek mengurus kasus Zenle, bukan? Kamu butuh istirahat. Nanti teman-temanmu juga Mama traktir. Tenang saja."
"Ta-tapi ...." Hellen beradu pandang dengan Jeremy yang diam bergeming. Sepertinya cowok berkacamata itu sudah paham situasi.
Jeremy menggigit bibir, mencegah air matanya turun, dia lalu tersenyum paksa untuk menutupi. "Serahkan sisanya pada kami, Hellen! Pergilah!" Dia pura-pura memborgol Erika. "Gadis ini akan kami penjarakan, jangan khawatir. Istirahatlah betul-betul."
"Baiklah."
Meski merasakan keanehan menggelora di halaman, pada akhirnya Hellen masuk ke mobil. Ambulans putih itu melesat mulus meninggalkan Madoka.
Keheningan menyergap.
Watson menatap Erika datar. "Bukankah karena itu kamu memilih warna kuning? Untuk pengendalian emosional, benar begitu?"
Erika mengelap air matanya. "Ya," katanya dengan suara bergetar. Menangis lagi. "Tapi itu tidak berhasil. Usahaku tidak mampu menyembuhkan El. Semuanya sia-sia. Aku hanya menyakitinya ...."
King menundukkan kepala. "Beginikah akhirnya? Rasanya sangat menyesakkan, padahal baru beberapa jam aku bergabung."
Aiden membungkuk supaya tidak ada yang melihatnya menangis.
Jeremy melangkah lemas, menatap Watson. Matanya sembab parah. "Bisakah kamu jelaskan apa yang terjadi?" tanyanya. Bulir air dari matanya lagi-lagi jatuh.
Watson mengembuskan napas pendek. Jeda sedetik sebelum dia menjawab pertanyaan Jeremy.
"Penguntit Monokrom adalah Stern sendiri."
***THE END***
Ya ampun, aku niat mengejarnya END-nya hari ini juga. Fuh! Melanggar hukum alam, ckckck.
Hmmm, tapi endingnya persis sekali seperti yang ada di bayanganku. Baguslah, baguslah.
Lalu soal King. Aku memunculkan karakternya karena karakter Hellen akan istirahat dalam beberapa waktu. I'm genius, isn't?
Btw, kalau ada yang nanya2 kok endingnya gantung atau apalah, emang itu tujuan saia sejak awal. Series Hellen memang berakhir tanda tanya.
Kalau begitu sampai jumpa di series Jeremy~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top