2

Aiden duduk gemas sembari menggigit bibir. Sial, ternyata sangat mudah menyogok Watson. Aiden lupa cowok itu menggemari Sherlock. Tahu 'gitu Aiden sogok dengan mainan Sherlock supaya Watson ikut pesta halloween di rumahnya.

Yang tengah dibicarakan, sibuk memandangi lekat-lekat buku novel pemberian Lora. Sejak tadi Watson tak melepas pandangan dari benda tersebut. Ya ampun, dia mendadak fetisisme.

"Nama lengkapku Tolora Mydrede," Lora memperkenalkan partnernya. "Temanku ini Karala Karoztya. Sebenarnya kami mempunyai satu sahabat lagi." Gestur tubuh Lora berubah. Suaranya sendu, air mukanya sedih.

Hellen dan Jeremy saling tatap. "Memangnya apa yang terjadi pada teman kalian?"

"Namanya Romeo Grandham. Ketika kami piknik ke Gunung Pinelea dan berkemah di sana, besoknya dia sudah menghilang. Kami tidak tahu ke mana Romeo pergi."

Deg! Adrenalin Hellen terpicu. Napasnya memburu tak beraturan. Keringat dingin mengalir. Rasanya ruangan klub pengap.

"Stern." Watson menepuk bahu Hellen membuat gadis itu tersentak. "Kamu baik-baik saja?"

"A-ah, iya. Aku baik-baik saja," sahut Hellen gelagapan, menyeka wajah. 

Jeremy diam, bersemedi di pikirannya.

Aiden menghela napas. "Apa kalian sudah menghubungi jagawana? Kalau dia menghilang di gunung, kemungkinan dia tersesat karena salah mengambil rute."

Lora menggeleng. "Kami tidak bisa melapor. Mereka takkan mau menolong orang miskin. Keluarga kami bertiga golongan fakir. Buku novel itu, kami butuh perjuangan dua hari untuk membelinya. Bekerja ke sana-sini, membantu banyak warga, dan sebagainya."

Aduh, aku jadi tak enak. Watson mengusap bagian belakang leher.

"Bisa kalian jelaskan kronologinya?"

Lora dan Kara saling tatap. "Kami bertiga kabur dari rumah. Seharusnya hanya aku yang pergi karena tidak tahan masalah di keluargaku, namun Kara dan Romeo menemaniku. Mereka bilang rasanya tidak lengkap jika tidak ada aku. Awalnya kami menjalani hari yang seru mendaki gunung, tetapi malamnya, situasi berubah drastis. Romeo sudah tidak ada setelah kami bangun."

Aiden dan Jeremy bersitatap bingung. Menghilang begitu saja?

"Apa kalian sudah cek ke sekitar?"

Lora mengangguk. "Kami sempat berpikir Romeo jatuh ke sungai, namun malam itu volume airnya amat rendah semata kaki."

"Bagaimana dengan barang-barangnya?"

"Itulah yang membuat kami bingung. Tas Romeo menghilang. Barang-barang milik Romeo di ranselku dan Kara lenyap. Kami panik, spontan pulang ke rumahnya. Klimaksnya, orangtua Romeo tidak kenal siapa Romeo."

Oke, masalah ini terdengar serius. Bagaimana mungkin keluarga korban melupakan dirinya? Teknik "hipnotis" secara alami menyusup ke kepala Aiden dan Jeremy.

"Bagaimana kalau sekolah? Teman-teman kalian?" Watson menggali info.

"Sayangnya kami tidak mempunyai banyak teman di sekolah. Kara bahkan dilupakan oleh anggota kelasnya sendiri. Guru tidak mempedulikan kami. Tapi aku sempat memastikan keanehan menghilangnya Romeo, dan benar saja, buku-buku Romeo di lokernya raib entah ke mana."

Senyap sejenak.

Humuh-humuh, menarik nih. Aku tak yakin bisa selesai beberapa hari. Watson manggut-manggut, mengusap-usap lembut sampul novel sakti.

"Tolong bantu kami! Tolong temukan teman kami Romeo! Hanya kalian satu-satunya yang bisa membantunya..."

Tanpa persetujuan Watson, Hellen lebih dulu mengangguk semangat. "Jangan khawatir! Kami akan mencari Romeo dan memulangkannya pada kalian. Dia pasti kesusahan saat ini karena kedua sahabatnya tidak bersamanya. Ketua kami adalah detektif yang bisa diandalkan. Kalian tak usah cemas."

Kepala Watson menoleh. "Hah..."

"Terima kasih... Sungguh, terima kasih."

-

Setelah kepergian Lora dan Kara, klub detektif Madoka terlibat percakapan serius.

"Stern, aku senang kamu memujiku, namun kamu tak bisa memberi mereka harapan. Kita belum tentu berhasil menemukan si Romeo itu. Bagaimana kalau kita mengecewakan mereka?"

Mereka bertiga menatap Watson malas. "Apa? Kenapa kalian menatapku seperti itu?" tanyanya bingung.

"Aku sudah menolak permohonan mereka ingat, tapi kamu yang menerimanya dengan sebuah novel." Aiden berkacak.

"Kamu yang menyuruhku menentukan apa kita mengambilnya atau tidak, kenapa jadi menyalahkanku? Terlebih ini bukan novel biasa. Ini tuh novel Holmes. Diberi cuma-cuma, aku tidak punya alasan menolaknya." Watson membela diri.

"Apa selain tukang tidur, kamu gampang disogok?" Jeremy bersedekap. Ekspresinya sama: masygul.

"Kenapa kalian jadi menyebalkan sih?" Watson menatap tidak mengerti. "Oke, baik. Kalau kalian punya rencana musim gugur sendiri, biar aku saja yang membantu mereka."

"Eits! Tidak bisa begitu dong, Dan. Kami kan juga member klub. Enak saja kamu menang banyak mentang-mentang ketua. Nanti semua uang komisi diserahkan padamu."

"Heh, kamu kira aku tipe yang bisa tergoda oleh uang ya?" Watson mendengus, beralih menatap Hellen. "Dan juga, kamu kepikiran sesuatu, Stern?"

Hellen mengerjap. "Eh?"

"Kamu tampak terganggu ketika mereka menyebutkan nama teman mereka yang hilang. Seseorang yang kamu kenal kah?"

Helleh kikuk, cengengesan. "Tidak kok—"

Maaf aku gagal menjadi Romeo-mu, El...

Brak! Watson nyaris terjungkal demi aksi Hellen menggebrak meja, tak biasa-biasanya. "Pokoknya kita harus mulai mencarinya sekarang juga!"

"Tenanglah dulu, Stern. Masalah ini jadi kapiran." Watson ogah-ogahan menatap Aiden, masih jengkel gadis itu menyalahkannya. "Pertama, kita cari tahu dulu di mana Gunung Pinelea itu berada."

"Itu di Kota Bagian Timur, Wat," kata Jeremy. Eh, anak itu tumbenan sigap. "Kota Serene. Jaraknya jauh dari Moufrobi, mesti melewati Distrik Uinate dan Distrik Moras. Agaknya kita butuh dua hari satu malam untuk sampai."

Jauh juga. Watson mengusap kasar wajah, memandangi buku novel pemberian Lora. Dia sudah menerima permohonan mereka. Watson harus bertanggung jawab.

"Kita akan pergi besok. Bari, bisakah kamu temani aku ke ruang Dewan Siswa? Kita harus meminta Apol mengurus surat izin."

-

Tepuk tangan menyambut Watson dan Jeremy. Jujur saja, mereka amat malas menginjakkan kaki ke kandang serigala. Tapi harus dilakukan supaya nilai kehadiran mereka baik-baik saja.

"Wah-wah, ini kunjungan mengejutkan." Apol tersenyum. Matanya terpicing sempurna karena sipit. "Apa yang membawa kalian datang kemari, Watson Dan? Lalu Jeremy Bari?"

Jeremy beringsut ke belakang. "Aku hanya menemani Watson, tak lebih."

Manik Watson menyensor seluruh ruangan, terhenti di foto Anlow. Ada banyak bunga dan lilin di sekitarnya. Lilinnya masih baru, kelopak bunganya masih basah. Apa dia sedang memperingati? Watson berdeham kalem. "Kelihatannya Anda akrab dengan Kak Anlow. Sampai membuat ornamen peringatan pribadi."

"Pengamatan yang brilian, Watson Dan. Daripada dibilang akrab, lebih tepatnya dia musuh besarku. Semua tindakanku tampak mencurigakan di matanya." Apol menunduk lesu. Padahal senyuman liciknya senantiasa terpatri.

Sudah cukup basa-basi busuk. Watson menatap Apol datar. "Klub Detektif Madoka hendak melakukan perjalanan ke Kota Serene. Bisakah Anda mengurus surat izin kami?"

"Permintaanmu masalah kecil bagi Dewan Siswa, tapi dalam rangka apakah perjalanan ini?" Apol bertanya.

Watson tak keberatan memberitahu. "Seseorang bernama Romeo Grandham menghilang ketika mendaki gunung. Anehnya, semua tentang dia ikut menghilang termasuk keluarga korban. Seakan dia tak pernah lahir," jelasnya pendek. Mengulangi inti sari kasus Lora membuat Watson terdiam.

Mata sipit itu perlahan terbuka. Air muka Apol berubah dingin. "Wah-wah, kedengarannya masalah yang serius."

"So, apa Anda mau mengatur permintaanku?"

"Tentu saja, Watson Dan. Pergilah dan temukan pemuda malang itu."

Watson mengangguk, lantas angkat kaki dari klub. Dia bertanya-tanya dalam hati, rupanya Apol bisa serius juga. Apa hanya akting? Tapi dia terlihat bersungguh-sungguh.

Sementara itu di ruangannya, Apol bersandar ke tepi meja, menatap lapangan sekolah. Dia menyentuh dagu, tersenyum miring.

"Musim gugur tahun ini kejam ya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top