17

"Lho? Ke mana semua orang?"

Tidak ada yang tersisa di TKP selain police line. Mobil-mobil petugas, forensik, dan reporter tak terparkir lagi di sana. Aiden menggaruk kepala bingung. Kasus kan belum selesai, bukankah terlalu cepat para polisi meninggalkan TKP?

Hellen mencoba memanggil Deon, namun polisi pemarah itu tidak menjawab. Mungkin ponselnya lowbatt atau berada jauh dari si empunya.

Jeremy memperhatikan sekeliling. Apa yang akan mereka lakukan sekarang? Melapor pada Watson? Pasti ada yang terjadi sampai semua petugas bergegas pergi. Watson sendiri bilang segera hubungi dia kalau ada yang aneh.

"Lihat." Hellen menunjuk seseorang yang memperbaiki letak traffic cone di trotoar dengan malas. "Kita bertanya padanya saja."

Tanpa berpikir dua kali, mereka melangkah ke tempat pemuda tersebut. "Permisi, apa Anda tahu ke mana semua petugas kepolisian yang berkumpul di sini?" tanya Aiden sembari menunjuk TKP.

Dia menatap cuek mereka bertiga, menjawab ogah-ogahan. "Tadi mereka ada di situ, lalu kini sudah tidak ada. Bukan urusanku sih."

Apa-apaan cowok ini? Menyebalkan sumpah. Demikian ekspresi Aiden.

"Kapan mereka pergi?"

"Entahlah. Sekitar sepuluh menit lalu? Lima menit? Seperempat jam? Seabad?" Dia menatap jam tangan, menghitung lewat jari, lalu berdecak. "Ck! Aku tidak mengerti hitungan di Bumi."

Oke, tampaknya dia bukan cowok normal. Mereka lebih baik pergi saja.

Plak! Seseorang datang dan menjitak kepala cowok pendek itu. Dia mengaduh, melotot ke penjitak. "Halca! Kamu pikir apa yang kamu lakukan?! Itu sakit!"

"Mereka bertanya baik-baik, jawab baik-baik pula." Orang yang baru datang itu geleng-geleng kepala, beralih menatap Aiden. "Maafkan temanku. Dia memang tak sopan," katanya memberikan tatapan sinis. "Para polisi yang kalian cari pergi ke tempat bernama Derarin. Katanya terjadi pembunuhan."

"Pembunuhan?"

Dia mengelus dagu. "Kalau tidak salah dengar, suami seorang wartawan eksekutif dari Twinshield News ditemukan tewas di rumahnya."

Deg! Aiden dan Jeremy terbelalak.

"APA?!" Hellen berseru tak percaya. Mereka terheran-heran kenapa semua insiden terjadi serempak. "S-suami Tante Zenle ...? Maksudnya Om Saul? Ini tidak bisa dibiarkan. Aiden, Jeremy, kita ke sana sekarang!"

"Tunggu, Hellen!" Aiden mengekori. Kecuali Jeremy, menyempatkan diri berterima kasih.

Hening dua detik.

Dua remaja itu saling tatap. "Kenapa mereka biasa-biasa saja mendengar pembunuhan? Jangan-jangan mereka mafia lagi. Kita bicara dengan penjahat! Ayo kembali ke kota kita, Hal. Di sini tidak aman."

"Astaga, Luca, kamu tuh kebanyakan nonton."

-

"INI TIDAK MUNGKIN TERJADI! Saul... Saul... Jangan tinggalkan aku... Siapa yang tega melakukan ini padamu...? Kumohon bangunlah..."

Teriakan putus asa Mazen menyambut kedatangan Aiden, Hellen, dan Jeremy. Mereka bersitatap cemas, langsung masuk ke TKP, tertegun. Tubuh jenazah terlihat memutih.

"Bagaimana keadaan Watson?" tanya Deon.

"Dia bersama—aww!" Aiden melotot, menoleh sebal. Jeremy menginjak kakinya. "Hei, itu sakit tahu. Apa masalahmu, heh?"

"Watson belum siuman, Inspektur. Dia gegar otak ringan." Jeremy menekankan kalimatnya sambil menatap Aiden. Gadis Penata Rambut itu terkesiap, mengulum bibir. Aish! Bisa-bisanya dia lupa pesan Watson.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Inspektur?" Hellen sukarela mengganti topik.

Deon menghela napas. "Setelah mengantar kalian ke rumah sakit, aku mendapat panggilan telah ditemukan sebuah mayat di kediaman Nyonya Mazenle. Kami pun tergesa-gesa ke TKP. Seperti yang kalian lihat, penyebab kematian adalah seluruh aliran darah membeku. Mayat disembunyikan di dalam kulkas."

"Hellen," Jeremy berbisik. "Coba cek sana. Kamu ahli medisnya. Kita harus memberitahu Watson."

"Baiklah." Hellen mengangguk, memakai sarung tangan lalu jongkok. Dia memulai pemeriksaan dari leher, helai rambut, kulit, dan kaki. Hellen mengangguk pada petugas. "Aku selesai. Ng? Di mana Tante Zenle? Dia ada di sini barusan."

"Dia kabur ke luar rumah." Deon mengusap wajah. Siapa yang tidak terima pasangan hidup merenggang nyawa tanpa sepengetahuan.

"Biarkan beliau sendiri dulu. Tidak bagus mengganggunya saat ini."

"Aku setuju."

Sekali lagi Hellen menoleh ke tubuh korban, alias ayah Rokko, mengepalkan tangan. Hellen pasti akan menangkap pelakunya.

Oleh karena itu Hellen harus membantu penyelidikan Watson. Dia menggeret Aiden dan Jeremy menjauh dari TKP, celingak-celinguk memastikan tidak ada yang menguling.

"Kenapa, Hellen? Tingkahmu seperti bandit."

"Ini waktunya serius, Jeremy! Tolonglah."

"Ada yang aneh dengan kematian Tuan Rokko," ucap Hellen mengabaikan gurauan Jeremy. "Kurasa beliau sudah meninggal dalam jangka waktu yang lama. Entah kenapa baru sekarang jasadnya ditemukan."

"Eh?" Dapat dirasakan bulu roma Jeremy berdiri. "A-apa maksudmu, Hellen? Jangan bilang yang tadi itu mayat zombie dibekukan—"

"Ish!" Hellen menepuk punggung tangannya, bersedekap. "Pemikiran polosmu itu tolonglah kendalikan sedikit. Tidak ada yang namanya zombie, Watson sudah mengatakannya. Dunia terlampau canggih untuk mempercayai takhayul."

"Kamu bisa menyindir beberapa pihak Hellen ..."

"Intinya...! TKP sudah dimanipulasi oleh pelaku. Kita butuh Watson, namun kita tidak bisa meneleponnya di sini. Harus jauh dari TKP. Nanti ada yang menguping."

"Baiklah. Kita izin sama Inspektur Deon menyudahi investigasi—"

Terdengar suara bising di luar. Mereka bersitatap, mengangkat bahu, mengintip dari pintu. Tampak Mazen membentak-bentak Deon.

"Tetapi Nyonya ..."

"Tidak, pokoknya tidak. Kumohon Inspektur, jangan otak-atik suamiku. Aku tidak kuat menyaksikannya. Aku hanya mau menguburkannya dengan tenang. Tolong."

Deon mendesah panjang. "Baiklah, Nyonya, jika itu permintaan Anda. Saya akan melarang mereka mengeramasi jenazah."

Aiden, Hellen, dan Jeremy bersitatap kedua kalinya. Mereka harus menghubungi Watson, tak bisa ditunda.

-

"Aku akan menunggumu di sini. Terlalu bahaya jika kutinggalkan." Dolok berkata.

Watson mengangguk, menatap ke depan, ke bangunan sekolah tua yang sudah terlantar. Yah, Watson tidak percaya hantu atau makhluk halus. Dia tak peduli pada hawa tak enak yang dikeluarkan oleh bangunan itu. Pokoknya informasi nomor satu.

Perlahan memasuki wilayah sekolah, otak Watson justru memikirkan Penguntit Monokrom. Dia masih tak percaya bahwa Erika Lanneiola yang meneror Hellen selama ini. Apa motifnya melakukan perbuatan itu?

"Membicarakan motif, bukankah Stern, Erika, dan Rokko teman masa kecil? Mungkin ini tentang cinta segitiga. Erika tidak terima dicampakkan oleh Rokko lalu dendam." Watson mengoceh, terkekeh masam oleh ucapannya sendiri. "Bagus, Watson. Lagi-lagi hipotesa yang ngawur. Yah, aku belum mengerti motif Erika sih ..."

Lamat-lamat telinga Watson menangkap suara percakapan. Dia berhenti melangkah, menoleh ke kelas tempat suara itu berasal. Rasanya dia pernah dengar suaranya.

"Kenapa Zenle ada di Moufrobi?! Kalian tidak menjaganya dengan baik?"

Nyonya Cynthia? Apa yang beliau lakukan di tempat ini? Watson bersembunyi di antara tumpukan kursi. Cynthia bersama tiga pria. Ekspresi mereka serius sekali.

"Maaf, Nona Cynthia, namun kami tidak bisa menahannya lebih lama. Anda sendiri juga tahu, kan, betapa kayanya Mazenle."

"Aku tidak mau tahu. Kita harus mengembalikan wanita itu kembali ke tempat asalnya. Walau harus menghalalkan segala cara."

Bruk! Satu kursi terjatuh. Tangan Watson tak sengaja menyenggolnya. Mereka semua berhenti berbicara, menoleh ke Watson. Ketahuan sudah.

"Opps."

Cynthia menatap dingin. "Tangkap dia."



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top