14

"Suatu kehormatan bisa bertemu denganmu, Watson Dan." Reporter bernama lengkap Rokko Mazenle itu mengayun-ayunkan tangan Watson. Setelah tangannya dilepaskan, rasanya sekitar berputar hebat. Watson memegang kepalanya yang puyeng. "Aku menulis banyak makalah tentangmu."

Watson menepuk pipi, memulihkan kesadaran. "Aku menghargainya, namun aku lebih menghargai jika Nyonya tidak lagi mempublikasikan tentangku. Aku tidak suka jadi sorotan... Hmm?" Ditatapnya jemari Mazen. Jari jempol, telunjuk, dan tengahnya berwarna ungu sekaligus seperti tergerus oleh sesuatu.

"Ara, ternyata kamu kurang suka publik, ya? Baiklah, baiklah. Tante paham." Beliau menyembunyikan kameranya ke dalam jaket. Cemberut.

"Anda pastilah seorang pemanah pemula. Tidak memakai pelindung jari akan membuat jari bengkak," cetus Watson datar. Kebiasaannya tidak pernah hilang.

Mazen refleks menutup mulut, menunjuk Watson gemetar. "Itu dia...! Kamu akhirnya mengeluarkan pngamatan yang fantastis! Astaga, aku tidak percaya akan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Benar Nak, aku baru memulai olahraga memanah minggu lalu."

Apa yang salah dengan orang ini? Watson mundur hati-hati. Firasatnya tidak bagus berdekatan dengan fans fanatik, apalagi kalau wanita dewasa.

"Ternyata kamu Zenle!" Papa Hellen menyapa riang, tersenyum. "Lama tak berjumpa, heh. Bagaimana kabarmu? Teganya kamu tidak mengabariku pindah."

Manze menggaruk kepala. Tampak canggung. "Soalnya itu mendadak sekali... Tahu-tahu aku terbawa suasana lingkungan baru sampai lupa menghubungimu. Kamu merindukanku?"

"Tentu saja."

Penasaran atas interaksi mereka berdua, Watson berbisik pada Hellen. Pasti ada sesuatu di antara keduanya. "Mereka saling mengenal?"

Hellen mendekatkan kepalanya. "Tante Mazen adalah mantan Papa sewaktu sekolah dulu. Sayangnya mereka beda universitas hingga Papa bertemu Mama."

Muka Watson berubah loyo. Jadi ini maksud Hellen soal cinta-cintaan? Mengerikan. Watson selalu merinding tiap mendengar kata 'cinta'.

Cynthia kembali dari mobil forensik, terburu-buru menghampiri rombongan klub detektif Madoka dengan selembar kertas di tangan. "Autopsinya sudah keluar... Zenle?"

Suasana berubah mencekam.

Apa ini? Aku merasakan hawa aneh menyala di tubuh dua wanita ini. Watson menelan ludah. Mantan ketemu Istri, hmm reuni yang luar biasa.

"Halo, Cynthia. Kita bertemu lagi."

"Takdir itu menyebalkan."

"Jangan begitu dong. Bukankah kamu sudah menang? Alangkah baiknya berdamai dengan masa lalu."

Ini membuang waktu. Watson berdeham sebelum mereka debat lebih lama. "Nyonya Cynthia, bolehkah kami tahu bagaimana hasil A-STR?"

Beliau menatap papan catatan. Atmosfer kembali serius. "Kamu benar, Nak Watson. Terdapat zat tetrodotoxin di peredaran darah jenazah yang disamarkan oleh obat MIDA."

Aiden dan Jeremy menyikut Watson, wajah ingin tahu. Hellen menepuk dahi. "Itu racun ikan buntal. Kalian seringlah membaca pengetahuan dasar kedokteran."

"Ish, merepotkan tahu. Kan ada kamu dan Watson."

"Kalian hanya perlu mengunduh aplikasinya, tidak perlu repot membeli buku. Apa susahnya? Dasar pemalas!"

Aiden dan Jeremy cengengesan, bangga dikatakan pemalas.

Mengesampingkan mereka bertiga, Watson menyapu pandangan ke TKP, mendongak ke jembatan layang. Senjata pembunuhan menghilang. Tidak ada saksi, tidak ada tersangka, tidak ada kamera. Kombinasi yang bagus.

Watson pernah melihat luka di tubuh Romero Ronald di suatu tempat. Ah, itu sudah lama sekali. Dia mengetuk-ngetuk kepala.

Sayup-sayup Watson mendengar percakapan di luar police line di dekat mobil polisi. Tuan Stern dan Nyonya Stern terlihat berbincang.

Menguping perbuatan jelek. Watson memutar langkah, belok ke mobil Deon. Tidak sampai dia mendengar topik pembicaraan mereka berdua.

"Aku tidak suka Papa dekat-dekat dengan Zenle," gerutu Cynthia. "Papa kan tahu aku tak nyaman.

"Astaga, Sayang, kamu berlebihan. Kami hanya teman. Jangan ngambek dong."

"Sudahlah." Cynthia memalingkan wajah. "Silakan makan malam di restoran!"

"Cynthia, tunggu!"

Geleng-geleng kepala Watson dibuatnya. Yah, namanya juga dunia pernikahan. Besok-besok Watson akan mengerti. Sekarang pikirkan dulu masalah Rokko...

Watson terkesiap. Benar juga! Romero Ronald bukan Romeo pertama yang tewas melainkan Rokko. Mungkin bujukan si pelaku tidak berhasil hingga dia khilaf dan akhirnya membunuh Romero. Teori yang masuk akal. Watson mengangguk-angguk sendiri.

Tetapi, bagaimana cara dia terbunuh? Watson menendang tong sampah, mendengus sebal. Dia belum mendapatkan titik terangnya. Menggali ingatan pun rasanya malesin.

Bruk! Tempat sampah yang Watson tendang jatuh. Semua sampahnya tumpah dan terserak.

Watson membungkuk, memasukkan kembali sampah-sampah tersebut ke tempatnya. Nanti kena denda.

"Eh." Sebuah tali pancing tersemat di sela-sela bungkus makanan. Watson mengernyit. "Senar spectra? Kenapa ada di sini? Ukurannya terlalu mini untuk memancing."

Kurasa Rokko menemukan tempat persembunyian pelaku dan melihat sesuatu yang tak boleh dilihat.

Watson bergegas menghampiri Hellen yang ngemil di mobil ibunya bersama Aiden dan Jeremy (kurang asem, Watson tidak diajak). "Stern! Aku ingin bertanya."

"Ada apa, Watson?"

"Apa Rokko mengatakan sesuatu sebelum dia meninggal? Seperti kalimat atau apalah."

"Entahlah, aku tak yakin."

"Cobalah ingat-ingat."

Hellen berkeringat. "Aku ingat Rokko mengatakan pelaku penculikan para romeo-romeo itu tak waras alias gila dan akan memburu banyak sipil bernama Romeo. Lalu dia terlihat ingin mengatakan nama seseorang namun tidak sempat."

"Sudah kuduga."

"Apanya yang kamu duga, Dan? Kamu dapat sesuatu, ya?!!" Aiden menarik Watson ke mobil, menutup pintu mobil. Waktunya diskusi.

"Ini dendam pribadi. Rokko meninggalkan pesan kematian."

"Dendam apanya?"

"Aku berani bertaruh, tidak pelak lagi, dia mengincarmu Stern. Dia tahu kamu tahu mengenai nama target 12 tahun lalu yang diungkap oleh Rokko. Pelaku spesifik mengejarmu."

Aiden menatap khawatir Hellen yang gugup. Diincar seorang pembunuh? Pengalaman baru setelah diculik penjahat pedofil.

"Jangan khawatir!" Jeremy menepuk bahu Hellen, menyengir. "Aku akan melindungimu. Takkan kubiarkan si sinting itu melukaimu."

"Jeremy..."

Plak! Watson mengeplak kepala Jeremy. "Khawatirkan dulu dirimu sana. Situasinya bisa bertambah runyam kalau kamu kenapa-napa. Aku tidak bisa bertarung."

"Nah, kalau soal itu Aiden akan melindungi kita." Alis Jeremy naik-turun.

"Kamu meminta perlindungan pada cewek? Ckckck." Aiden menghardik datar, seperkian detik mengetuk telapak tangan. "Tunggu deh, jangan bilang si penguntit monokrom itu kaki tangannya? Kejadiannya 12 tahun silam, kan?"

"Bisa jadi." Jeremy manggut-manggut.

Dari pada dikatakan musuh, Watson pikir Penguntit Monokrom sebenarnya pihak baik. Dia seperti mencoba melindungi Hellen—yah, walau caranya salah dan malah terkesan jahat. Kalau tidak mana mau dia membuntuti seseorang selama itu, mana ada selang hari lagi.

"Ngomong-ngomong Dan, apa kamu sudah tahu apa yang membunuh Romero Ronald?" Aiden bertanya.

"Hmm, sudah kok." Watson menjawab pendek, mencari kontak Violet.

"APA!" Aiden, Hellen, dan Jeremy sontak mendekat ke Watson. "Jadi kamu sudah tahu! Kenapa diam saja?"

"Karena aku ingin menahan deduksiku sampai semua data lengkap. Tsk, tidak ada sinyal." Watson membuka pintu mobil.

"Eh, tunggu dong!" Aiden dan Hellen mengekori. "Menahan apa sih, Dan? Kan tinggal ngomong doang. Jangan-jangan kamu Dan palsu!" Aiden menyingkap baju Watson. "Ah, tandanya ada."

"Jangan lakukan itu ke laki-laki yang lain."

"Ufu~" Hellen bersiul. "Apa nih, apa nih. Watson mulai cemburu?"

"Aku berkata untuk..." Deg! Watson tercenung, menoleh cepat ke belakang, ke arah mobil barusan. Jeremy masih baru menurunkan satu kaki. "BARI!"

Kejadian itu berlangsung cepat. Entah dari mana asalnya, sesuatu melesat dan menancap bagasi. Mobil pun meledak.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top