11
"Rokko... Rokko... SESEORANG! TOLONG KAMI! Siapa pun... Tolonglah Rokko... Selamatkan dia.. Rokko, kumohon bertahanlah..."
Rokko mencoba meraih kelingking Hellen yang mendekapnya dengan kuat. Dia tahu waktunya tidak banyak. Dia bahkan sudah tidak bisa bernapas dengan benar. Tidak ada waktu lagi.
"Berjanjilah padaku, El."
Tes, tes, tes! Hellen tak kuasa menahan air matanya. Dia tidak kuat menyaksikan ini. Kenapa Rokko? Kenapa harus dia?! Kenapa ini terjadi pada mereka?!
Cahaya rembulan menyinari dua sejoli yang bergelimang darah itu. Hellen berusaha menghentikan pendarahan Rokko yang terlihat pasrah. Luka tusuk yang dia terima terlalu dalam dan mengenai organ vital.
Tidak ada yang datang menolong mereka. Hanya suara teriakan dari jauh. Kenapa di saat seperti ini tidak ada yang mau membantu Hellen? Di mana semua orang...?
"Kamu ... mendengarku?"
"DIAMLAH! TUTUP MULUTMU! JANGAN BANYAK BICARA! AMBULANS AKAN SEGERA DATANG!" pekik Hellen putus asa. Tidak mau. Dia tidak mau kehilangan orang paling berharga dalam hidupnya.
Rokko tersenyum lemah. Pandangannya memburam. Pegangannya melemah. "Ini bukan salahmu, El. Sudah tugasku melindungi Juliet-ku. Jangan menyalahkan diri sendiri, oke?"
Hellen menggeleng kuat-kuat. Terisak.
"Dengarkan aku, El... Kamu harus melapor pada polisi... Dia gila. Dia akan memburu banyak Romeo di luar sana... Terutama..."
Hellen termangu ketika tangan Rokko di dekapannya jatuh luruh ke bawah kehilangan tenaga. Pernapasannya berhenti, tidak menarik oksigen lagi. Hening. Air matanya makin bercucuran.
Rokko sudah meninggal.
-
"Ada empat orang, Wat. Romeo Zaylon, 17 tahun, berhenti sekolah. Fenton Lambert Romeoa, 16 tahun, dikeluarkan dari sekolah. Romeo Don Kronar, 16 tahun, keluarganya tidak mampu membayar uang bulanan. Lalu ada Romeo Donoghan Evaine, 15 tahun, juga berhenti sekolah menjadi pengangguran. Mereka semua dari perkampungan kumuh. Anehnya sipil yang memiliki nama "Romeo" dari keluarga berada tidak disentuh. Sepertinya dia hanya mengincar Romeo yang miskin."
Sepandai-pandai tupai melompat, ia akan jatuh jua. Pepatah yang akurat. Sesuai dugaan Watson. Dengan begini dia dapat satu petunjuk. "Sudah lebih dari cukup. Terima kasih, Vi. Sangat membantu."
"Jangan lupa biayaku," celetuk Violet tiba-tiba.
"Kamu mau memeras temanmu sendiri?"
"Memangnya kita teman?"
Sebagai balasan Watson mendengus masam.
Violet terkekeh di seberang sana, merasa puas mengerjai Watson. "Aku hanya bercanda. Sudah, sudah, jangan ngambek. Mengisengimu adalah sebagian dari iman. See you then!"
"Tunggu! Aku masih mau minta tolong—tuut!" Watson berdecak kesal. Violet mematikan sambungan telepon. Ya sudahlah, dia cari sendiri saja.
"Watson!" Jeremy datang ke balkon. "Kamu harus melihat ini. Kutemukan di balik cermin," katanya menyodorkan proyektor mini.
"Hee..." Watson bergumam. Wajahnya datar. Jadi benda itukah yang menampilkan gambar sekaligus phising suara? Dari mana dia mendapatkan database suara Jam Horrori? Pasti meretas fail Akademi Alteia.
Watson menjatuhkan benda itu ke lantai, menginjaknya lima kali, memungutnya, kemudian membuangnya ke bawah, menepuk-nepuk kedua tangan. "Sudah beres."
Jeremy melongo. "Astaga, Watson! Kenapa kamu melemparnya begitu saja?! Apartemen kita dibobol. Pelaku menerormu dan Hellen! Bisa saja kita melacaknya lewat benda tadi!"
"Kenapa dengan Stern?"
"Dia juga mendengar cuplikan gambar dan suara-suara aneh. Itu artinya kalian berdua dalam bahaya, kan?!"
Sebentar. Kalau dipikirkan sekali lagi, maklum jika si pelaku mengawasi gerak-gerik Hellen karena dia mengira mungkin Rokko memberitahu rahasianya pada Hellen. Pertanyaannya, kenapa Watson juga dilibatkan?
Apa dia hendak menantang Watson untuk menangkapnya? Tidak, tidak. Watson hanya orang luar. Daripada dia, bukankah Jeremy atau Aiden kandidat terkuat? Watson mengepalkan tangan. Dia terlalu meremehkan si pelaku.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Dan?"
"Sejak kapan kamu muncul, heh?" Jeremy berusaha tidak terpekik kaget. Anak ini kadang membuat Watson ragu akan gendernya. Kali saja dia setengah cowok setengah cewek. Dark.
"Aku dari tadi di sini. Kalian tidak sadar."
"Kurasa..." Aiden, Hellen, dan Jeremy menoleh serempak ke Watson. "Si pelaku remaja seperti kita. Mungkin sekitar 16-17 tahun."
"Hah? Apa maksudmu?"
"Dia hanya memilih orang-orang miskin. Si pelaku memang kaya, namun dia tidak memiliki kedudukan di kota ini. Itulah mengapa dia cuman menangkap laki-laki bernama Romeo yang ada di bawahnya. Dia tidak bisa menculik putra senator. Artinya si pelaku, remaja labil yang bisa takut dan khilaf kapan saja. Tak heran dia super teliti dalam setiap aksi penculikan."
"Tidak mungkin..." Aiden menggeleng kaku.
Jangan termakan provokasinya, Watson. Belum tentu dia mengincarmu. Prioritas saat ini adalah para Romeo dan Stern. Sebagian diri Watson tak ingin lagi dijadikan sandera. Dia harus melakukan sesuatu. Watson harus memikirkannya dari awal. Dia memejamkan mata, menenggelamkan diri ke istana pikiran.
Tunggu, mungkinkah maksudnya kenalan Watson yang mempunyai nama Romeo? Tidak. Itu tidak mungkin. Tanpa memakai ingatan fotografisnya, Watson yakin sekali dia tidak punya kenalan berembel 'Romeo'.
Menurut cerita Hellen, Rokko menemukan tempat persembunyian pelaku. Apa dia melihat daftar orang yang akan diculik? Sebenarnya apa yang membuat Rokko terbunuh? Apa hubungan si pelaku dengan Penguntit Monokron?
Ada hal aneh juga dengan si penguntit itu. Hellen bilang Penguntit Monokrom muncul ketika Rokko tewas, dengan kata lain hadir 12 belas tahun lalu. Dalam waktu selama itu dia mengejar Hellen ke mana-mana? Tanpa niatan melukai? Tidak masuk akal. Dia pasti menginginkan sesuatu dari Hellen.
"Ng?"
Watson menatap padang luas puluhan kilometer di Timur. Di sana, yang tadinya lahan kosong melompong, mendadak berdiri sebuah bangunan. Memicingkan mata, Watson membaca spanduknya. "Toko Search? Lho, bukannya di sana tidak ada toko apa pun? Sepertinya aku sudah mengantuk."
Aiden menguap. "Dan, kamu mengantuk? Ayo tidur. Kita lanjutkan besok."
Hellen dan Jeremy setuju.
"Baiklah. Ini sudah malam. Kepalaku tidak mau diajak berpikir lagi," ucap Watson masuk ke dalam ruangan, mengunci pintu balkon.
Akan tetapi, jam dua malam, Watson justru kepikiran sampai-sampai membuatnya melek. Mana Aiden berulah.
"Aduh, Aiden... Lenganku bukan guling." Entahlah, kenapa bisa Aiden tiba di kasurnya. Gadis itu tidur berjalan? Parah sekali.
"Nyam nyam, ayam yang empuk."
Watson menutup mulutnya agar tidak menjerit. Astaga, Aiden, dia mimpi apaan? Lengan Watson pun dia gigit. Huhu, Mama... Watson menangis dalam hati.
Bohong Watson bilang dia tidak tertarik lawan jenis. Buktinya dia laki-laki normal. Sejak tadi peluhnya mengalir padahal AC menyala.
"Bad time. I hate you." Watson mengeluh. Tangannya mendorong kepala Aiden.
Tidak boleh begini. Watson mendesah panjang. "Ayolah, otak, tolong bekerjalah. Aku ingin menolong Stern. Apa kamu tidak kasihan pada mereka? Temannya meninggal secara tidak adil. Para polisi menganggap enteng kematiannya. Ayolah, tolong bantu aku."
Aku tahu kamu belum melupakannya. Jika kamu kesulitan, jadilah klien Klub Detektif Madoka.
Deg! Watson langsung bangun sehingga kepala Aiden jatuh. Dia melupakan satu orang yang juga memiliki peran atas kematian Rokko.
Erika Lanneiola.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top