⚘ :: sebelas, pelangi seusai hujan
(M/n) sudah bertemu dengan Gorou. Tetapi saat hanya dirinya saja yang datang, Gorou pun bertanya-tanya. Aether menghilang. Itulah yang dikatakan oleh (M/n). Sebab kenyatannya memang demikian. Setelah itu, Gorou pun memberikan perintah bagi para bawahannya untuk mencari keberadaan Aether.
Tidak perlu salah paham. (M/n) pun ikut mencari Aether. Namun ia tak menemukannya. Bahkan hingga hari sebentar lagi akan berubah menjadi larut malam. Keberadaan Aether entah masih di mana. Tidak mungkin juga si pirang itu pergi terlalu jauh.
Kini (M/n) hanya bisa menunggu. Barangkali Aether akan kembali dengan sendirinya. Karena di dalam hatinya yang paling dalam, ia juga merasa khawatir. Khawatir apabila Aether akan benar-benar mengakhiri hidupnya sendiri seperti temannya dulu.
Tujuan sebenarnya (M/n) menceritakan kisah temannya itu adalah agar Aether memikirkan akibat dari tindakannya itu. Memang, Aether memang memikirkannya. Tetapi, sebab tekadnya yang terlalu kuat, ia tetap kukuh pada pilihannya. Itulah letak kekhawatirannya.
"(M/n)..."
Suara itu sempat mengejutkan si pemilik nama. Ia pun menoleh ke sumber suara. Lalu, mendapati orang yang ia tunggu sejak tadi menampakkan dirinya.
"Aether! Apa yang terjadi padamu?!" (M/n) tidak lagi menyembunyikan rasa khawatirnya. Ia menunjukkan secara terang-terangan di kala tatapannya tertuju pada banyaknya luka goresan di tubuh Aether. Bahkan lelaki itu tak memakai alas kaki.
"Aku... aku sudah mencobanya lagi. Tetapi, aku gagal. Kali ini bukan karena siapa-siapa, aku tersangkut di pepohonan dan pada akhirnya aku tidak bisa terjatuh. Aku bingung, (M/n). Mengapa sesulit ini hanya untuk mengakhiri hidupku sendiri?" ujarnya pilu. Tatapannya itu menyiratkan rasa sakit yang mendalam.
Dengan hati-hati, (M/n) berusaha untuk menenangkan Aether. Ia merengkuh tubuh penuh luka itu ke dalam dekapannya. Tidak peduli dengan pakaiannya sendiri. Dalam dekapannya, tubuh Aether bergetar. Isak tangis perlahan mulai terdengar.
"Itu adalah pertanda singkat bahwa sekarang ataupun nanti bukanlah saat yang tepat untuk kematianmu. Semuanya akan indah pada waktunya. Termasuk kematianmu itu. Jika kau memilih untuk mengakhirinya sekarang, siapa yang akan berkabung untukmu? Yang ada hanyalah orang-orang akan mencibir dan mengolok-olok dirimu, Aether.
"Lukamu mungkin memang belum sembuh. Atau tak akan bisa sembuh. Tetapi, percayalah, aku ada di sini bersamamu. Kami ada di sini. Kau tidak pernah sendirian sejak awal," ucap (M/n) pelan di telinga lelaki itu. Ia berusaha menyampaikan kata-kata itu dengan singkat dan jelas agar bisa dimengerti oleh hati Aether.
Sementara Aether tetap diam. Ia tidak tahu jika semua yang dikatakan oleh (M/n) itu adalah isi pikirannya selama ini. Ia pikir (M/n) memang benar-benar menginginkan kematiannya. Ternyata ia salah. Dirinya memang salah sejak awal. Tidak ada tindakan bunuh diri yang bisa dibenarkan.
"Aku tidak menginginkan kau mati, Aether. Aku ingin kau hidup selama mungkin."
Hanya dua kalimat. Dua kalimat singkat di bawah sang bulan yang menjadi sumber tangis Aether. Seolah-olah semua bebannya itu benar-benar sudah terangkat. Pakaian yang dikenakan (M/n) dicengkeram erat olehnya. Ia juga tak peduli jika dirinya dianggap cengeng. Karena pada akhirnya, Aether bisa jujur terhadap dirinya sendiri.
***
"Rambutmu... Apa yang kau lakukan?"
Beberapa hari setelahnya, luka fisik yang Aether alami pun mulai sembuh. Sementara luka batinnya perlahan disembuhkan. Memang memerlukan waktu, tetapi pasti bisa jika mempercayai prosesnya.
"Ah, aku memotongnya," jawab Aether.
"Mengapa? Tiba-tiba sekali."
"Hanya menginginkan suasana yang baru saja," balasnya.
"Oh..."
Aether sontak menyentuh surainya yang kini sama pendeknya dengan milik (M/n). Ia merasa lebig segar daripada sebelumnya. Mungkin orang-orang akan terkejut dengan penampilan barunya itu. Tetapi, apa pedulinya? Ini adalah hidupnya. Ia bebas melakukan apapun.
"Kau ingin pergi ke mana?" tanya (M/n) di kala Aether memakai perlengkapannya. Termasuk wind glider-nya juga.
"Ke suatu tempat. Aku hendak berterima kasih pada seseorang. Kau mau ikut?"
***
Kota penuh kebebasan. Tanpa aturan yang terlalu ketat. Mungkin ini adalah kota yang paling tepat untuk Aether. Lelaki itu terlihat lebih bebas di sini. Angin yang berhembus pun menjadi tanda bahwa kebebasan benar-benar nyata.
Mondstadt adalah tempat di mana mereka berada saat ini. Angin merupakan lambang utama yang tepat untuk menggambarkan kota tersebut. Kata Aether, Mondstadt menjadi kota pertama yang ia datangi setelah menginjakkan kaki di Teyvat.
"Oh, Pengembara!"
Seorang gadis bersurai pendek menyambut kedatangan Aether. Lelaki itu pun mendekat dan menyapanya kembali. "Hai, Katheryne. Bagaimana kabarmu?" tanyanya.
"Baik seperti yang kau lihat. Sepertinya kau memotong rambutmu, ya?"
Aether menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Ya... hanya menginginkan suasana baru yang lebih segar," jelasnya singkat.
Katheryne mengangguk-angguk. "Ah, begitu. Lantas apa yang membawamu kembali ke Mondstadt?"
"Aku mencari sang Outrider. Di mana ia?"
"Oh? Jarang sekali. Ia baru saja kembali dari hutan. Kini mungkin ia sedang berada di Good Hunter," jawab Katheryne.
"Terima kasih, Katheryne. Semoga harimu menyenangkan!"
Setelah menanyakan keberadaan orang yang dicari, Aether pun berjalan menuju Good Hunter. Memang tidak jauh. Ia hanya perlu menaiki beberapa anak tangga. (M/n) mengikuti langkahnya dalam diam. Menyaksikan perubahan ekspresi Aether sedari tadi.
"Amber!"
Untuk sesaat, yang dipanggil tampak tidak menyadari Aether. Setelah tahu bahwa itu adalah Aether, Amber pun berlari ke arahnya.
"Pengembara! Ah, aku rindu padamu!" seru Amber bersemangat.
Aether hanya tertawa melalui hidungnya. "Ada yang ingin kukatakan padamu. Aku benar-benar berterima kasih atas bantuanmu dalam mencari keberadaan saudariku. Maaf juga karena aku mengabaikan kebaikanmu dulu," ujarnya disertai perasaan bersalah.
Amber hanya terkekeh. "Tidak apa-apa, Pengembara! Kau juga memotong rambutmu, ya? Kau jadi tampak berbeda!"
"Ya, aku memotongnya. Panggil saja aku dengan namaku, Amber. Kau pun mengetahuinya 'kan?" Amber memang tahu. Di kala pertemuan pertama mereka terjadi, di saat itulah Amber menanyakan nama asli Aether. Tetapi, ia tidak pernah menggunakan nama itu ketika memanggilnya.
"Baiklah, Aether!" Lirikan mata Amber baru saja menyadari keberadaan (M/n) di sana. "Siapa ia, Aether? Temanmu, 'kah?"
Aether mengangguk. "Ia temanku."
"Aku (M/n), salam kenal."
Setelah itu, Amber dan Aether kembali berbincang. Lebih tepatnya Amber yang lebih banyak bertanya ketimbang lelaki itu. Sementara, (M/n) sendiri hanya menjawab ketika ditanya.
"Ada seseorang yang ingin menemuimu, Aether."
"Siapa itu?"
Pertanyaan Aether dijawab oleh kemunculan seseorang? Atau peri? Entahlah, (M/n) tidak tahu. Tetapi, sepertinya mereka pernah dekat dan merupakan teman.
"Aether..."
"Paimon?" Aether sedikit terkejut. Untuk sesaat ia teringat dengan keberadaan Paimon yang sempat ia lupakan.
"Aether, maafkan Paimon! Paimon yang salah karena tidak berusaha memahamimu!" seru Paimon dengan perasaan bersalah.
Namun, di sisi lain, Aether tengah menahan tawanya. "Rupanya kau benar-benar menuruti perkataanku ya, Paimon? Saat aku menyuruhmu untuk tidak mengikutiku, kau pun melakukannya."
"Paimon tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sebab Aether tampak sangat marah saat itu..." Paimon memainkan tangannya. Ia terlihat gugup.
"Aku minta maaf karena itu, Paimon. Benar-benar minta maaf. Itu adalah kesalahanku," ujar Aether pelan. Rasa bersalah seketika terbesit di dalam benaknya. Terlebih ketika ia mengingat tindakan dulu terhadap Paimon.
Paimon berkata dengan nada riang, "Aku sudah memaafkanmu, Aether! Selalu!" Kemudian ia tertawa.
Keduanya pun sudah berbaikan kembali. Aether menyadari kesalahannya. Setelah itu, Paimon baru menyadari keberadaan (M/n) di sana. Tubuhnya yang tinggi menjulang sempat membuat Paimon merasa takut.
"Kau... siapa ya?" tanyanya ragu.
"Aku (M/n), (M/n) Kistley."
"Teman Aether?"
(M/n) mengangguk singkat. Seusai anggukan itu, Paimon justru melonjak girang. Merasa senang sebab Aether memiliki teman baru yang selalu ada untuknya. Dari mana Paimon tahu? Buktinya adalah saat ini. (M/n) mengikuti Aether menuju Mondstadt untuk menemui Amber. Bukankah itu sudah menjadi bukti yang jelas?
Kini Aether bertanya-tanya dalam benaknya; apakah ini adalah happy ending miliknya? Apapun itu jawabannya, Aether akan tetap berterima kasih. Mungkin kepada para Archon, atau kepada Dewa-dewa lain.
Sebab barangkali hari ini adalah hari terakhir ia melihat dunia.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top