⚘ :: empat, cahaya tidak lagi terlihat terang
Sudah berapa lama semenjak terakhir kali dirinya tersenyum?
Tak dapat dipastikan, namun hal itu sudah terjadi sangat lama. Bahkan hingga Aether sendiri pun melupakannya. Senyuman yang terakhir kali ia ingat hanyalah ketika ia masih bersama dengan Lumine. Di saat mereka belum menginjakkan kaki ke dunia Teyvat. Di mana semuanya masih terasa indah, terasa damai.
Aether tidak dapat menyembunyikan perasaan terkejutnya di kala ia mengetahui bahwa Lumine tidak berpihak di sisi yang sama dengan dirinya. Lelaki pirang itu terlampau tak mampu berkata-kata. Tatapannya di saat ia bersua kembali dengan Lumine hanyalah berupa tatapan kosong. Ia bahkan hanya mampu menyuarakan nama adik kembarnya itu saja. Sungguh ironis.
Kini, Aether hanyalah seseorang yang selalu dicari di kala orang lain membutuhkan pertolongannya. Jujur saja, ia merasa lelah. Apakah tidak ada orang lain yang bisa dimintai pertolongan selain dirinya? Ada begitu banyak manusia di dunia ini, lantas mengapa harus ia sendiri?
Netra hazel itu tertuju ke arah telapak tangannya yang dibalut dengan sarung tangan. Andai saja, andai saja kekuatan miliknya sudah berhasil pulih, maka dengan tanpa keraguan, Aether akan segera pergi dari sini. Ah, namun jika dipikirkan lagi, untuk apa ia mencari bagaimana cara agar ia bisa pergi dari dunia ini?
Sejak awal, tidak ada yang menginginkan keberadaannya di Teyvat. Semua orang menganggap dirinya sebagai pengembara asing dengan pakaian aneh yang selalu mau saja dimintai pertolongan apapun. Pada awalnya mereka akan merasa heran dan memberikan tatapan heran. Namun, setelah ditolong oleh Aether, dalam sekejap tatapan itu berubah seratus delapan puluh derajat.
Ia kesal, marah, dan ingin membanting barang apapun itu. Tetapi, semua emosi tersebut dibungkam oleh Aether sendiri. Ditutupi oleh sebuah topeng yang dibumbui dengan senyuman manis. Betapa licik dirinya itu.
"Ada apa dengan tanganmu?"
Mendengar suara yang belakangan ini selalu terdengar oleh indra pendengarannya membuat Aether menoleh ke sumber suara. (M/n) berdiri di sisinya dengan gaya santai. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.
Aether tidak sadar jika sejak tadi dirinya memandangi kedua tangannya terus-menerus seraya melamun. Ia membuang pandangannya ke arah lain. Sengaja tak ingin bertatapan dengan manik (e/c) milik (M/n) itu.
"Bukan urusanmu," sahut Aether acuh. Kala netranya bergilir ke sekitar, barulah dirinya sadar ia tidak lagi berada di Ritou. "Di mana kita sekarang?" tanyanya heran.
"Kita berada di Komore Teahouse."
Bukan (M/n) yang menjawab, melainkan Thoma. Pemuda bersurai merah itu pun menoleh, kemudian menebarkan senyumnya. Jika saja Aether seorang perempuan, dapat dipastikan dirinya akan jatuh cinta pada senyuman milik Thoma itu.
"Oh," balas Aether singkat. Toh ia memang tak peduli. Ia hanya mengikuti ke mana Thoma pergi.
Thoma mengajak mereka untuk masuk ke dalam. Semua ruangan dilewati, lalu mereka bertiga berhenti di ruangan paling besar. Di mana terdapat sebuah pembatas antara mereka dan seseorang di balik sana.
"Ah, terima kasih sudah datang ke sini."
Orang pemilik suara yang terdengar anggun itu pun keluar dari balik pembatas. Parasnya tampak ayu. Pakaian yang ia kenakan tampak terbuat dari bahan yang pastinya tidaklah murah.
"Selamat siang, Ayaka-sama. Biarkan aku memperkenalkan mereka." Thoma menoleh pada Aether lalu (M/n). "Ini Aether, merupakan seorang pengembara. Di sebelahnya adalah (M/n) Kistley, rekannya Aether?" Pada akhir kalimat, Thoma bersuara dengan nada bertanya. Ah, ia baru ingat jika dirinya tidak mengetahui apa hubungan di antara (M/n) dan Aether. Karena dilihat melalui sudut manapun, keduanya tidak tampak seperti kawan maupun musuh.
"Aku temannya Aether. Salam kenal." Secara spontan, (M/n) pun memperjelasnya. Sekaligus menghapus raut kebingungan pada wajah sang tuan putri Kamisato.
"Salam kenal Aether, (M/n)," balas Ayaka sambil tersenyum. "Duduklah. Aku akan menjelaskan semuanya pada kalian."
Sesuai titah dari Ayaka, mereka bertiga pun duduk secara seiza. Setelahnya, barulah gadis itu mulai menjelaskan. Ia berkata tentang Vision Hunt Decree. Merupakan sebuah titah yang tertulis dan baru saja dilaksanakan oleh Raiden Shogun. Titah itu berupa pengambilan Vision milik para penduduk Inazuma. Mereka yang Vision-nya telah diambil, mulai kehilangan semangat hidup dan ambisi mereka. Seperti udara yang kehilangan oksigennya.
Selama penjelasan, Aether hanya memilih untuk diam saja. Ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berakhir. Tidak peduli sejelas apapun kata-kata yang diucapkan oleh Ayaka, Aether tetap tak merespon apa-apa.
Lain dengan Aether, lain pula dengan (M/n). Ia menyimak penjelasan Ayaka dengan saksama, meskipun tidak sepenuhnya seratus persen. Tetapi, setidaknya (M/n) sudah memegang inti dari ucapan gadis itu.
Bibir yang sebelumnya berucap itu, kini telah menutup rapat. Membuat para pendengar kembali memasang ekspresi normal mereka. Pikiran dilingkupi dengan banyak hal campur aduk yang tidak dapat diekspresikan. Antara perasaan dan logika.
Namun, Aether tetap pada sikap semulanya. Ia diam, tak berkata apapun. Membuat Ayaka melirik diam-diam ke arah Thoma. Meminta isyarat mengenai penjelasan atas tingkah laku Aether. Seolah mengirim telepati yang hanya dimengerti oleh kedua insan tersebut.
Ketidaktahuan Thoma pun sama seperti Ayaka. Lelaki itu meringis pelan. Sebagai bentuk rasa tidak enak hati akibat tidak dapat membantu majikannya. Namun, sang majikan juga memakluminya.
Dengan demikian, Ayaka mengambil inisiatif. Ia duduk dengan tegap. Tatapannya ditujukan untuk kedua insan di hadapannya itu. Mengantarkan rasa keseriusan yang sama.
Sekaligus, mengucapkan sebuah kalimat yang selalu menjadi akhir dari setiap dialog yang pernah Aether alami. Ia memang sudah tahu. Tetapi, takdir selalu bersikap kejam kepadanya. Seperti malam yang tidak pernah berakhir.
"Jadi, apakah kalian bersedia untuk membantu kami?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top