Day 4
Hal pertama yang kulihat setelah membuka mata adalah ... tupai.
Ya, tupai! Makhluk kecil yang suka makan kacang, atau begitulah hal spesifik dari hewan bernama tupai. Yang jelas dia bukan Sandy Cheeks* dari kartun terkenal itu.
*Sandy Cheeks (Spongebob Squarepants)
Hidung kecil itu terlihat bergerak-gerak, seakan mengendus-endus aroma dari tubuhku. Apakah aku sebau itu?
"Shiro!"
Aku terkejut, si tupai pun ikut terkejut. Segera si tupai lari dan bersembunyi di kepalaku. Tidak, lebih tepatnya di antara helai rambutku. Wew, aku pikir dia akan kabur ke habitatnya.
Kepalaku menoleh, menemukan sosok Blaze yang berlari ke arahku. Aku segera bangkit ke posisi duduk dengan wajah bertanya-tanya, ada apa gerangan yang membuatnya terlihat panik?
"Shi― hah ―ro ...."
"Ambil nafas dulu, baru ngomong."
Blaze melakukan apa yang kukatakan. Setelah beberapa kali mengembuskan napas, wajah paniknya kembali muncul.
"Gawat! Lagi! Ini terjadi lagi!" serunya tidak jelas seraya menarik tanganku untuk ikut pergi bersamanya.
Tanda tanya besar muncul di benakku.
===
Sial. Seharusnya aku menolak tarikan tangan Blaze!
Di sana ... tampak sosok perempuan yang kukenal. Dadanya tertusuk pasak kayu yang sepertinya buatan tangan. Matanya terbelalak dan terlihat bekas air mata di wajahnya yang penuh lebam. Serta yang paling menjijikkan ... bagian organ tubuhnya tercerai-berai di luar lubang perutnya.
Kak Lily....
Sekali lagi, aku mengeluarkan isi perutku. Tapi, karena aku belum makan apapun yang keluar hanyalah asam lambung. Leherku terasa perih karenanya. Blaze membantuku dengan memijat tengkuk leher, membuatku merasa sedikit lega walau sesaat.
"Maaf."
Aku melirik tajam padanya, tapi ... oh sudahlah. Lupakan saja. Aku tidak punya tenaga untuk memarahinya sekarang.
Ugh, aku begitu lemah dalam hal ini. Sungguh, apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini?
Blaze kembali membawaku ke tempat semula, di mana aku terbangun.
Oh, ini mengingatkanku sesuatu. Bukankah terakhir kali aku bersama Senior Naoya terjebak di dalam gua?
Saat itu sore hari, dan sekarang (sepertinya) tengah hari. Apa aku tertidur selama satu hari? Apa yang terjadi selama itu?
"Blaze, kemarin―"
"Oh, benar. Kemarin ya? Tanyakan saja ke Senior Naoya dan Senior Rayhan."
Apa ini hanya perasaanku saja? Blaze terlihat menjauhiku. Ada nada tak suka dalam kata-katanya tadi. Kenapa dia seperti ini?
"Blaze? Kamu nggak papa?"
"Huh? Oh ya, aku oke kok."
Blaze ... asal kau tahu, wajahmu yang terlihat sebal itu terlukis dengan jelas, lho.
"Sudah ya? Ada makanan di pantai, minta saja ke Bu Renata. Aku ada urusan."
Dengan begitu, Blaze pergi meninggalkanku sendirian tanpa penjelasan yang pasti. Ya sudahlah, aku akan bertanya pada kedua senior yang satu tim denganku kemarin.
Saat aku akan menuju Bu Renata, kurasakan rambutku bergerak-gerak. Bukan, seakan sesuatu sedang bergerak di sana. Tidak mungkin aku punya kutu, 'kan? Apa selama aku tinggal di sini, kutu mulai menyerang kepala manusia?
Ketika memikirkan hal itu, seekor tupai hinggap di bahuku. Itu tupai yang kulihat tadi. Ah, benar juga. Bukankah tupai ini di rambutku sebelumnya? Syukurlah bukan kutu.
"Hei, sedang apa kamu di sini?" tanyaku pada makhluk kecil itu. Memang terdengar konyol berbicara dengan hewan, tapi secara reflek kata-kata itu meluncur dari mulutku.
[Shy.]
Aku mengerjapkan mata, kemudian memandang sekeliling. Tidak ada siapapun selain aku di sini. Jadi, siapa yang berbicara?
[Namaku Shy.]
Pandanganku jatuh pada si tupai. Mata hitamnya yang kecil memandangku dengan sendu, membuatku heran karenanya.
"Itu ... kamu?"
[Ya.]
Oh, kau pasti bercanda!
Tupai yang bisa berbicara? Seandainya ini bukan tempat asing, sudah pasti hewan ini akan berada di ruang penelitian!!
===
Di tempat makan, aku tidak menemukan Bu Renata. Hanya ada Senior Reizh di sana, sedang sibuk dengan makanan manisnya.
"Senior...."
"Oh, Shiro. Bergabunglah."
Aku duduk di hadapannya dengan tangan mengambil makanan. Beberapa kupotong kecil untuk diberikan pada tupai bernama Shy itu.
Senior Reizh memerhatikan sejak tadi. Ini membuatku gugup karena matanya yang menatapku dengan tajam. Apa ada yang salah denganku?
"Tupai?"
Aku memiringkan kepala mendengar pertanyaannya. Kemudian melirik ke bahu di mana Shy sedang menikmati makanan yang kuberikan.
"Ya, saya menemukannya," ucapku setengah berbohong. Aku memang menemukannya ketika membuka mata, tapi tupai ini telah berada di dekatku sejak aku tertidur ... mungkin.
Senior masih menatapku―ralat, menatap Shy dengan tajam. Entah mengapa, ada aura tidak menyenangkan keluar dari tubuh Senior Reizh walau hanya sementara.
Senior Reizh datang mendekat, kemudian mengulurkan tangannya pada Shy. Tupai itu tanpa ragu berjalan (atau melompat?) menuju tangan Senior.
Entah mengapa aku punya firasat buruk.
"Aku akan mengambil tupai ini."
Tatapan penuh berbinar dan air liur... Senior, tolong jangan makan tupai itu. Dagingnya tidak enak dimakan.
===
Setelah makan, aku pergi berkeliling untuk mencari Senior Naoya dan Senior Rayhan. Tetapi, setelah lama berkeliling aku tidak kunjung menemukan keduanya. Yang lainnya pun tidak melihat kedua senior itu. Di mana mereka sebenarnya?
Aku terus memasuki hutan, entah sudah berapa jauh aku pergi. Dilihat dari sudut matahari, waktu hampir sore hari. Sepertinya aku harus segera kembali.
Em... Aku melewati arah yang benar, 'kan?
Ugh, disaat seperti ini aku malah melupakan jalan pulangnya.
Pasrah saja. Ikuti naluri.
Ketika aku memikirkannya, mataku melihat sesuatu tak jauh dari tempatku. Rasa penasaran memang bisa membunuhmu, tapi aku merasakan firasat aneh tentang hal ini. Karena itu, aku memutuskan untuk mengikuti firasatku.
Itu ... sebuah rumah? Atau mansion? Yang jelas, gaya bangunan ini seperti era Victoria di zaman dulu. Walaupun sekarang terlihat banyak kerusakan di berbagai tempat, namun masih layak untuk ditinggali.
Aku berjalan menuju pintu depan, kemudian membukanya. Tapi terkunci. Tidak, lebih tepatnya sesuatu menghalangi dari dalam membuatnya tak bisa terbuka. Aku merasa curiga terhadap rumah ini.
Mendadak mulutku dibekap dari belakang. Sebuah tangan melingkar memeluk tubuhku, kemudian menariknya menjauh dari rumah kuno itu. Tentu aku berontak, tapi aku tidak bisa lolos dari tangan orang yang menahanku ini.
Jangan-jangan ... giliranku sekarang?
Segera kugigit tangan yang menutup mulutku, menimbulkan teriakan kesakitan dari sang pelaku.
Eh? Suara ini....
Aku menoleh ke belakang, mendapati Senior Naoya di sana sedang mengelus tangannya yang kugigit tadi.
"Se-Senior?!"
"Uuh... Sakit banget. Kamu harimau apa singa sih?"
"Mau saya gigit lagi?"
Melihat tingkah Senior entah mengapa membuatku ingin tertawa. Tapi, tawa hari ini harus kutahan terlebih dahulu.
"Senior, apa yang Senior lakukan di sini?"
Senior melirikku sejenak sebelum kembali pada tangannya. "Aku juga akan bertanya hal yang sama padamu. Apa yang kamu lakukan di sini?"
Ini dia ... menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Menyebalkan sekali rasanya.
"Saya ... mencari Senior dan tidak sengaja menemukan tempat ini," jawabku sekenanya sesuai yang terjadi.
"Kalau aku tersesat."
Sudah aku duga. Tipikal Senior Naoya.
"Lalu, kenapa main bekap kayak tadi? Mau jadi pedofil?" Aku menatapnya dengan pandangan jijik yang dibuat-buat.
"Idih! Siapa juga yang mau? Mending jadi lolicon aja."
Bukannya sama saja?!
Ah, Senior ... seandainya bukan karena sifatmu yang satu ini, mungkin aku sudah jatuh cinta padamu. Eh? Apa yang barusan kupikirkan?! Lupakan! Lupakan!
"Ayo kembali, Shiro. Sudah sore."
Aku hanya bisa mengangguk menerima ajakannya. Kami berjalan beriringan menuju tempat berkumpul.
Kulirik orang di sebelahku. Ingatan tentang kemarin terbesit di benakku.
"Senior, kemarin itu...."
Aku sengaja menghentikan kalimat terakhir. Karena aku yakin Senior pasti mengerti maksudku.
"Ah, ya. Kemarin ya? Kenapa? Malu karena menangis?"
Mendadak kurasakan panas di wajahku. "Bu-bukan itu! Maksudku, bagaimana bisa kita lolos dari gua?"
"Oh, itu." Senior terdiam untuk waktu yang lama. Aku masih menanti jawabannya, namun Senior tidak kunjung menjawab.
Kulihat cahaya matahari mulai meredup. Kami masih berjalan di hutan yang entah di mana jalan keluarnya. Sampai akhirnya aku menyadari sesuatu.
"Em ... Senior. Kita tidak tersesat, 'kan?"
Mendengar tawa renyah dari Senior membuatku menepuk dahi.
Kami berdua sama-sama buta arah.
===
Pada akhirnya, kami sampai di tempat tujuan saat malam telah larut. Melelahkan sekali. Aku ingin segera berbaring dan masuk ke dunia mimpi.
Tapi, melihat mata semua orang yang tengah berduka membuatku mengurungkan niat.
Kejadian yang sama terjadi lagi. Fakta bahwa salah satu dari kami telah tewas ... tentu ini membuat suasana semakin tertekan. Dan korbannya kali ini adalah ... Kak Reza.
"Sialan! Siapa sebenarnya yang melakukan ini?!" Daniel akhirnya bersuara. Namun nada suaranya naik dua oktaf. Pertanyaan itu entah ditujukan untuk siapa, tidak ada satupun yang menjawab.
"Nara, bukan kamu 'kan?"
"Eh? Tentu bukan aku, Daniel sayang."
"Lalu siapa?! Apa kamu?!"
"Hoi, jangan nuduh sembarangan! Bisa saja kamu sendiri!"
"Aku? Hahahah!! Jangan bercanda!!"
"Terus siapa? Orang lain?! Tidak ada siapapun di sini selain kita!"
"Yang jelas bukan aku!"
Suara ribut para laki-laki membuatku hanya bisa bungkam. Toh, aku juga bukan pembunuh. Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa ini menimpa kami?
"DIAM!"
Untuk pertama kalinya, aku mendengar suara Senior Reizh yang keras. Dia terlihat sangat menyeramkan saat ini. Matanya seakan mampu membunuh siapapun yang berani berbuat suara.
"Tenanglah kalian! Kita tidak akan bisa berpikir kalau seperti ini."
Suasana hening menyelimuti kami. Kurasa ... Senior Reizh memang pantas menyandang gelar sebagai Ketua Best Ten.
"Pertama, aku ingin mendengar laporan dari kelompok perakit...."
===
Pagi ini, langit terlihat mendung.
Seperti halnya suasana 'mendung' yang terjadi di antara mereka berdua.
"Aku tidak tahan lagi, Kak!"
"Tenang, Zai. Kamu nggak pa―"
"Aku mau pulang!"
Kakak beradik itu sedang bertengkar saat ini. Zaviel, adik perempuan dari Xavier pun melarikan diri memasuki hutan. Xavier pun segera mengejarnya. Kami hanya bisa terdiam melihat semuanya.
Setidaknya, Kak Akira dan Kak Grans menyusul keduanya. Itu sedikit mengurangi rasa khawatir kami. Tentu saja, mungkin salah satu dari mereka akan― Ah, lupakan.
Tetapi, ketika sore hari tiba mereka bertiga kembali. Ya, hanya bertiga: Kak Akira, Kak Grans, dan Xavier dengan mata bengkak bekas air mata.
Tanpa perlu dijelaskan, kami sudah tahu apa yang terjadi.
Zaviel adalah korban selanjutnya.
===
Malam ini begitu dingin. Aku hanya bisa menghangatkan diri dengan selimut yang kubawa dari rumah. Tetapi, tetap saja aku tidak bisa tidur nyenyak.
Aku memang suka dingin, namun bukan dingin yang seperti ini.
Dalam gelapnya malam, aku melihat seseorang. Itu ... Senior Sakka? Mau pergi ke mana dia? Oh, mari berpikir positif. Mungkin mau buang air, entah yang besar atau yang kecil. Setelah berpikir begitu, aku memilih untuk tidak menghiraukannya dan berusaha untuk tidur.
Tapi, keesokan harinya aku mendengar hal yang membuat jantungku hampir keluar dari tempatnya.
Senior Sakka ... korban selanjutnya.
Dan pelakunya adalah―
"Aku yakin sekali! Walau gelap, aku yakin dia mengikuti Sakka waktu itu!" Bu Renata mengatakannya dengan wajah serius, namun perkataannya memang sulit sekali untuk dipercaya.
"Bu, tolong jangan bercanda!"
"Aku tidak bercanda!"
Semua mata tertuju pada satu orang.
Dan orang itu adalah ... aku.
===
Tidak ada bukti walau ada saksi mata. Tetapi, demi kenyamanan bersama Senior Reizh memintaku untuk menjauh dari kelompok dahulu.
Jujur, rasanya sakit ketika diperlakukan seperti ini. Di sisi lain, aku mengerti perasaan mereka dan menerimanya dengan lapang dada. Satu hal yang kutahu, bukan aku pelakunya. Itu sudah pasti.
Setidaknya, mengetahui bahwa Blaze masih percaya padaku ... itu sudah cukup. Walau pada akhirnya ia tidak bisa membelaku.
Dengan begitu, di sinilah aku berada. Sendirian, hanya bersama tumbuhan dan angin. Aku memang suka tempat sunyi, namun bukan berarti aku suka sendirian.
Tiba-tiba, tangan yang menyodorkan buah muncul di depan wajahku. Kutatap Senior Naoya yang menyunggingkan senyum tipis.
"Kamu belum makan, 'kan?"
Aku hanya mengangguk dan menerima buah itu. Ketika ingin menggigitnya, aku teringat sesuatu.
"Nggak ada racun?"
"Hahaha, kenapa aku melakukannya?"
Kulirik tajam orang yang kini duduk di hadapanku sedang menikmati buahnya sendiri. Yah, baiklah kalau begitu. Selamat makan....
"Senior percaya padaku?"
"Hm?" Senior menatapku sejenak. "Percaya apa?"
Aku memutar bola mata. "Lupakan saja."
Setelah buah yang kumakan habis, Senior segera menarik tanganku untuk berdiri. Kemudian ia menuntunku ke suatu tempat.
"Bantu aku."
"Eh?"
Dan entah bagaimana caranya, kami tiba di tempat kemarin. Rumah kuno bergaya Victoria itu masih berdiri dengan megah di sana.
"Kenapa ke sini?"
Padahal, rencana awal aku akan ke sini sendirian dan mencari jalan masuknya.
"Yah, kita cari jalan masuk."
Sepertinya aku dan Senior satu pikiran. Karena itu, aku tidak menolaknya. Kami bersama-sama mencari jalan masuk selain pintu dan jendela yang tertutup rapat.
"Apa tidak masalah Senior di sini bersamaku?"
"Kenapa tidak? Toh, Reizh mengizinkan."
Aku tidak terlalu terkejut mendengarnya. Tetapi, tetap saja aku penasaran hubungan antara mereka berdua.
"Apa Senior teman dekat Senior Reizh?"
Tangan Senior Naoya yang sedang menelusuri celah-celah papan kayu terhenti. Apa aku menanyakan hal yang sensitif?
"Em, mungkin lebih tepatnya kami teman sejak kecil."
"Eh? Benarkah?"
Aku tidak menduganya. Maksudku, mereka terlihat tidak terlalu akrab. Jadi, kupikir hanya sekedar teman dekat.
"Tapi, karena 'sesuatu' membuat kami harus menjaga jarak."
Sepertinya itu topik yang tidak harus dibicarakan. Aku tidak suka mengganggu privasi orang lain, karena itu mari berhenti sampai di sini.
Waktu berlalu cepat, tanpa sadar sore hari telah tiba. Namun, nihil yang kami dapatkan.
Pada akhirnya, kami memutuskan untuk kembali dengan tangan kosong.
Di tempat berkumpul, satu berita yang sudah cukup 'biasa' namun 'tidak normal' terjadi lagi.
Bu Renata ... menghilang.
Kami berkeliling mencarinya. Dan hal yang sudah diduga-duga sejak awal-lah yang kami temukan.
Di sana, berbaring Bu Renata dengan mulut terjahit. Satu hal yang pasti, beliau telah meninggal.
===
Kecurigaan padaku belum sepenuhnya hilang. Aku sudah menjelaskan situasiku saat pembunuhan terjafi, walau tidak aku ceritakan penemuan rumah kuno atas permintaan Senior Naoya. Tetap saja, aku dianggap tidak punya alibi.
Yah, Senior Naoya juga tidak bisa membantu karena menyembunyikan keberadaan rumah kuno. Mau bagaimana lagi?
Daripada menyuruhku menjauh, mereka membuatku berada dalam jangkauan pengawasan. Karena itu, aku tidak bisa membantu Senior Naoya untuk mencari jalan masuk ke dalam rumah kuno itu.
Yang mengawasiku hari ini adalah Kak Grans dan Senior Reizh. Kak Grans tidak bisa diajak bicara, karena itu aku memilih untuk mengobrol dengan Senior Reizh walau topiknya tentang makanan.
Sebenarnya aku ingin menanyakan kabar Shy si tupai, tapi sepertinya Senior Reizh tidak akan menjawabnya.
Yah, berawal dari makanan, kemudian lari ke obrolan lain.
"Jadi, adikmu bisa memasak?"
"Yah, bukan adik sih. Kami hanya berbeda tiga bulan. Walau laki-laki, Arzha yang paling jago masak ketimbang saya dan Arvha."
"Oh, benar juga. Mereka kembar ya?"
"Begitulah."
Pada akhirnya, aku menceritakan tentang kedua saudaraku, si kembar Arzha dan Arvha. Bagaimana kabar mereka? Yah, aku tak perlu khawatir mengingat ada Arzha yang paling bisa diandalkan dalam mengurus rumah.
Aku hanya berharap mereka baik-baik saja.
"Reizh!" Suara Senior Naoya memecah kesunyian yang melanda sesaat. Serempak kami bertiga―termasuk Kak Grans―menoleh menatapnya. Padahal yang dipanggil Senior Reizh, kebiasaan manusia memang seperti ini ya?
Eh?
Mengapa wajah Senior Naoya terlihat ... aneh? Entahlah, sulit kuungkapkan.
"Xavier...."
Tidak perlu penjelasan lebih lanjut, kau pasti sudah tahu.
Ketika kami tiba di lokasi― Lihat semua tatapan itu. Mereka menatap tajam padaku. Sepertinya aku adalah musuh dari mereka semua ... yah tidak semua, sih.
Seandainya tatapan bisa membunuh, aku pasti sudah mati di tempat. Bukan berarti aku berharap mati, hanya saja mereka terlihat seperti para herbivora yang berusaha melindungi diri dari karnivora.
Aku-lah karnivora itu.
Oh ya ampun. Tragedi ini berlangsung sangat cepat, hingga tak terasa telah tersisa setengah orang yang masih hidup.
Kak Akira, Kak Grans, Senior Reizh, Senior Rayhan, Senior Nara, Daniel, Blaze, Senior Naoya, dan aku.
Siapa selanjutnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top