Day 3
Aku menatap nanar pada sosok yang tak bisa kusebut sebagai mayat lagi.
Tubuhnya telanjang tanpa sehelai kain, namun tentu saja aku tidak tertarik pada wujud yang menggoda iman kaum adam itu. Bahkan aku yakin tidak ada seorangpun dari kami yang tertarik saat ini.
Fokus perhatian pada luka cakaran yang berada di sekujur tubuhnya. Akan baik jika dianggap tewas karena hewan buas seandainya kami tidak mengingat bagian yang paling penting itu.
Kepala yang terpisah dari tubuhnya.
Melihatnya saja membuatku kembali muntah.
Ugh, makan malam dan sarapanku kembali keluar. Perutku benar-benar kosong sekarang. Aku harap tidak masuk angin nanti.
Sosok Kak Matilda telah ditutupi dengan daun pelepah pisang yang entah didapat dari mana. Setidaknya itu lebih baik daripada tubuhnya dibiarkan begitu saja tanpa ditutupi area kewanitaannya.
Masalah penguburan diserahkan pada laki-laki yang lebih tua. Kak Lily yang menangis masih berusaha ditenangkan oleh Bu Renata dan Kak Reza. Aku sendiri hanya duduk beristirahat di bawah pohon dengan minyak aroma terapi di tanganku.
Kulipat kaki ke dada dan membenamkan kepalaku yang pusing. Sungguh, ini sangat membingungkan!
Pertama adalah Senior Magenta.
Kedua adalah Kak Matilda.
Lalu selanjutnya siapa? Aku?
Oh Shiro, mengapa kau begitu negative thinking?
Seandainya ada Kudo Shinichi* di sini, semua pasti jauh lebih baik. Ah, gunakan saja Edogawa Ranpo** supaya jauh lebih cepat.
*Kudo Shinichi (Detective Conan)
**Edogawa Ranpo (Bungo Stray Dogs)
Tunggu, kenapa aku menyebut nama karakter anime yang dikoleksi Blaze?
Uuh... Aku ingin pulang. Apa kabar kedua saudaraku di rumah? Apa mereka makan dengan teratur? Apa mereka menggunakan laptopku tanpa izin lagi? Apa mereka menghancurkan PSP4 yang baru saja kubeli bulan lalu?
Kalau aku mati di sini, aku harap wasiatku tersampaikan pada mereka.
"Hoi, jangan pasang wajah murung gitu!"
Aku menengadahkan kepala, mendapati Blaze berdiri di hadapanku dengan senyum cerianya.
"Ayolah, tersenyum! Senyum! Senyum!"
Tangannya bergerak menyentuh kedua pipiku, kemudian menariknya ke samping sehingga membuat bibirku merekah mengikuti daya tariknya; menciptakan sebuah senyuman lucu. Masalahnya, tarikannya terlalu kuat!
"Sakit woi!"
Segera kutepis tangannya, kemudian mengelus kedua pipiku yang kupastikan telah memerah. Kutatap sengit orang menyebalkan yang telah menyebabkan rasa sakit ini.
Eh, malah dia ketawa! Apa yang lucu, hah?!
Tapi, melihat dia yang bisa tertawa itu membuat dadaku menghangat. Aku tahu, Blaze sengaja melakukannya untuk menghiburku. Aku tersenyum kecil melihat tindakannya yang tidak pernah berubah itu.
"Terima kasih."
Blaze membalas senyumanku.
"Tidak masalah!"
Ah, Blaze. Seandainya kau tahu, senyuman dan tawamu itu terlihat palsu di mataku.
===
Tidak ditemukan apapun pada Kak Matilda seperti yang kami temukan pada Senior Magenta. Kami menguburkannya di lokasi yang sama dengan kuburan Senior Magenta. Kemudian kembali berkumpul di pantai.
Kami duduk mengelilingi api unggun. Tidak, lebih tepatnya arang bekas pembakaran api unggun semalam.
Sunyi yang mengalahkan kuburan kembali melanda. Tidak terhitung dengan suara sesenggukan dari Kak Lily yang masih menangisi kepergian Kak Matilda. Bu Renata masih tegar untuk menenangkan Kak Lily. Kak Reza hanya duduk termenung entah memikirkan apa.
Sepertinya mereka berdua adalah teman dekat Kak Matilda.
"Bagaimana?" Senior Reizh bertanya. Aku tidak mengerti maksudnya. Lagipula, pertanyaan itu tidak ditujukan untukku.
"Sangat jelas bukan?" Kak Akira menjawab dengan nada pertanyaan. Aku pernah membaca hal ini di novel, "jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan" seperti itu.
Ditambah lagi, aku tidak mengerti alur pembicaraan ini.
Senior Reizh mengacak surai rambutnya. "Sepertinya sudah diputuskan. Akan ada dua kelompok untuk ini. Kelompok pertama adalah kelompok penelusuran. Tugasnya adalah menelusuri hutan untuk menemukan tempat yang pernah disinggahi Magenta dalam diary-nya."
Walau sesaat, Senior Reizh menatapku. Mungkin karena aku memegang buku diary Senior Magenta.
"Kelompok kedua adalah kelompok perakit. Tugasnya adalah membuat rakit dari gelondongan kayu. Ini ditujukan untuk laki-laki," lanjut Senior seraya menghela napas.
"Lebih cepat lebih baik. Akan kubagi kelompoknya sekarang."
===
Aku masuk dalam kelompok penelusuran. Dengan kata lain, aku harus berjalan jauh memasuki hutan yang entah berapa luasnya. Yah, kupikir ini lebih baik daripada bekerja membuat rakit.
Tidak, aku lebih berharap tidak masuk kelompok manapun.
Jadi, sekarang adalah menelusuri hutan untuk menemukan tempat yang pernah disinggahi Senior Magenta.
Sungai, gua, dan rumah. Hanya itu, menurut apa yang tertulis di diary.
Sekarang, kelompok penelusuran dibagi lagi menjadi beberapa kelompok kecil. Aku bersama Senior Rayhan dan Senior Naoya (lagi).
Aku penasaran, ada ikatan apa di antara aku dengan Senior sehingga kami berdua berakhir dalam satu kelompok?
Yang paling membanggakan adalah kami memiliki alat komunikasi dua arah saat ini. Walkie-talkie dengan jumlah yang banyak ditemukan di koper milik Senior Magenta. Aku tak menyangka Senior memiliki benda seperti ini.
Lagipula, mengapa Senior membawa benda seperti ini ke liburan musim panas? Ah, jangan seperti itu. Seharusnya aku bersyukur karena dengan ini semua akan lebih mudah. Siapa yang menyangka, liburan yang seharusnya menyenangkan menjadi liburan yang menyeramkan.
Ini menurut pendapat pribadiku.
Seperti biasanya, banyak percakapan yang 'normal' terjadi di kelompokku.
Senior Naoya yang sejak tadi berbicara tentang bunuh diri menambah hiburan tersendiri bagiku. Senior Rayhan tidak banyak bicara, namun masih menebar pesona dengan senyumannya.
Aku yakin seratus persen murid-murid Akademi akan iri melihat diriku di antara keduanya.
Dan kemudian sistem bully akan terjadi pada diriku.
Aih, apa yang kupikirkan ini? Kenapa akhir-akhir ini otakku sering memikirkan hal aneh?
"Hei, aku melihat sesuatu di sana."
Mendengar arahan Senior Rayhan, kami serentak menoleh ke arah yang ditunjuk. Memang ada sesuatu di sana, berwarna coklat, berukuran besar dengan banyak duri tajam di punggungnya, dan bergerak-gerak.
Sudah jelas itu makhluk hidup.
Seakan tahu bahwa makhluk itu ditatap, sosoknya menunjukkan wujudnya. Itu seekor beruang dengan duri di punggungnya. Kupikir itu duri landak berukuran raksasa.
Hm? Kenapa rasanya tidak asing, ya?
Beruang... Atau landak? Entahlah, pokoknya makhluk itu tiba-tiba menggeram layaknya anjing pada kami bertiga. Sedetik kemudian, dia melompat dan berlari menuju ke arah kami.
Untuk sesaat pikiranku melayang entah ke mana.
"Lari!"
Teriakan dari Senior Rayhan membuatku kembali sadar. Dengan segera aku berbalik dan berlari menyusul kedua senior yang telah mendahului. Menyadari keterlambatanku, Senior Naoya menggapai tanganku dan menariknya untuk lebih dekat.
Semuanya berlangsung begitu cepat. Tanpa kusadari, aku berada dalam pelukan Senior. Atau harus kusebut gendongan ala puteri?
Apa namanya? Bridal style?
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Mendadak semuanya gelap.
===
Saat kubuka mataku, hal pertama yang kulihat adalah hitam.
Tidak, ini kegelapan. Kupikir aku berada dalam suatu tempat yang gelap sekarang.
Perlahan, aku berusaha bangkit dari posisi berbaring sebelum menyadari adanya tangan yang memeluk tubuhku.
Huh? Tunggu? Memeluk?
Setelah mataku terbiasa akan kegelapan yang remang-remang, aku bisa melihat siluet seseorang yang berada dekat denganku. Sepertinya dia orang yang memelukku saat ini.
Kepalaku terbenam dalam dadanya yang bidang. Aku bahkan bisa mendengar suara detak jantungnya yang berdetak normal. Walau samar, aku bisa merasakan hembusan napas yang masuk dan keluar secara teratur menerpa pucuk kepalaku.
Huh? Apa-apaan ini?
Pertama, dipeluk.
Kedua, dada bidang.
Ketiga, suara derak jantung.
Keempat, hembusan napas.
Kelima, aroma maskulin.
Eh? Aroma ini ... aku mengenalnya.
Wait? Senior Naoya?!
Segera aku bangkit dan mendorong kasar tangan yang memeluk tubuhku itu. Kudengar suara dentuman yang keras disertai erangan kesakitan.
"Duh, apa-apaan sih?"
"Itu seharusnya pertanyaanku!!"
Mataku terbelalak, reflek menutup mulut. Oh, bagus sekali. Aku membentak seorang senior. Kuharap tidak mendapat ceramah pagi dari guru BK.
"Pffft!!"
Hoi, aku bisa mendengar suaramu yang menahan tawa itu.
"Aku tidak menyangka, Shiro bisa seperti ini juga."
Ya, aku juga tidak menyangka bisa bersikap seperti ini juga. Dengan segera aku menundukkan kepala.
"Senior, maaf telah membentakmu."
"Tidak apa. Kamu tau sendiri aku kayak apa. Bukan masalah besar kok!"
Aku memang tahu seperti apa kepribadian Senior itu. Tapi, sebagai junior yang baik aku tetap harus meminta maaf.
Kutatap sekeliling yang masih dalam kegelapan, walau tidak terlalu gelap sih. Ada cahaya matahari yang menembus melalui celah-celah batu.
Eh? Batu?
"Senior, di mana ini?"
"Huh? Kamu nggak ingat? Oh iya, kamu pisang waktu itu."
"Pingsan, Senior."
Sungguh, Senior Naoya orang yang menjengkelkan sekaligus menghibur disaat bersamaan.
"Hm... Kita dikejar makhluk jadi-jadian, terus Ray melihat gua dan kita memasukinya. Makhluk jadi-jadian itu pun pergi."
Aku bertanya mengenai tempat, bukan meminta penjelasan tentang apa yang terjadi. Sudahlah, lupakan saja. Setidaknya aku tahu situasi yang sedang terjadi.
Omong-omong, makhluk jadi-jadian? Sebutan yang bagus untuk makhluk aneh itu.
"Gua? Apa mungkin―"
"Bisa jadi. Kita tidak tau ada berapa banyak gua di pulau ini."
Setidaknya dengarkan keseluruhan pertanyaanku! Yah, walau jawaban yang kudapat sesuai dengan dugaan.
Masih berupa kemungkinan kecil gua yang ditemukan ini adalah tempat yang disinggahi Senior Magenta.
"Tapi, menurutku bukan gua ini deh."
"Eh?"
Bukan? Jadi memang gua lain di luar sana, ya?
Tapi, mengapa Senior menyimpulkan hal itu?
"Kamu ingat diary terakhir yang Magenta tulis?" Senior berkata seakan mengerti isi pikiranku.
Aku mencoba untuk mengingat-ingat. Diary terakhir adalah tanggal sepuluh Agustus yang berarti kami berada di pulau ini selama sepuluh hari. Yah, dilihat dari mayat Senior Magenta yang masih baru juga sih. Artinya belum lama ini Senior mati.
Hei, kenapa justru aku memikirkan hal itu?!
Baik, baik. Diary itu tertulis tentang sesuatu yang bercahaya di rumput kalau tidak salah. Kemudian Senior Magenta membawanya ke gua.
Oh, aku mengerti sekarang.
"Ya. Senior Magenta membawa 'sesuatu' ke gua." Akan lebih baik menyebutnya sebagai 'sesuatu' untuk saat ini.
Senior Naoya mengangguk―atau setidaknya itu yang kulihat.
"Aku dan Ray telah menelusuri gua ini. Hanya jalan buntu dan tidak ditemukan apapun."
Dengan begitu, penelusuran kali ini berakhir dengan kebuntuan di awal-awal.
"Selanjutnya, mengapa ... itu ... Senior ... memelukku?" Aku bukan orang yang akan gugup hanya dengan membicarakannya. Aku hanya sedikit malu untuk mengatakannya.
Senior Naoya menggaruk kepalanya―atau setidaknya itulah yang kupikirkan.
"Yah, itu tidak sengaja. Ray pergi ke luar untuk melihat kondisi aman atau tidak. Aku mengantuk dan tidur di sebelahmu."
Sudah kuduga. Tipikal Senior Naoya itu seperti ini. Aku tidak kaget mendengar jawabannya.
"Tapi, enak juga bisa memelukmu, Shiro. Tubuhmu kecil dan bisa dijadikan guling untuk para loli―"
BHUAAK!!!
Aku sangat yakin tubuh Senior terbaring di tanah dengan wajah merah bekas pukulanku sekarang.
Omong-omong, aku penasaran. Mengapa aku bisa pingsan saat itu?
===
Kami berdua menunggu kembalinya Senior Rayhan. Sangat lama, bahkan bisa kulihat cahaya matahari yang perlahan meredup. Hujan juga turun dengan derasnya, membuat kami terpaksa berteduh di dalam gua.
Hujan di musim panas? Seandainya ini bukan tempat asing, aku pasti bertanya-tanya.
Aku menyandarkan diri pada dinding gua, sementara Senior Naoya sedang menghitung cacing di tanah. Jalan pikiran Senior memang sulit dimengerti.
"Hei, Senior. Sebaiknya kita pergi menyusul Senior Rayhan sekarang," ucapku setelah sekian lama berdiam diri. Aku tahu, ucapan bodoh ketika di luar sedang hujan. Tapi, bagaimana dengan keadaan Senior Rayhan sendiri? Sedang apa dia di luar sana?
Tidak ada respon dari orang yang kutanya.
"Senior?"
"Uh? Ya?"
Suasana canggung macam apa ini? Apa Senior marah karena aku memukulnya waktu itu?
"Kubilang, sebaiknya kita pergi menyusul Senior Rayhan," ulangku pada akhirnya. Namun, Senior Naoya tidak membalas.
"Seni―"
"Shiro, sebaiknya kamu diam dulu."
Segera kututup mulutku. Memangnya ada apa? Apa aku terlalu berisik?
Mendadak, aku merasakan getaran. Awalnya tidak terasa, namun getaran ini semakin kuat. Hal selanjutnya yang terjadi adalah tanganku ditarik dan wajahku kemudian menabrak sesuatu yang nyaman. Tiba-tiba penglihatanku menghitam. Tidak, aku tidak pingsan lagi. Tapi sepertinya cahaya matahari tidak masuk ke dalam gua.
"Kamu nggak papa?" tanya Senior Naoya yang suaranya terdengar sangat dekat denganku. Aku merasakan tangannya yang memeluk tubuhku dengan lembut.
Eh? Tunggu, apa?
BHUAAAK!!
"AH!"
Ugh, rasanya tanganku ingin patah! Aku sangat yakin ingin memukul Senior sekarang. Tapi, kenapa tiba-tiba tubuhnya terasa keras?
Uh, aku tidak bisa melihat apapun di dalam kegelapan seperti ini.
"Shiro? Kenapa?"
Aku memilih untuk tidak menjawabnya. Kupijit tanganku yang terasa kaku. Pastinya tanganku memerah saat ini. Rasanya seperti memukul batu tadi.
Atau aku memang memukul batu?
Tiba-tiba, kurasakan sentuhan lain di tanganku. Terasa hangat dan nyaman. Tangan itu mengelus lembut tanganku tepat di bagian yang terasa sakit yang entah mengapa tidak lagi terasa sakitnya.
"Sudah lebih baik?"
Itu Senior Naoya. Aku hanya mengangguk walau tidak yakin apakah Senior melihat balasanku atau tidak.
"Makanya, jangan asal main pukul."
Ini Senior memang minta dihajar!
Setelah rasa sakitnya mereda, aku menatap sekeliling. Tidak ada yang bisa kulihat selain warna hitam.
"Senior, apa yang terjadi?"
"Um, sepertinya terjadi gempa tadi. Mungkin karena gempa itu juga, tanah longsor terjadi dan menutup pintu gua." Sesaat, aku mendengar suara hela napasnya.
"Intinya, kita terjebak di sini."
Kutatap horor Senior walau aku tidak yakin di mana dirinya saat ini.
"Terjebak? Lalu, bagaimana kita keluar?"
"Entahlah. Antara menunggu bantuan dari luar atau mati kehabisan nafas di sini."
"Lalu, walkie-talkie-nya?"
"Dipegang Ray."
Aku mendesah kesal. Pilihannya hanya dua: menunggu bantuan atau menunggu ajal menjemput. Bantuan entah kapan tibanya, itupun jika ada yang menyadari bahwa kami terjebak. Sementara kematian karena kekurangan oksigen bisa datang cepat atau lambat.
"Kalau begitu, kita gali jalan keluar."
"Semuanya dari batu. Mau digali pakai apa? Lagipula, emang di mana pintunya?"
Aku terdiam mendengarnya. Kupeluk kedua lutut kakiku, merenungkan perkataan Senior Naoya.
Jadi, kita pasrahkan saja pada nasib?
Jadi, pada akhirnya sampai di sini saja?
Jadi, di sinilah aku berada?
Aku bahkan belum menulis wasiat untuk kedua saudaraku di luar sana. Aku juga belum berterima kasih pada Blaze yang masih mau berteman denganku yang suka mengeluh ini.
Aku bahkan belum menemukan kebenaran tentang diriku.
Kucoba untuk menahan isak tangis, namun bisa kurasakan air mata mengalir di pipiku. Ah, aku menangis. Terakhir kali aku menangis saat ayah dan ibu dimakamkan di depan mataku.
Setidaknya kutahan suara tangisku. Aku tidak ingin Senior Naoya mendengar diriku menangis.
Tiba-tiba, kurasakan kehangatan di tubuhku. Sepasang tangan merengkuh diriku dengan lembut, membuatku merasa aman.
"Tidak apa. Menangislah...."
Suara Senior yang pelan terdengar sangat dekat dengan telingaku. Aku sedikit berontak, namun Senior tetap tidak melepaskan pelukannya. Kurasakan tangannya menepuk punggungku.
"Tidak apa. Menangislah...."
Dia mengatakannya lagi. Aku menggeleng dalam dekapan dadanya. "Lepaskan," pintaku lirih.
Kumohon, Senior ... menjauh dariku.
"Tidak apa. Menangislah...."
Aku ingin sekali memukulnya, namun entah mengapa semua tenagaku menghilang. Tubuhku bergetar, mencoba untuk menahan tangis.
"Tidak apa. Menangislah...."
Ugh, Senior ... jika kau terus seperti ini ... aku....
"Maaf, Senior...."
Pada akhirnya, aku menangis di sini. Di pelukannya yang hangat dan menenangkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top