Prologue
Akademi Alteia.
Sekolah elite incaran semua anak. Siapa sih yang tidak tertarik dengan sekolah itu? Memakai sistem asrama, proses pembelajaran berbeda dari sekolah kebanyakan, masa depan anak dijamin cerah layaknya para alumnus.
Alteia memang menyediakan berbagai fasilitas ini-itu. Banyak agunan yang dipertanggung jawabkan. Tapi, untuk masuk ke sekolah itu, tingkat sulitnya bukan main-main.
Dua minggu berlalu semenjak dimulainya ujian masuk Alteia, sampai akhirnya tukang pos mengantar surat bercap stempel Alteia dengan huruf braille di sebuah kediaman.
Menarik napas panjang, mengeluarkan pelan-pelan isi surat bahkan rela selingkuh sebentar dari novel Sherlock kesayangan, langsung lompat membaca paragraf terakhir, seketika bola matanya membulat sempurna.
Congratulation! You're accepted in Alteia!
Watson Dan namanya. Dua belas tahun usianya. Sebenarnya dia tidak terlalu peduli dengan Alteia, namun karena ajakan temannya—Jamos Horori—dia pun nekat mendaftar. Sahabatnya lebih dulu diterima di termin pertama, tapi hei, dia juga diterima di babak kedua! Peringkat pertama dari 200 pendaftar. Tangannya terkepal senang. Yes! Novel Holmes gratis! Bukan masuk atau tidaknya yang Watson incar, melainkan perjanjiannya dengan Jam.
"Ada apa, Nak?" Muncul sosok wanita dengan cepol berantakan mengenakan celemek hijau, keheranan melihat Watson joget-joget tak jelas. "Apa kamu sudah memeriksa suratnya?"
Watson menyeringai. Lantas dengan bangga, dia memamerkan kertas di tangan seperti memegang trofi. "Ma, Watson diterima!"
Butuh beberapa detik mencerna seruan putranya sampai wanita itu membelalakkan mata. Beliau menghampiri dengan larian kecil, menerima surat yang diulurkan Watson. Benar. Anaknya betulan diterima di sana.
Usai membaca, beliau tersenyum kecil seraya mengusap-usap lembut puncak kepala Watson. "Selamat, Nak. Mama percaya kamu bisa mengalahkan ujian Alteia. Kamu genius."
Bagaimana tidak? Dengan tawaran novel kesukaan, dia sama sekali tidak menyesal belajar mati-matian sampai jatuh sakit. Usaha dan perjuangannya terbayarkan.
"Wah-wah, sepertinya kami kalah taruhan." Seseorang menceletuk, bergabung ke ruang tamu. Pasangan dari wanita paruh baya di sebelah Watson alias Sang Ayah. Beliau baru saja turun dari lantai dua, menopang dagu. Taruhan yang beliau maksud berupa: apakah putranya berhasil masuk ke Alteia atau gagal.
Watson berkacak penuh gaya. "Papa kalah. Sesuai janji, Watson mau liburan ke London."
"Iya, Einstein kecil." Si Ayah ikut mengelus kepala Watson, tertawa renyah. "Kamu sudah puluhan kali bilang mau ke London. Apa sih yang kamu sukai di sana? Big Ben, hm?"
"Papa lupa, ya? London kan kota detektif!" seru Watson senang. Dia selalu bersemangat jika membahas misteri atau segala hal yang berhubungan dengan Sherlock. "Pertama-tama aku akan ke Baker street, mengambil ratusan foto di sana dan memuseumkannya di rumah. Kemudian lanjut ke Hyde Park, dimana Holmes dan Watson biasa berjalan-jalan. Kemudian ke Dartmoor. Lalu ke Picardy Place...!"
Tidak perlu ditanyai lagi, Watson merupakan salah satu dari ratusan fans Sherlock Holmes. Dia mengoleksi semua novel buatan Conan Doyle, semua volume kasus-kasus yang pernah ditangani oleh Sherlock. Bagi Watson, karakter buatan Sir Arthur ini adalah pahlawannya. Bahkan Watson mempunyai nama rekan kepercayaan Sherlock. Dia sungguh beruntung ibunya memberi nama tersebut.
Andaikan Sherlock itu nyata, Watson rela melakukan apa saja demi menjadi muridnya. Dia amat mencintai dunia detektif. Tentu dia juga menyukai Dokter John, terutama kesabaran beliau menghadapi Sherlock yang eksentrik.
"Kita akan ke London lusa. Kamu bisa sepuasnya bermain detektif di sana." Si Ibu kewalahan menanggapi keantusiasan putranya.
"Lusa?" Watson mengernyit tidak senang.
"Yep!" Si Ayah merangkul bahunya. "Besok kita akan ke Pockleland. Itu taman bermain yang ingin kamu kunjungi, kan? Kamu sampai mogok makan karena merajuk tidak dibawa ke sana."
Watson menundukkan kepala, bersungut. Ada raut kecewa menggantung di wajahnya. "Tapi Watson mau ke London secepatnya. Watson kan sudah membatalkan niat ke Pockleland."
"Dan kami sudah terlanjur sepakat untuk membawamu ke sana lebih dulu," kata beliau melipat tangan ke dada. "Papa masih ingat kamu sampai merengek untuk pergi ke taman itu. Kami juga sudah memesan tiket masuk."
"Baiklah. Kalian kaptennya."
*****
Taman Pockleland adalah taman bermain yang besar, memakan bidang tanah seluas 3700 meter. Banyak wahana permainan sejauh mata memandang. Katanya, para konstruksi butuh waktu tiga tahun lima bulan untuk membangun serta meresmikan pembukaan Pockleland.
"Padahal dia mengomel karena kita menunda perjalanan ke London, namun sekarang dia bersenang-senang. Begitulah anak-anak."
Daylan Dan, 42 tahun, merupakan seorang polisi andalan di New York. Karena ketegasan dan keterampilannya, dia sering terlibat kasus-kasus maut yang membahayakan nyawa.
Dalam mengerjakan suatu kasus, dia bertemu Dyana Romatswe. Seorang ahli fisika genius yang menjadi sandera dari pelaku buronan. Tidak ada korban dari kasus itu sebab Daylan menyelesaikannya dengan profesional. Mereka pun jatuh cinta dan menikah. Daylan berhenti dari profesinya, menjadi polisi lingkungan. Sementara Dyana menjadi guru privat.
Pertemuan mereka memang klise. Tapi, hanya karena klise bukan berarti tidak bermakna.
Kepintaran Watson berasal dari ibunya. Sedangkan kepekaan Watson terhadap bahaya diturunkan dari ayahnya, insting polisi.
Daylan berkacak pinggang. "Biarkan dia bersenang-senang sebelum dia mengerti cara dunia bekerja," ucapnya mendesah kecewa. "Tak kusangka Watson sudah beranjak dewasa. Waktu sangat kejam! Rasanya baru kemarin dia sebesar tanganku. Pangeran kecilku. Hiks!"
Dyana tersenyum teduh. "Kelak besar nanti, dia akan jadi sosok yang mengagumkan. Mungkin saja Watson bisa mengalahkan kita."
"Aku akan sangat bangga."
Memang, senyum gembira seorang anak adalah sesuatu yang membahagiakan orangtua. Hati menjadi sejuk dan tenang damai.
Akan tetapi, kesenangan mereka diinterupsi oleh kedatangan polisi kenalan Daylan. Beliau dipanggil Inspektur Tuttle, polisi yang sering diam-diam meminta bantuan Daylan (setelah Daylan memutuskan demosi) walau tidak menerima izin dari Kepala Timnya.
"Tidak kusangka kita bertemu di sini, Tuan dan Nyonya Dan. Ada si kecil Dan lagi," sapanya terkekeh, mengusap berewok yang lebat. Kumisnya bergerak naik-turun. "Sepertinya kalian sedang liburan. Kalau boleh tahu, kabar apa yang mendatangi keluarga genius ini?"
"Anda berlebihan, Inspektur." Daylan segan.
"Aku kadang salut terhadap kerendahan hatimu, Daylan, namun tidak apa kan sesekali menerima pujian orang tua ini. Aku memaksa."
"Baiklah, Inspektur." Daylan masih tidak rela.
Dyana segera mengambil alih percakapan sebab kasihan melihat suaminya cemberut. "Anda harus meralat ucapan Anda, Inspektur. Watson sekarang sudah bukan anak kecil lagi."
"Aha! Biar kutebak, Watson pasti diterima di akademi elite itu, kan? Hahaha! Aku sudah menduganya sejak lama, jauh sebelum ujian akhir sekolah dasar dimulai. Makanya kabar itu tidak membuatku terkejut lagi."
"Anda terlalu jujur, Inspektur."
Percakapan formalitas mengenai alasan ke Taman Pockleland sudah selesai. Mereka bertiga memperhatikan Watson yang sedang memainkan basket. Watson kesal karena tidak bisa memasukkan satu pun bola. Walau dia pintar, nilai Watson di bidang fisik sangat lah anjlok. Nilai olahraganya di bawah rata-rata.
"Jadi, ada apa, Inspektur? Saya yakin pertemuan kita saat ini bukanlah kebetulan. Apa Anda memerlukan bantuan saya?"
Tuttle tersenyum simpul. "Selain kerendahan hatimu, aku juga menyukai kepekaanmu."
"Saya berterima kasih untuk itu, Inspektur. Apa pun tindakan kecil yang saya lakukan Inspektur tetap memuji penuh respek. Saya menghargainya, namun maaf, untuk kali ini saya tidak bisa membantu Anda, Inspektur."
Tidak keberatan atas penolakan Daylan, Tuttle justru tertawa. "Hahaha! Aku juga sudah menduga kamu akan menolaknya. Kamu pikir sudah berapa lama kita bekerja sama, Daylan? Aku juga seorang Ayah. Putriku ada dua. Jadi, aku paham perasaanmu. Tenang, aku tidak akan mengganggu 'Waktu Bersama Anak'. Aku hanya ingin menyampaikannya saja."
Daylan tersenyum tipis. "Terima kasih, Inspektur. Anda sangat pengertian."
Di sisi lain, Watson sudah jenuh bermain basket. Semua lemparannya tidak ada yang membuahkan poin. Dia merasa haus setelah mengeluarkan keringat sebanyak itu.
Watson pun melangkah ke luar arena bermain, membeli sekaleng minuman ringan. Taman Pockleland ramai oleh pengunjung. Mana cuacanya sedang cerah lagi. Watson harus kembali masuk agar orangtuanya tidak cemas.
"Mereka sudah di dalam. Selesaikan ini."
Selesai membayar, Watson tertegun sejenak, menoleh ke pria yang melewatinya barusan. Matanya terpicing memperhatikan si pemuda.
Tingginya sekitar 179 senti. Pakaiannya lokal murah. Pasti dia membelinya di pasar. Topi dan masker juga berharga murah. Apa dia sengaja agar tidak ada yang mencurigai atau memang tidak mampu? Jika memakai pakaian, perhiasan, atau barang-barang bermerek, dapat dipastikan keberadaannya bisa dilacak. Beginilah kira-kira isi pikiran Watson sekarang, "membaca" profil pria asing itu.
"Tampaknya aku terlalu banyak membaca novel misteri sampai membawa-bawanya ke dunia nyata. Aku cukup berdeduksi di rumah saja. Mana mungkin hal seperti itu terjadi—"
Mereka sudah di dalam. Selesaikan ini.
Menelan ludah, Watson menoleh cepat ke pemuda misterius yang hampir keluar dari taman bermain. Mungkinkah dia benar?
Tidak ada yang aneh di sekeliling kok. Para pengunjung Pockleland menikmati waktu mereka tanpa merasa terganggu. Mungkin saja pemuda tadi hanya warga yang numpang lewat atau hanya bermain sebentar.
"Masih terlalu cepat untukku jadi detektif." Watson menghela napas pendek, mengedikkan bahu. "Kalau Jam sih pasti tahu jawabannya."
"Hei, Dek, orangtuamu memanggil." Kakak stan minuman memberitahu. Daylan dan Dyana menunggu di dekat wahana kincir ria raksasa.
"Terima kasih, Kak! Bye-bye!"
"Bye-bye. Nikmati liburanmu, Sobat Kecil."
Tunggu sebentar. Langkah Watson melamban. Senyum cerahnya pudar. Semua gerak-gerik pemuda misterius barusan terbaca oleh otak Watson. 'Mereka sudah di dalam'? Siapa yang dia maksud? Watson melihatnya. Kenapa arah matanya tertuju ke Daylan dan Dyana?
Mereka sudah di dalam. Selesaikan ini.
Watson terbelalak. Ditatapnya mereka berdua. "MAMA! PAPA! CEPAT PERGI DARI SANA!"
DUAR! Ledakan besar meletus di tengah-tengah Taman Pockleland. Api berkobar ke atas. Tubuh Watson terlempar ke belakang. Dia menyaksikan kedua orangtuanya ditelan si jago merah di taman bermain indah. Patung karakter kartun yang menjadi simbol Pockleland runtuh berderai. Wahana-wahana lainnya ambrol. Rebah rempah.
Taman bermain itu menjadi bulan-bulanan oleh bubungan api. Si jago merah memakan seluruh kawasan Taman Pockleland, menyisakan beberapa pengunjung yang selamat berkat terpelanting oleh daya ledakan.
Watson menatap langit biru yang diselimuti asap hitam. Kesadarannya perlahan menipis.
Kenapa? Kenapa ini terjadi? Ayolah, dia bahkan belum sempat ke London. Ayolah, Watson belum sempat memperlihatkan dirinya yang memakai seragam ke Alteia ke orangtuanya.
Karena ketidakpercayaannya pada insting detektifnya, dia kehilangan orangtuanya. Andai Watson bergegas mencegat langkah pria misterius tadi. Andai waktu bisa diulang.
Karena ketidakpercayaannya pada insting detektifnya... Tidak, tunggu. Yang salah bukan lah profesi detektif. Yang salah adalah dia.
Aku benci diriku sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top