File 0.9.7 - Mysterious Soil Mounds
Sial, ini takkan mudah.
Lima menit habis. Ketua tim forensik menutup paksa kantong mayat dan menepuk badan mobil ambulans untuk segera pergi dari TKP. Watson menyingkir dari situ dengan banyak kemungkinan baru berdatangan.
Jahitan itu menjelaskan keberadaan Midazolam di mobil. Tetapi tentang Skopolamin? Bagaimana dengan obat itu? Setahu Watson skopolamin adalah obat untuk mengatasi kram perut, usus dan saluran kemih. Apakah Adams mencampurkannya pada minuman murbei karena Cleona tidak suka obat?
Itu berarti, mereka berdua sedang melakukan perjalanan dan Cleona mabuk mobil sehingga harus meminumnya.
Pertanyaannya, perjalanan mau ke mana? Pergi ke suatu tempat untuk menguburkan mayat Moore? Lantas kenapa TKP dirancang strategis? Jangan bilang Cleona berencana membunuh suaminya dan memancingnya kemari? Lalu siapa yang membunuh Moore? Adams? Di mana senapan yang tersisa?
Paradigma yang memusingkan.
Tak sengaja kaki Watson tersandung sesuatu membuatnya terpeleset ke belakang jika seseorang tidak membantu menahan punggungnya.
"Kamu tidak apa-apa, Anak Muda?"
"O-oh, terima kasih." Eh, kalau tidak salah beliau istri dari dua saksi tadi, kan? Raymon dan Breta, kenapa mereka masih di sini? Watson pikir mereka sudah pergi saat para polisi berdatangan.
Watson ingin bertanya, tapi pandangannya jatuh pada gundukan tanah misterius di bawah. Apa ini? Kenapa tanahnya berumbun begini?
[Watson, aku menemukan rekaman cctv di depan gedung kantor Linview. Di sini terekam bagaimana Moore melobi Nyonya Cleona dengan kasar... Ini diskriminasi terhadap karyawan.]
"Aiden," Pemilik nama menoleh peka. "Kamu membawa kamera polaroid, kan? Apa tadi kamu memotret banyak?"
Gadis Penata Rambut itu mengangguk, menyerahkan kamera kuning yang dia kalungi di balik seragam. "Tekan saja tombol di bawah pengaturan on-off itu, film-nya akan langsung tercetak."
"Ayo, aku butuh air."
Jeremy tidak tidur ketika Watson dan Aiden kembali ke dalam mobil. "Kamu tidak bisa istirahat yang betul-betul istirahat, hei?" dengus sherlock pemurung itu.
"Dapat apa kali ini?" Jeremy menghiraukan.
"Berikan aku semacam talam kecil," kata Watson mengibas singkat, tak menjawab pertanyaan Jeremy.
Aiden sigap menarik alas kecil di bawah kotak rem tangan—sepertinya itu tempat uang recehan—menyerahkannya pada Watson. Sedangkan Jeremy langsung mengisinya dengan sedikit air.
Watson menekan tombol. Bunyi desing pelan terdengar, beriringan dengan cetak foto di lubang bawah kamera perlahan muncul, jatuh ke alas berisikan air.
"Stern, bisakah kamu kirim salah satu gambar yang terekam cctv di grup?"
[Oke.]
Aiden bergegas merogoh ponsel, membuka aplikasi chat 'Kakao', mengunduh gambar yang dikirim Hellen.
"Lho? Kita punya grup baru di aplikasi berbeda? Bukannya kita stay di line?" celetuk Watson mengernyit. Jangan bilang mereka membuat grup lain tanpa sepengetahuan dan tidak mengundangnya?
Mereka berdua terkekeh canggung. "Tadi aku niat invite kontakmu kok, Dan! Salahmu sendiri hanya tukang sider dan nyimak."
Ini tindak segregasi terhadap ketua klub!
Watson menghela napas letih. "Serah."
Tanpa persetujuan sang empunya, Watson merebut ponsel Aiden dan menyuruhnya serta Jeremy untuk memegang baik-baik gambar yang baru dicuci. Watson membandingkan foto tersebut dengan foto kiriman Hellen: perbedaan kedua tangan antara Moore dan Adams. Sudah diduga, tangan Moore lebih besar dari pada mendiang Adams.
Menatap gambar lain—pergelangan tangan Cleona yang memerah—kembali menatap ke foto di tangan kiri. Ukuran tangan yang menyebabkan jejak cekalan ini tidak sesuai dengan telapak tangan Adams. Mungkinkah, Moore yang membuatnya?
"Aiden, coba simpulkan ini. KDRT, gugatan cerai yang diacuhkan, pelobian Moore, resepsi tak laik, surat permintaan maaf, skopolamin dan minuman murbei, jahitan rancu dan midazolam, perjalanan Pak Adams dan Nyonya Cleona."
Gadis itu mengerjap bingung. "Eh, kamu menyuruhku menyimpulkan semuanya?"
Watson mengangguk serius.
Aiden sok-sokan berdeham, membersihkan tenggorokan yang gatal. Watson mendengus, berlagak banget sekali diminta.
"Hubungan Pak Adams dan Nyonya Cleona tidak berjalan baik sebagaimana sebuah pasangan suami-istri. Beliau tersiksa baik fisik dan mental memicu gangguan schizophrenia. Lalu, ketika menerima proyek Linview, datanglah Moore Paddok yang memberinya kasih sayang dan rasa nyaman. Klimaksnya melamar beliau dengan asosiasi pernikahan tak resmi.
"Pak Adams menyadari kesalahannya, berniat meminta maaf dan ingin mengajak istrinya berbaikan. Mereka pun bepergian ke Gunung Topau untuk memperbaiki hubungan keduanya. Sialnya, Pak Adams salah memilih tanggal liburan yang juga bertepatan hari pernikahan kedua Nyonya Cleona secara sepihak.
"Mengetahui calon istri dalam tahap rujuk dengan suami sah, Moore tidak terima dan mendatangi mereka berdua. Di sini aku hanya menebak, bisa jadi Pak Adams melakukan pembelaan diri dan justru merenggut nyawa Moore.
"Panik, Schizophrenia yang diderita Nyonya Cleona kambuh. Kenangan kekerasan terhadapnya kembali muncul memberikan efek ambivalensi bahwa Pak Adams semata-mata membunuh Moore. Padahal, itu hanya perlindungan dari suami mengingat foto pergelangan tangan beliau dicengkeram kuat oleh Moore. Pasti terjadi tarik-menarik saat waktu kejadian perkara."
[Note: Efek Ambivalensi, perasaan tidak sadar yang saling bertentangan terhadap situasi sama atau terhadap seseorang di waktu yang sama.]
"Tahan!" Jeremy memotong. "Bukankah tadi Watson bilang kematian Moore karena ditembak senapan? Bukan karena benda tumpul atau obat-obatan, kan?"
Aiden menoleh kepada Watson.
Sherlock pemurung itu melipat tangan ke dada. "Memang benar Moore terbunuh oleh senjata api, sebab, ada kemungkinan Pak Adams membawa senapan yang dia beli dan menjadikan itu perenggut nyawa Moore. Bocornya pelobian yang dilakukan Moore pada istrinya sudah menjadi alasan dia berjaga-jaga kalau Moore bertindak nekat. Dan itu terbukti."
"Lalu kenapa Hellen bilang bahwa pertama yang menginginkan senapan itu adalah Nyonya Cleona?"
"Tapi Jeremy, Hellen juga mengatakan Nyonya Cleona melakukan prabayar saat bertransaksi. Senjata itu belum sah menjadi miliknya." Aiden menggeleng.
"Blacks Out." Watson menceletuk.
Aiden dan Jeremy terpaku.
"Tidak heran Nyonya Cleona juga menderita BO jika Schizophrenia-nya sudah bercabang-cabang memicu gangguan mental lainnya, salah satunya Blacks Out. Dia tidak mengingat pembelian senapan tersebut beserta alasannya. Pak Adams yang menemukan catatan riwayat pemesanan beliau pun tanpa pikir panjang membayar sisanya dan yeah, benda itu menjadi miliknya."
Mereka menelan ludah. Baiklah, ini giliran Watson melanjutkannya.
"Pak Adams menggunakan midazolam mengusir persentase Moore masih hidup. Luka tembak di bagian pinggang Moore dijahit secara tergesa-gesa oleh Pak Adams, mengganti baju dalamannya dengan kaus baru untuk menyembunyikan darah, lantas meletakkan jasadnya di bagasi. Pak Adams tidak memperhatikan kalau ikatannya longgar." Watson menghela napas panjang. "Di sinilah aku tidak mengerti. Bari bilang, dia melihat sesuatu di belakang kita sebelum petir menyambar. Itu seperti sinyal untuk menembak beliau dengan senapan di gunung menggunakan kilat petir untuk meredam suara tembakan."
"Ah benar, Hellen bilang ada dua pistol, ya? Siapa yang menembak Pak Adams?"
Watson menggeleng.
Aiden mengetuk-ngetuk kepala. "Tapi, Dan, dari mana Pak Adams mendapatkan jarum, obat midazolam dan benang untuk menjahit kulit manusia? Apa dari kotak besar P3K?"
Watson mengangguk samar. "Itu kemungkinan yang tidak buruk. Tapi yang menjadi pertanyaan terbesarku, di mana semua benda itu, heh? Di mana barang bukti (selain senapan di gunung) menghilang?"
"Kamu yakin tidak ada pihak ketiga di sini?"
"Lihat sepatumu," Watson menjawab dengan objek. "Kotor oleh lumpur. Sekarang perhatikan bagasi mobil, jejak lumpur gompal yang sama. Itu menandakan bahwa Pak Adams turun dari gunung menggunakan sepatu bot lateks."
"Iya nih. Sepatu baruku jadi kotor." Jeremy malah keluar topik.
Watson menepuk dahi.
Aiden menatap jengah. "Serius, Jer, di saat seperti ini kamu mempedulikan keadaan sepatu barumu?"
Jeremy menyengir.
Seorang petugas mendatangi Angra. Ujung mata Watson melihat pergerakan mereka, menunjuk-nunjuk bagian bawah mobil, entah apalah itu.
"Kita harus turun," titah Watson segera loncat keluar dari mobil. Dia tidak tahu lagi ini sudah ke berapa kali mereka keluar-masuk dari mobil Deon.
Aiden dan Jeremy segera mengikuti. Hellen di sekolah mendengar portofon dengan saksama.
"Kami menemukan sekop di bawah mobil, Inspektur. Gagangnya berlumuran darah."
Watson tersedak. Aiden dan Jeremy mematung. Apa katanya? Sekop?
Akhirnya, Watson kembali memusatkan atensi ke gundukan tanah yang membuatnya tersandung tadi, terbelalak tak percaya. Ini kedua kalinya Watson menghiraukan petunjuk penting.
Mungkinkah... di sana?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top