File 0.9.4 - Don't Want to Go Crazy

Pusing.

Kepala Watson pusing saat ini.

Sherlock pemurung itu mundur dari bagasi mobil, tak mempedulikan para polisi dan wartawan mengambil alih. Bau formalin yang melumuri mayat itu sangat anyir menyiksa hidung dan memelintir perut.

Aiden muntah. Jeremy pucat. Watson membuang napas berat. Mereka bertiga tetap basah meskipun sudah memakai mantel hujan. Badainya terlalu kencang.

Siapa mayat ini? Bagaimana bisa ada dua mayat di satu TKP sekaligus? Kenapa mayat itu mengenakan pakaian pengantin dan cincin? Lihatlah, Cleona panik bukan kepalang. Jemarinya sudah bercucuran darah karena digerus kasar.

"Bagaimana sekarang, Watson?" tanya Jeremy. Blank.

"Kita butuh informasi dari Stern," kata Watson seadanya, memijat kepala.

Menoleh ke Aiden yang duduk loyo, Jeremy merasa tak tega menyuruhnya. Jadilah dia kembali ke mobil untuk melakukan panggilan dengan Hellen.

Tidak bisa. Mereka belum bisa ke paviliun Poorstag dan meninggalkan kasus ini begitu saja. Watson harus menyelesaikannya dahulu agar kepalanya tidak pecah ketika fokus terbelah.

Watson memasang masker, beranjak perlahan memeriksa mayat baru dari jauh supaya tidak mengganggu tim forensik. Matanya menyipit menilik tubuh mayat.

Tidak ada tanda-tanda luka luar. Sepertinya penyebab kematian adalah keracunan mengingat banyaknya ditemukan pil obat di TKP. Simpul ikatannya pun longgar. Apa pelaku mengikat asal? Tidak. Watson rasa pelaku terburu-buru karena dikejar waktu.

Ya ampun, teka-teki apalagi ini.

"Watson, aku berhasil mengontak Hellen." Jeremy datang membawa radio. "Kita harus mulai melakukan penyelidikan."

"Jeremy benar, Dan," imbuh Aiden berdiri lemas. "Kita tidak bisa terjebak di sini sementara tujuan kita masih di atas sana."

Watson tahu itu. Masalah Andeng dengan kepala yang memikirkan angka 002562 membuat sherlock pemurung itu gila. Kalau dipaksakan, Watson akan gila betulan. Dia tidak mau lagi membiarkan sang otak bercabang jadi dua, jadi mari urus satu-satu. Watson tidak mau jadi gila.

"Apa arahanmu, Watson?"

Bukannya menjawab pertanyaan Jeremy, Watson memutar langkah ke tempat Deon. "Inspektur, apakah mayat di bagasi sudah diidentifikasi?"

Deon mengangguk, membaca keterangan profil korban yang sudah berbentuk arsip. "Nama korban Moore Paddok..." Sebelum Deon melanjutkan perkataannya, Watson segera mencegah dengan gelengan, bilang sisanya biar mereka yang urus. Polisi pemarah itu menurut.

Watson, Aiden dan Jeremy menepi dari kepungan polisi. Nama sudah lebih dari cukup untuk memulai penyelidikan.

"Bagaimana?" Mereka berdua mendesak.

"Baiklah. Nama korban kedua juga sudah didapatkan. Kita bisa mulai dari—" Kalimat Watson terpotong oleh kilau potret kamera. Celaka! Watson lupa ada wartawan di sana!

Sekejap mereka bertiga dikerubungi para reporter yang lapar, saling berdesakan memotret hingga punggung klub detektif Madoka saling terbentur satu sama lain. Astaga! Mereka seperti buronan dunia!

"Bagaimana tanggapan kalian, Tim Detektif Madoka? Apakah ini bunuh diri atau pembunuhan terselubung?"

"Apakah kalian sudah mengetahui motifnya?! Siapa pelaku dari kasus ini?!"

"Tolong berikan penjelasan pada kami!"

Waduh? Kepala Watson makin pusing demi melihat sekaligus mendengar puluhan bunyi klik kamera dari jarak sedekat itu. Mana bisa dia menjawab kalau para reporter mendesak buas seperti ini.

Tapi Aiden dan Jeremy beda kelas. Mereka menanggapi deretan pertanyaan kecamuk reporter itu dengan tenang dan profesional.

"Saat ini kami bertiga akan mulai investigasi bersama rekan kami satu lagi di sekolah. Jadi mohon bantuannya untuk tidak mengganggu penyelidikan kami."

"Tolong tunggu sebentar! Satu pertanyaan saja! Apa yang kalian lakukan di Gunung Topau? Bukannya teman kalian Jeremy Bari baru saja tertembak? Kenapa dia ada di sini sekarang?"

"Teman kami punya tubuh yang kuat," ucap Aiden terdengar menyakinkan. Bagus Aiden, segera akhiri wawancara ini. Waktu sangat terbatas. "Awalnya kami juga tidak mau mengikutsertakan Jeremy, tapi keras kepalanya membuat kami menyerah. Alasan kami ke Gunung Topau adalah memeriksa suatu tempat yang kemungkinan mempunyai petunjuk terakhir untuk kepingan puzzle keberadaan CL."

Mereka semakin heboh. Aiden bodoh! Kenapa CL malah disebut!

"APA?! JADI KALIAN HAMPIR MENEMUKAN POSISI PENJAHAT NOMOR SATU MOUFROBI?! MOHON KETERANGANNYA LEBIH LANJUT!"

Nah, kan, Aiden gelagapan.

Watson menepuk dahi. Beginilah jadinya jika dia terlalu mempercayai Aiden dalam urusan komunikasi. Tidakkah gadis itu sadar keadaan saat ini membingungkan? Aiden justru memberi harapan ambigu pada satu kota!

"Baik, cukup sampai di sana." Untunglah Deon peka situasi dan datang mengusir. "Biarkan mereka berdiskusi supaya kasus ini selesai dengan cepat."

Mereka bertiga cepat-cepat menyingkir dari TKP, naik ke atas mobil, mengunci pintunya dari dalam. Mana tahu salah satu dari mereka nekat mengejar.

"Kamu seharusnya tidak blakblakan begitu, Aiden," protes Watson dengan napas tersengal. "Apa yang mereka pikirkan nanti jika kita tidak menemukan petunjuk di vila Robin? Mereka akan kecewa."

"Ya aku harus bagaimana, Dan? Mereka bertanya kenapa kita ke Gunung Topau. Dengan catatan kasus Poorstag, mereka akan meletak curiga mengapa kita mencungkil kasus yang sudah ditutup. Aku hanya bertindak rasional walau terkesan memberi harapan pada mereka."

Watson terdiam. Benar juga.

Aiden menyeringai, mencolek-colek pundaknya, cekikikan. "Nah, hayo! Kamu diam. Berarti aku pintar kan kali ini?"

Watson mendengus.

"Geser, Aiden." Jeremy menyikut gadis itu karena lengannya menyinggung posisi portofon. "Mumpung kita sudah aman sekarang. Katakan perintahmu. Hellen juga mendengarkan di sekolah."

Watson menatap radio tersebut. "Stern?"

[Bicaralah, Watson. Aku bisa mendengarmu. Kita mendapat kasus lagi, kan?]

Menganggukkan kepala, Watson membenarkan duduk. "Baiklah. Pertama, Stern, cobalah cari tentang hubungan Brandis dan Cleona Adams."

[Aku sudah mencarinya, Watson. Dua pasangan ini baru menikah selama 5 tahun. Mereka bertikai saat menerima proyek Linview yang dimana Moore sebagai presdir proposal itu.]

Hah? Sherlock pemurung itu mengerjap. Lho, kan dia baru menyuruh. Kenapa Hellen sudah punya persiapan?

[Kita sudah membereskan beberapa kasus, Watson. Tentu aku tahu pola pertanyaanmu. Aku sengaja menunggu aba-abamu jaga-jaga bisa jadi kamu menanyakan hal lain terlebih dulu.] Aiden bisa mendengar kekehan Hellen lewat portofon.

Bahkan Jeremy pun menoleh ke radio, berdecak kagum ke depan, seolah Hellen ada bersama mereka. Itu pengamatan yang luar biasa. Watson tidak menyangka Hellen bisa secermat itu dalam memahaminya ketika memulai diskusi. Brilian.

Watson menggeleng, kembali fokus. "Oke, sekarang coba cari hubungan antara Moore dan Cleona."

"Apa kamu curiga Nyonya Cleona berselingkuh dan membunuh suaminya sendiri? Jika iya, sudah menjadi motif untuk Moore terbunuh oleh Tuan Adams."

Jujur saja, mereka bertiga memang sudah pintar tanpa Watson. Dengar-dengar, klub detektif Madoka berdiri selama satu semester, enam bulan sebelum Watson bergabung. Bukankah itu artinya, setengah tahun mereka menyelesaikan kasus?

Itu pasti berkat bantuan kakaknya Aiden, teman masa kecilnya Erika apalah itu, lalu pria yang dia sukai bernama Grim Skyther. Lantas, kasus Marionette merenggut nyawa Anlow membuat klub itu jatuh. Ditambah menghilangnya dua kartu joker entah ke mana. Itulah kenapa CL tidak bisa ditangkap sebab mereka bertiga jauh kurang berpengalaman dari anggota pertama.

Watson menampar pipi. Fokus, Watson!

Aiden menatap Watson bingung. "Dan? Astaga, kenapa nampar pipi sendiri? Sakit itu, hei!"

"Pokoknya kita harus menggali lebih dalam apa yang terjadi di sini," kata Watson berdeham keras. Separuh untuk memfokuskan mereka, separuh untuk dirinya sendiri. "Aiden, apa kamu bisa membuka peramban?"

"Walau tersendat-sendat dan lola, kita bisa mencari informasi."

"Nah, kamu cari lah tentang..." Watson tidak melanjutkan perkataannya. Menggantung padahal tidak suka digantung.

Watson bukannya lupa apa yang ingin dia suruh Aiden cari, tapi atensinya mendapatkan sesuatu benda menarik berada di antara ketinggian tiang listrik, berputar dengan tempo lamban. Watson refleks terbelalak. "Kamera CCTV?"

"Benar! Itu CCTV! Aku tidak lihat karena terlalu fokus pada TKP," ujar Jeremy memperhatikan.

"Sebentar," Watson menatap kepadanya. "Bari, kamu lah yang melihat Tuan Adams, kan? Bagaimana kondisinya sebelum jatuh?"

Jeremy mengelus dagu. "Yeah, karena badainya lebat, aku tidak terlalu melihatnya dengan jelas. Tapi, dia terlihat seperti melihat sesuatu ke belakang kita. Lalu saat petir keras sialan itu berbunyi, dia terdorong ke depan dan tewas."

Watson mengepalkan tangan. Tidak salah lagi. Pasti ini dia!

"Eh, eh, mau ke mana!" Aiden berseru bingung melihat Watson tiba-tiba membuka pintu mobil, turun dari sana. Mau tak mau mereka berdua mengikuti.

Dua menit, klub detektif Madoka kembali ke TKP, memanggil Deon.

"Ada apa? Apa kalian sudah mendapatkan sesuatu?" tanya Deon melihat mereka mendatanginya.

"Penyebab kematian bukanlah karena obat-obatan." Watson berkata yakin. Yang satu ini dia takkan salah menebaknya.

"Apa maksudmu?" Deon mengernyit.

"Dia ditembak senapan. Suruh forensik untuk melakukan autopsi. Dia tewas karena peluru. Suara petir menyamarkan tembakannya. Jika tidak percaya, kita bisa memeriksa CCTV itu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top