File 0.9.3 - Two Corpses in A Storm Prison
"Hei! Hei! Hei! Orang itu jatuh! Dia jatuh!"
Yang pertama bertindak adalah penumpang sedan di depan mobil mereka. Sosok itu tampak seperti pasangan suami-istri, segera meluncur hati-hati ke lapangan.
"A-apa kita juga harus turun?" cicit Aiden terbata. Sejak melihat sosok itu tiba-tiba ambruk dengan ganjil, Aiden bisa saja sudah keluar dari mobil. Tapi, mengingat mereka bersama seorang polisi, akan lebih baik membiarkan Deon yang memberi keputusan.
Deon mengangguk cepat, mematikan mesin, membuka laci mobil. "Kebetulan aku menyimpan jas hujan, kalian kenakan itu."
Watson mengernyit. "Ini hanya tiga pasang. Bagaimana dengan Anda?"
"Seorang polisi sudah terbiasa ke medan perang. Gerimis badai ini bukan masalah besar," katanya angkuh, membuka pintu dan melesat ke luar.
"Sombong sekali orang itu." Watson mendengus, ikut membuka pintu, sedikit oleng karena mobil mereka berhenti di tepi jalan yang kurang leper.
"Ayo buruan, Dan!" seru Aiden tak sabaran. Si Jeremy sialan malah menggelongsor santai seolah sedang menuruni bukit es salju dengan papan, menambah kekesalan Watson yang lamban sebab mesti mencari pijakan aman.
"Bagaimana, Inspektur?" tanya Jeremy lebih dulu sampai. Di belakang sana, Watson butuh bantuan dari Aiden dulu.
Dua sosok paruh baya itu bersitatap, menoleh ke Deon yang menghela napas setelah memeriksa pergelangan tangan orang jatuh itu. "Anda seorang polisi?"
Deon menatap mereka, mengangguk sembari mengeluarkan kartu pengenal dari saku. "Saya ketua dispatch Unit Penyelidikan Regional Satu dari Kepolisian Metropolitan Moufrobi," katanya sambil mengusap air hujan yang membasahi pipi.
"Nama saya Raymon. Ini istri saya Breta. Bagaimana kondisi orang tua itu?"
"Dia sudah meninggal."
Mereka berdua membeku di tempat. "A-apa? Ba-bagaimana bisa? Anda yakin, Inspektur?"
Deon mengangguk. "Tampaknya orang ini punya penyakit jantung dan suara petir tadi membuatnya syok lalu tewas..."
"Sebentar, Inspektur!" seru Jeremy memotong. Dia sudah mengitari mobil korban, memicingkan mata dan mendapatkan sesuatu di dalamnya. "Ada orang di sini! Di dalam mobil!"
Deon saling tatap sebentar dengan Raymon, mengangguk, sama-sama pergi menyusul Jeremy bertepatan dengan bergabungnya Aiden dan Watson yang ngos-ngosan.
Cowok itu tanpa basa-basi memeriksa denyut nadi korban. Sama seperti yang dilakukan Deon tadi, dia mengembuskan napas singkat.
"Aiden," Dia berdiri sekaligus menoleh ke sekeliling yang dirasa janggal. "Telepon 911 dan coba hubungi Stern. Terus coba panggil sampai berhasil terhubungi, mengerti?"
"Baiklah." Aiden mengangguk, segera menepi untuk mencari sinyal.
Sementara gadis itu sibuk menghubungi bantuan, Watson ikut membantu yang lain mendobrak pintu mobil. Ada seorang wanita tak sadarkan diri di dalamnya dan sebotol obat dengan pil yang berserakan.
Raymon menggeleng mundur, menyerah. Napasnya tersengal. "Pintunya dikunci dari dalam, Inspektur. Tidak ada benda keras untuk mendobraknya. Kita harus menunggu bantuan datang."
"Sial. Aku juga lupa membawa battering."
Watson bergumam tak jelas. Otaknya mulai berpikir layaknya putaran kaset film.
Tidak ada pilihan selain menunggu bala bantuan, jadilah mereka semua kembali ke mobil masing-masing. Tidak mau disiram lebih lama oleh hujan yang semakin dingin.
*
Polisi, ambulans dan tim forensik baru datang satu setengah jam kemudian. Mereka sangat terlambat karena macet dan badai yang menakuti para pengendara.
Police line memenuhi TKP, juga garis-garis crime scene. Suara potretan, alarm ambulans dan mobil patroli.
"Nama korban Brandis Adams, 39 tahun. Wanita di sebelahnya adalah istrinya, Cleona Adams, 32 tahun. Mereka salah satu arsitek proyek Linview. Sepertinya mereka berdua saling berselisih dan memutuskan mengakhiri hubungan. Tapi, kurasa ada yang aneh dari kematian Pak Adams."
Deon mengangguk. "Bagaimana keadaan Nyonya Adams? Dia masih bernapas, kan?"
Pelapor itu mengangguk. "Beliau mengonsumsi skopolamin dan midazolam. Kami juga menemukan minuman Murbei di tumpukan pil, lalu..." dia terlihat ragu menyambung ulasannya.
"Lalu apa?"
"Formaldehyde."
Dahi Deon berkerut sedetik kemudian. Formalin? Kenapa ada formalin di TKP?
Setelah merasa cukup menguping, Aiden menyikut lengan Watson. "Bagaimana menurutmu, Dan?"
Entahlah, Watson belum tahu—dia juga menguping pembicaraan Deon dengan salah satu anggota forensik. Jika bunuh diri, bisa menjawab pertanyaan mengapa Cleona ditemukan dalam keadaan seperti itu. Sebaliknya, jika pembunuhan, kenapa ditemukan obat formalin di mobil korban?
"Inspektur Deon!" panggil Max membawa papan catatan. "Hasilnya sudah keluar."
"Katakan padaku."
"Mendiang Adams dinyatakan tidak mempunyai riwayat kesehatan. Penyebab kematian bukanlah serangan jantung."
Deg! Semua pasang mata terbelalak. Deon yang tidak percaya, langsung merampas papan itu, memeriksanya dengan kasar. Max benar, jantung korban bersih.
"Ka-kalau begitu..." Aiden menelan ludah.
"Ini pembunuhan," ujar Jeremy datar. Lho, kok, tumben dia tenang?
"Pembunuhan? Kamu pasti bercanda. Jika iya, siapa pelakunya?"
Jeremy mengangkat bahu cuek. "Aku hanya menduga, Aiden. Bukan berarti beneran tahu. Lantas apa hipotesismu mengenai tidak ada masalah pada kesehatan korban?"
"Ada yang aneh," gumam Watson pelan beranjak ke antara mereka, selesai berkeliling. "Kurasa Bari ada benarnya. Tapi yang tidak kumengerti, cara kematiannya atau di mana senjata pembunuhan."
Dua orang itu diam.
"Nyonya! Anda harus diantar ke rumah sakit!" Suara seorang petugas medis mengacaukan pikiran. "Anda terlalu banyak mengonsumsi obat-obatan, Nyonya! Tubuh Anda terlalu terbebani!"
Istri korban alias Cleona sudah sadar. Beliau tanpa pandang bulu, dengan napas memburu dan mata liar, meracau TKP. Beliau sana-sini mencari suaminya. Entah pipinya basah karena menangis ditinggalkan, basah oleh hujan, atau menangis... karena marah? Watson mengernyit. Kenapa ekspresinya begitu?
Beliau mendorong para polisi yang ingin mengangkut tandu, membuka paksa kantung mayat.
"Siapa yang menyuruhmu meninggal, hah? KAMU TIDAK BERHAK MATI SEMUDAH INI! Setelah yang kamu lakukan padaku, lantas kamu ke neraka dengan gampang?! TIDAK! Takkan kubiarkan kamu mati dengan tenang!" ceracaunya beringas.
"Tenanglah, Bu!"
"Lepaskan aku! Dia belum berhak mati! Dia harus membayar perbuatannya padaku! Dia tidak boleh mati! Bangun bajingan!"
Deon mengusap rambut yang basah, memberi kode pada rekan dan polisi-polisi di situ. "Bawa dia."
Lengan Jeremy disikut oleh Watson, berbisik, "Tanyakan pada beliau, apa dia yang membunuh Tuan Adams."
"Hah? Kamu tidak lihat sendiri apa yang beliau lakukan barusan? Jelas-jelas beliau juga tidak memperkirakan hal ini."
"Kalau kamu tidak mau, ya sudah..." Watson mencari Aiden. Gadis itu sedang meminta informasi pada tim forensik. "Hei—"
"Baiklah! Baiklah!" ketus Jeremy bersungut-sungut, melangkah ke tempat Cleona berada. Watson menyeringai senang.
Bukannya malas menanyainya langsung, hanya saja istri korban yang sangar itu boleh jadi akan memberitahu kronologi kasus ini dari sudut pandangnya pada Jeremy. Barbar vs barbar. Ide bagus.
"Permisi," salam Jeremy sok basa-basi. "Saya Jeremy Bari member klub detektif Madoka yang sedang terkenal. Apakah saya boleh meminta keterangan—"
"Siapa bocah ingusan ini? USIR DIA DARI SINI! Aku tak butuh detektif anak-anak!"
Jeremy tak santai. "Hei, Nyonya Pemberang, saya hanya ingin bertanya apakah Anda yang membunuh korban?"
Beliau langsung mendelik, bangkit, dan menunjuk-nunjuk Jeremy. "AKU AKAN SENANG HATI JIKA AKU YANG MEMBUNUHNYA! Tapi pria berengsek itu lebih dulu mati sebelum aku memulai siasatku? Aku tidak bisa menerimanya."
"Anda seharusnya senang tidak menjadi tersangka pembunuhan, bukan malah bersorak hepi seperti itu. Korban adalah suami Anda."
"Apa? Suami katamu? Aku takkan pernah sudi menjadi istrinya!"
"Tetapi Anda masih memakainya cincin pernikahan. Itu berarti Anda bohong." Jeremy terus mendesak. Ada yang aneh dari pita suaranya yang mendadak gugup.
"KAMU TIDAK TAHU APA-APA, BOCAH SOK!"
Menoleh ke Watson yang memberi sinyal, kode untuk mundur, Jeremy mengangguk. Para petugas kembali menenangkan Nyonya Cleona yang lagi-lagi mengamuk.
"Bagaimana?"
Watson menggeleng. "Wanita itu menyembunyikan sesuatu."
"Yeah, aku juga merasakannya. Mungkinkah dia pelaku sebenarnya?"
Jujur, Watson sudah mendapatkan satu dugaan di kepalanya. Dia bahkan ingin memberitahu Jeremy detik itu juga. Tapi, salahkan satu polisi yang mendadak bergabung ke sana dengan kabar mengejutkan.
"Ada apa?"
"Inspektur, kami menemukan mayat lain di bagasi mobil."
Deon termenung. "Ma-mayat lain?" ulangnya kaget sekagetnya, menoleh ke belakang. Watson, Aiden dan Jeremy sudah meluncur ke tempat mobil terparkir.
"Hati-hati kalian bertiga!" peringat Max.
Mereka refleks menutup hidung, terkesiap melihat jasad asing dalam kondisi terikat di bagasi. Tubuhnya sudah membiru. Mulutnya dibekap kain. Memakai setelan tuxedo khas pengantin pria. Dan di jarinya... ada cincin?
"Dia sudah dibalsam," gumam Aiden dan Jeremy serentak.
Watson diam tak berkutik, mengamati Cleona yang gemetar ketakutan, menggigiti kuku. Mobil wartawan berdatangan, memburu informasi terkini. Bahkan kasus Andeng selesai tiga jam lalu, muncul lagi masalah baru.
Bagus. Kasus lagi saat kami sudah dekat dengan akhir permainan. Watson mengepalkan tangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top