File 0.9.2 - New Problem Again
Menyebalkan! rutuk Watson menahan diri untuk tidak mematahkan pena. Hampir setengah jam bergumul dengan angka-angka sialan itu, dia kembali menemukan jalan buntu.
"Dengan cara apa lagi memecahkan kode ini? Keintensifanku menjadi sia-sia," gumamnya menutup notebook sembari mendecih. Tangan kirinya dia gunakan untuk mengusap anak rambut di kening lantas disandarkan ke titian jendela mobil.
"Sudahlah, jangan memikirkannya dengan hati yang dekil. Itu hanya akan membuatmu makin suntuk." Deon mencoba membujuk, bersimpati pada kerut kesal di wajah cowok itu.
Watson menatap Deon dengan ujung mata, tak tertarik membalas. Pikirannya kacau. Saking kalutnya, dia sampai tidak merasakan lagi rasa sakit di perut.
Tepukan tangan pelan dari bangku belakang menghalau lengang. Siapa lagi kalau bukan Aiden yang dari tadi memang sudah menunggu Watson kembali ke dunia nyata, berbeda dengan Jeremy memilih tidur. Beristirahat.
"Nah, Dan, bagaimana kalau kita bergosip saja menunggu sampai? Mumpung tidak ada pembicaraan. Tidak seru diam-diaman."
Watson menatap tak percaya. Apa tadi katanya barusan, bergosip?
Gadis itu tak peka ketidaksetujuan mimik muka Watson malah memperbagus posisi duduk. "Kamu tahu kan pendiri klub detektif Madoka adalah kakakku? Namanya Anlow Eldwers. Nah, bukan Hellen dan Jeremy lah anggota inti pertama, melainkan Grim Skyther lalu teman masa kecilku bernama Erika Lanneiola."
Watson tak meningkah, namun telinganya mendengarkan. Lidahnya diam-diam kepeleset mengeja nama itu.
"Mereka berdua sama-sama genius, sama-sama tidak mau mengalah untuk mengambil kursi terbaik, sama-sama brilian memberikan hipotesis jitu. Aku dan Kak Anlow berasa hanya nyamuk di klub karena sejam menerima surat permohonan kasus, esoknya langsung selesai. Hebat, kan?"
Tidak ada jawaban.
"Eh, Dan, kamu dengar tidak." Aiden menepuk punggung kursi depan.
"Dia itu cemburu, Aiden," cetus Deon tersenyum geli. "Kamu terang-terangan menceritakan teman-temanmu yang pintar kepadanya, tentu saja dia iri. Terutama pada lelaki yang bernama Grim Skyther itu. Dia pasti merasa kalah saing."
Tanda jengkel muncul, namun Watson masih sigap memasang wajah datar tak peduli. "Fitnahmu keterlaluan, Inspektur. Anda lupa Anda seorang polisi?"
"Kalau begitu kenapa kamu diam?"
Hayo, skakmat.
Diam lima detik, Watson berdeham pelan. "Begini-begini, saya lolos dari ujian dan diterima di Akademi Alteia."
Deon menginjak rem mendadak tanpa peringatan membuat para penumpang terjungkal sejengkal dari kursi masing-masing, selamat karena seatbelt.
Watson mengumpat, refleks meraih pegangan plafon. Sumpah serapah keluar dari bibirnya. Jeremy terdorong pelan, tapi masih tidur. Tidak terganggu sama sekali. Sepertinya dia sudah melatih diri untuk mati suri.
Aiden sendiri malah memajukan badan ke tempat bangku Watson, menatap kaget. "APA?!" serunya dan Deon serempak. "Kamu diterima di sekolah paling sulit dan pemilih itu? Astaga! Ini kabar baru!"
"Kenapa sih?" kata Watson jengkel. "Memangnya kalian tahu sekolah itu?"
"Tentu saja! Bahkan aku berani bertaruh, anak kelas satu sekolah dasar sudah tahu tentang akademi tersebut!" sorak Aiden menggebu-gebu. "Hanya diperuntukkan untuk pelajar cerdas, sekolah khusus anak-anak emas, berakreditasi tinggi, memakai sistem asrama dan dijunjung amat banter oleh departemen pendidikan internasional. Mereka juga mengadakan tiga ujian dengan level rendah, menengah, dan tinggi. Aduh, Dan, kenapa kamu tidak pernah bilang soal itu? Kak Anlow pun dikalahkan oleh ujian super sulitnya!"
Watson bergumam. Memang benar saat dia mendaftar dulu, ada tiga tahap kategori ujian. Jika lolos sesi pertama, maka tingkat soal semakin dipersulit, begitu seterusnya. Satu lagi, sekolah Alteia tidak memandang kaliber para pendaftar.
"Bagaimana cara kamu lolos dari ketiga ujian maut itu?"
Lalu, bagaimana caranya juga Watson menjawab pertanyaan itu? Dia tidak mungkin bilang belajar tiap hari tiap malam semingguan sampai jatuh sakit untuk mempersiapkan otak demi menjawab soal-soal yang sulitnya tak berotak itu. Alih-alih dikira belajar, mereka pasti berpikir Watson memakai guna-guna.
Deon menghela napas, memutar setir agar kembali bergerak ke jalan. "Aku tidak salah menilaimu pertama kali, kamu memang sangat pintar."
Watson menggeleng. "Aku tidak pintar. Aku hanya belajar dan mendapatkan hasil memuaskan," koreksinya anteng.
"Jika kamu menolak dikatakan pintar, baiklah, tapi izinkan aku memuji kegigihanmu untuk masuk ke sekolah itu."
"Yeah, aku sudah menargetkannya."
"Apa kamu mengejar sesuatu, Dan? Oh! Cita-citamu apa memangnya?"
"Aku tidak mengejar apa pun. Rivalku berhasil masuk ke sana lebih dulu, jadi aku termotivasi untuk menyeimbanginya. Soal cita-cita..." Watson diam sejenak, mengangguk samar. Yah, anggap saja impian sementara. "Mungkin ingin jadi penulis novel?"
"Ya ampun! Itu di luar dugaan sekali! Mau jadi penulis cerita apa?"
"Romance."
Semburan tawa Deon menohok Watson, membuat wajahnya merona. "Hei, terserah aku mau menulis apa. Anda urus saja pekerjaan Anda yang menumpuk itu. Jangan meledekku."
"Yang meledekmu siapa?"
Watson mendengus.
"Tapi, Dan..." Aiden mengetuk-ngetuk dagu. "Kamu punya rival? Siapa?"
"Jam Horror."
"Jam hantu?" celetuknya polos.
"Bukan. Namanya Jamos Rotloz Horrori. Jadi itu singkatan saja."
"Wow! Keren juga," puji Aiden lurus. "Tapi namamu lebih keren, Dan. Aku suka memanggilmu 'Dan, Dan, Dan' karena pendek plus singkat, tidak belibet pula. Bikin ketagihan, iya."
Watson mendengus lagi.
"Ngomong-ngomong soal klub detektif Madoka yang pertama," Deon berkata untuk kembali ke topik awal. "Kasus apa yang kalian ambil sampai-sampai kakakmu meninggal?"
"Ah, itu," Aiden menghela napas panjang. Sudah waktunya dia membicarakan soal itu. "Kasus pembunuhan—"
Lampu lalu lintas menyala di warna merah. Mobil yang mereka naiki berhenti, memotong kalimatnya. Dari arah depan, berhenti juga satu sedan konvertibel orange yang menyorot terlalu nyalang.
Mereka sampai di jalan raya yang diapit lapangan rumput. Bukit-bukit mulai terlihat namun samar oleh gerimis sekaligus badai.
Jeremy terbangun. Kaca mobil yang berembun tidak menutup akses penglihatan ke lapangan luas di samping jalan itu, menampilkan satu mobil hitam tepat di tengah-tengah.
"Kasus apa, Aiden?" Watson bertanya penasaran, tidak suka digantung.
Aiden menghela napas kasar. "Kasus pembunuhan Marionette & Puppeteer (akan ada seriesnya nanti setelah buku ini tamat)." Sukses menciptakan kernyitan di dahi dua orang itu.
"Kasus... Marionette? Itu kasus apa?"
"Pembunuhan berantai yang sadis. Kakakku sangat frustasi karena tidak menemukan petunjuk keberadaan pelaku, dan berakhir terbunuh. Kematiannya pun juga menjadi misteri. Ditambah, bertepatan pemakaman Kak Anlow, Grim dan Erika menghilang entah ke mana hingga sekarang. Mereka seolah tidak pernah dilahirkan."
Sepertinya menarik. Watson ingin bertanya lebih lanjut, tidak sebelum suara Jeremy menginterupsi percakapan mereka.
"Eh, guys, lihat tuh di lapangan!" kata Jeremy sibuk memicingkan mata, menyeret Aiden supaya ikut memperhatikan. "Kalian lihat ada orang gila berdiri di dekat mobilnya dan basah-basahan."
"Yang mana sih? Aku tidak bisa melihatnya, terlalu kecil. Geser kek."
Deon dan Watson mau tak mau ikut beringsut, melupakan lampu rambu sudah menyala di warna hijau.
"Benar deh. Itu orang kenapa hujan-hujanan! Tidak takut badai, hah?" seru Aiden setelah berhasil menangkap satu manusia berdiri di lapangan, di dekat mobilnya.
Watson menelan ludah. Apa ini? Perasaan merinding dari mana ini?
Dan begitu sedan di depan melewati mobil mereka, suara petir keras menyambar bumi, memekakkan gendang telinga. Bertepatan dengan sosok di lapangan yang tiba-tiba jatuh ke tanah.
"Lho! Lho! Orang itu jatuh! Dia jatuh!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top