File 0.9.10 - The True Meaning of The Code

Case closed!

Watson mengepalkan tangan, menyeringai senang. Dengan begini, tidak ada lagi penghalang menuju paviliun Poorstag. Dia akan memecahkan arti kode itu hari ini juga. Satu kasus pelik tak bisa menghentikan misinya.

"Ayo, kita berangkat sekarang—"

"Tunggu, Watson," Deon mencegah. Mengambil secuil waktu sebelum menyusul rekannya. "Bisakah kalian menunggu sebentar di sini sampai aku kembali? Aku tidak bisa melepas kalian sendirian ke gunung itu."

Guyonan yang hambar. Apa Deon tidak mengerti juga bahwa Watson saat ini sudah seperti cacing kepanasan lantaran tertahan berjam-jam di sana demi menyelesaikan kasus Adams. Tidak ada lagi kata menunggu.

"Maaf, Inspektur, tapi kami tak bisa lagi menunggu. Ini sudah pukul delapan malam. Jika terus diulur, jam keburu berputar larut." Jeremy menggeleng.

"Tapi itu berbahaya."

"Kami tahu akan ada yang menanti di tempat itu, namun kami harus pergi. Kalau tidak begini saja, silakan urus Nyonya Cleona dan datang ke vila Poorstag setelah selesai." Watson memberi usul.

Bagus. Dalam dunia komersial, sherlock pemurung itu patut diacungkan jempol soal tawar-menawar. Dia paham persis Deon cemas membiarkan mereka bertiga ke gunung tanpa adanya orang dewasa, cemas terjadi apa-apa apalagi sudah malam begini.

Maka dari itu, penawaran Watson adalah jalan tengah perdebatan kecil ini. Tidak ada yang dirugikan. 

Deon mengangguk. "Ingat, tetap waspada. Jika memang di luar kemampuan, cari tempat bersembunyi!" peringatnya dan berlalu. Lapangan TKP perlahan sepi. Tinggal beberapa petugas daerah.

"Ayo!"

Jarak tempuh ke vila Robin tinggal beberapa mili lagi. Mereka diuntungkan lokasi TKP memangkas jarak tujuan. Hanya perlu menaiki tanjakan khas kontur gunung.

Dua puluh menit berlari, Jeremy meminta istirahat pertamanya. Wajahnya pucat pasi. Bahunya naik-turun. Tersengal.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Sedikit lelah." Bohong. Luka di punggungnya jelas menggerogoti staminanya. Melemahkan sekujur bagian korteks.

Watson bersandar di batang pohon, mengusap poni yang mengganggu. Matanya terbuka-tertutup. Jarak memang membantu, namun kondisi mereka tidak fit. Dua cowok kehabisan tenaga.

"Apa kita tunggu Inspektur saja, Dan?"

"Tidak bisa, Aiden. Aku mencemaskan sesuatu. Aku harus dapat petunjuknya." Mata Watson berkunang-kunang, memaksa tetap terbuka. Ambisinya ke vila Robin sangat besar. "Ayo kita lanjut!"

"Jeremy dia tidak kuat lagi—"

"Aku masih bisa, Aiden!" Jeremy menukas. Keras kepalanya kambuh. "Jangan lupa, aku ini tameng kalian."

"Dan jangan lupa, tameng pun terkadang harus berhenti melindungi ketika batasnya tiba." Aiden melotot.

"Ini bukan waktunya perang mulut, Aiden. Perhatikan situasinya. Bagaimanapun kita harus ke vila Robin malam ini. Semoga Watson mendapat jawaban kode angka-angka menyebalkan itu."

Ya, itu benar. Tapi bagaimana jika sudah susah payah kemari, sudah berjuang ke sini, lagi-lagi Watson tak mendapatkan titik terangnya? Watson takut mengecewakan.

Akhirnya, setelah istirahat empat kali, mereka sampai juga di vila yang dituju. Dekut kawanan hewan nokturnal terdengar, membuat pelataran horor. Tapi lupakan kegiatan paranormal, ada yang mendesak sekarang ketimbang mengobrol dengan makhluk halus.

Nah, otak, masih ada pekerjaanmu satu kali lagi di hari yang sibuk ini. Banyak, ya? Tapi bersabarlah sampai penjahat anak itu tertangkap. Ayo bantu aku!

Tanpa perhitungan, Watson mengambil langkah cepat untuk memutar gerendel, mendorong pintu hingga menimbulkan suara derit kecil. Bebepara police line masih ada di sana, saling bersilangan.

"Apa yang kita cari, Watson?"

"Barang yang bisa dijadikan petunjuk. Entah berupa mainan, remukan kertas, catatan atau guratan di kayu, dipan, sesuatu yang tersembunyi di benda-benda padat. Kita harus bergegas!"

Duh, ini sama saja saat mencari Roxa di Stadion Terminus. Mencari berdasarkan firasat, tak adakah pendekatan yang detail? Watson sendiri tidak percaya diri dengan ucapannya.

Sepuluh menit berlalu lengang. Ketiganya sibuk mengusai vila.

"Kamu yakin ada sesuatu yang kita lewatkan di sini, Dan? Kamu tidak ada ide memperjelas rincian petunjuk yang kita cari?" Aiden menyeka peluh.

Kalau ada ide, Watson bisa mempersempit titik buta pemeriksaan ini. Dia hanya butuh satu benda saja, penghubung angka-angka keramat itu!

Sibuk menggerutu dalam hati, kaki Watson menuntunnya ke kamar Robin, menemukan kaca seukuran badan di sana.

"Cermin lipat tiga sisi? Kenapa ada di sini?" gumam Watson berdecak pelan. Seolah tersihir, dia memandang lama benda tersebut. Menempelkan tangan ke permukaan cermin.

Barulah Watson terdiam. Yang sebenarnya dia cari ke sini bukanlah petunjuk. Tetapi, cermin yang menyadarkan Watson bahwa petunjuknya sudah ada di genggamannya.

Bibir Watson bergetar. Terkekeh getir. "Jadi begitu, ya. Mau sampai kapan kamu bersifat 'berlebihan'? Mungkin inilah penyebab Jam membencimu. Sialan kamu, Watson Dan."

002562. Itu kode yang mudah sekali. Seharusnya Watson berpikir sederhana sebab yang membuatnya adalah anak kecil. Tetapi dia malah menyulitkan otaknya sendiri, mengabaikan kesederhanaan yang diperlukan temporal.

Perkataan si gadis jorok yang salah melihat posisi Watson karena dikelabui pantulan cermin. Ditambah celetukan Jeremy yang menyinggung lingkaran derajat. Nomor ini dibaca simetris. Robin pastilah berada di sisi sebelah Child Lover saat menulis angka-angka tersebut hingga terbalik menyimpulkan. Inilah arti kode sesungguhnya.

265200.

"Ng?" Watson mengerjap. "Lho, kok, kenapa angka ini terdengar familiar? Apa aku pernah melihatnya? Di mana?"

Obrolan lampau hari menyelinap tanpa permisi ke kepala Watson.

"Kepala sekolah tewas sekalipun, kamu takkan tahu. Kamu hanya peduli pada orang yang kau akui, Watson."

"Kamu meledekku?"

Hellen menutup loker sepatunya. Label 265200 tertera di sana. "Apa? Aiden mengajakmu menginap ke rumahnya? Kamu bercanda? Tapi setelah kupikir-pikir, kita memang agak non-stop beberapa hari ini. Kita butuh penyegaran otak. Makanya Aiden mengundang kita ke rumahnya."

Kepala Aiden nongol dari celah pintu. "Bagaimana sekarang, Dan? Kita sudah setengah jam..." ucapannya tertelan kebingungan melihat Watson yang mematung horor. "Dan? Kamu baik-baik saja? Hei, Dan!"

Tangan Watson gemetaran. Mimiknya seakan sedang menghadapi maut.

Jangan bilang, target terakhirnya Hellen?

Klop! Pintu vila terkatup oleh angin. Mengurung mereka bertiga di dalam.

*

Di ruang klub, Hellen mengembuskan napas lega. Badai sudah berhenti. Kasus Adams juga telah diselesaikan. Waktunya beristirahat seraya menunggu penyelidikan teman-temannya beres dan pulang.

Eh, kalian pikir mudah apa menjadi pengarah jarak jauh. Hellen bersitungkin membuat banyak tap di peramban, mengecek satu per satu, itu pun tak mudah merangkumnya. Apalagi saat memeriksa rekaman CCTV.

"Jadi teringat masa lalu." Hellen bernostalgia, menopang dagu.

Saat dimana masih ada Grim, Erika, dan Anlow. Bersama-sama menumpas kejahatan. Hari-hari yang menyenangkan itu kini tinggal kenangan.

"Ya ampun, kalian ada di mana sih? Grim. Erika. Apa kalian benar-benar tidak mau kembali ke Madoka?"

Kesiur angin malam menyibak gorden jendela. Lamunan Hellen pecah, menoleh ke samping. "Padahal aku masih menginginkan masa-masa hangat itu, tetapi kalian malah pergi. Dasar menyebalkan."

Di antara mereka bertiga, Hellen lah yang paling terpukul begitu mengetahui Grim dan Erika keluar dari sekolah.

Bukan karena apa. Hellen dan Erika itu teman baik. Hati Hellen gelisah berkepanjangan belum juga mendapat kabar dari dua orang itu. Pergi ke mana mereka sebenarnya.

Lampu di plafon klub berkedip-kedip, ditambah angin malam yang semakin berhembus kencang. Seolah mendukung kegalauan Hellen.

Suara portofon terdengar parau.

"Ng?" Hellen menyambar benda tersebut. "Apa mereka sudah selesai? Halo? Kamu butuh sesuatu lagi, Watson?"

[Pergi... sana... Cepat... Stern...!]

Alis Hellen berkerut, menatap radio walkie-talkie, mengetuk beberapa kali. Sinyalnya payah sekali. "Kamu bilang apa? Aku tidak bisa mendengarmu."

[Mengincarmu... Target... Pergi... Cepat!]

Lantunan gelombang suara Watson menghasilkan suara dengung keras. Hellen terpaksa bangkit dari kursi, mengangkat tinggi-tinggi portofon. "Ayo coba bilang sekali lagi. Aku tidak kedengeran."

Lampu padam total. Hellen tersentak, menoleh bingung kiri-kanan. "Aduh, listriknya mati. Untung kami punya genset."

Sebuah siluet bayangan menyeringai di belakang Hellen yang sibuk mencari senter. Tangannya terangkat memegang balok.

"Tunggu sampai aku memegang senter, Watson. Listriknya mati. Aku tak bisa melihat apa pun."

Dan seolah ada keajaiban, sinyal portofon mendadak penuh, menghasilkan suara lengking yang jelas.

[CEPAT PERGI DARI SANA, STERN! CHILD LOVER MENGINCARMU! KEMUNGKINAN DIA DI SEKOLAH SEKARANG!]

"Eh...?"

Blam! Suara keras menghuni keheningan malam di sekolah ternama Madoka. Tidak ada satpam berkeliling. Tidak ada yang melintasi ruang klub detektif. Sunyi kosong.

Hellen jatuh tersungkur. Portofon di tangannya menggelinding sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top