File 0.8.8 - Bad Feeling and Black Ribbon

Langit tak mendukung hari ini. Awan gelap pitam sejak subuh dan badai kencang. Suara gemuruh cetar membahana. Sesekali kilat menyambar membuat bumi terang sekilas. Sungguh cuaca yang tidak pas untuk berkeliaran di luar.

Watson menatap halaman sekolah dari ruang klub—dia berangkat pagi sekali pukul enam diantar oleh pamannya. Hanya terhitung jari murid-murid Madoka nekat menerobos badai dan gerimis. Bisa dispekulasikan bahwa hari ini tidak belajar.

Tentu saja kata 'libur' tidak berlaku bagi member klub detektif Madoka.

Pintu terbuka.

Hellen masuk ke dalam dengan berdumal, melipat payung. "Astaga! Padahal gerimis, tapi aku nyaris basah kuyup dibuatnya!"

"I-itu karena badainya, Hellen," celetuk Jeremy memakan kacang. Dia sedikit kikuk melihat kaki jenjang Hellen yang tidak dibungkus kaus kaki. Apalagi rok Madoka di atas paha.

"Matamu, heh!" Hellen melotot, seakan ingin mencolok kedua retina Jeremy dengan kedua jarinya. "Dasar omes."

Jeremy balik mendelik tak terima. "Makanya pakai kaus kaki kalau tidak mau pamer kulit!"

"Dasar tak peka! Itu basah, bodoh! Kamu tidak lihat hari hujan, huh?"

"Peduli amat."

Membiarkan dua oknum itu saling memelotot, Watson tetap memperhatikan halaman. Bagus, Hellen sudah datang. Sekarang mereka hanya perlu menunggu Aiden. Jam menunjukkan setengah tujuh lewat lima menit.

Menyentuh dada, jantung Watson tak tenang sejak dia berangkat sekolah. Astaga, firasat buruk apa ini? Apakah karena cuacanya? Watson mengusap wajah gusar. Dia harus tenang.

"Mau, Wat?" tawar Jeremy menyodorkan cemilan kacang yang sedang dilahapnya.

"Boleh." Watson mengambil dua buah.

Aiden baru datang pukul tujuh kurang sepuluh. Saat badai semakin menggila dan petir juga tak jauh kalah ribut.

"Maaf aku terlambat, macet di jalan." Gadis Penata Rambut itu menyeka anak rambut yang terkena tempias hujan.

Watson diam. Firasatnya bertambah tak enak. Aiden menguncir longgar setengah rambutnya, mengikatnya dengan pita hitam polos tak bermotif. Talinya terulur ke bawah. Hujan dan udara lembap sepertinya membuat Aiden malas menghias gaya rambut yang ribet.

Tersentak, gadis itu menoleh, mengernyit melihat Watson menatapnya masam. "Ada apa, Dan?" tanyanya bingung. Masih pagi lho ini. Bukankah terlalu awal buat mood Watson jelek?

"Kenapa harus hitam? Kenapa tidak warna lain saja?" Watson berkata frontal sembari menunjuk pita hitam di rambut Aiden.

"Ah, ini... Aku terburu-buru takut terlambat dan sembarang ambil pita deh," sahutnya cengengesan. "Memangnya kenapa? Dan tidak suka gaya rambut simpel begini?"

Tidak ada masalah dengan hairstyle Aiden. Yang mengganggu pikiran itu adalah warna pitanya! Menambah kerisauan Watson.

"Sudahlah. Kita harus mulai bicara—" Lampu ruang klub mati-hidup, menghentikan kalimat Watson. Mereka berempat mendongak ke alat guna penerang itu. Sial, ini kabar buruk jika listrik padam. Jaringan akan ikut menghilang.

Aduh. Apakah ini firasat buruk Watson? Ini gara-gara Aiden yang memakai pita hitam!

Yang disumpahi sedang melirik ponsel. "Dan, Nyonya Immith terjebak macet. Sepertinya beliau akan tiba sekitar satu jam lagi."

Sekali lagi Watson memperhatikan lampu klub yang kerlap-kerlip, menghela napas singkat, menarik kursi. "Baiklah, kita langsung saja masuk ke pembahasan tentang kasus Hindegrass," katanya membuka diskusi. "Stern, apa kamu melakukan apa yang kusuruh?"

Hellen mengangguk, menyerahkan beberapa lampiran surat yang sudah di-print. Watson, Aiden, dan Jeremy segera menerima dan melihatnya.

"Aku mendapatkan catatan pemasukan uang per bulan dari tahun 2016. Moneter Andeng ditanggung oleh Rana News, 150 juta dolar di setiap bulannya. Kepala sekolah, Tuan Ayorac, menunggak gaji guru akibat memakai kurikulum yang tidak sesuai standar pendidikan sehingga dulu Andeng amat buruk reputasinya.

"Tetapi, suntikan dana itu terhenti pada bulan September tahun 2018, ketika Tuan Ayorac mengganti sistem pendidikan Andeng sehingga lama-kelamaan menjadi sekolah bergengsi. Beliau meminta pendapatan CEO Rana News dengan transfer rekening  rahasia untuk membangun kembali citra Andeng dan berutang banyak."

Watson duduk bersilang, melipat tangan ke dada. "Apa kalian ingat tentang Tiara Dewata?"

"Bukankah itu target dari pelaku Kebencian Keluarga Harga Palu, Via dan teman-temannya, yang gagal diculik?" Jeremy buka suara.

"Yeah. Kita salah menduga Tiara Dewata lebih dulu diculik oleh CL dibanding mereka. Nyatanya si Ayorac, kepala sekolah Andeng lah yang menangkap anak ini. Menghitung hari, sepertinya sudah hampir sebulan Tiara diculik."

"Motifnya?"

"Balas dendam harga diri." Watson mengangkat bahu, memperbaiki sweater yang menggar. "Ironis sekali. Padahal Om Roldan... Maksudku CEO Rana News hanya membantu finansial Andeng bukan karena kasihan atau sarkastis, melainkan pertolongan teman masa remaja. Stern..."

"Ah, iya! Presdir Rana News satu sekolah dengan Ayorac tahun 1989."

Aiden menatap bingung. "Lalu apa hubungannya dengan kasus Hindegrass, Dan? Apa motif kepsek Andeng membunuh Tiara Tardea dan menjadikan Kak Ommatz pelakunya?"

"Karena mereka salah menculik murid."

Ketiganya syok di kursi masing-masing,  bergeming membeku. "Apa? Salah menculik?"

"Tiara Tardea dan Tiara Dewata, memiliki nama depan yang sama sehingga membuat Ayorac bingung."

"Tapi...! Bukankah seharusnya Tuan Ayorac mengetahui marga anak CEO Rana News?! Dia bisa langsung tahu yang mana putri temannya, kan? Terlebih, Tardea dan Dewata berbeda sekolah serta angkatan."

Watson menepuk tangan pelan. "Pertanyaan bagus, Aiden. Tapi jawabannya sangat sederhana—"

"Itu karena Ayorac tidak tahu wajah putri CEO Rana News, bukan?" potong Hellen menatap serius layar laptop. "Aku mencari artikel mengenai perusahaan itu dan benar saja, halamannya hanya penuh reputasi, foto-foto presdir bersama kolega dan partner bisnis, para naratama dan kunjungan antar cabang. Proyek, fotograf keberhasilan kerja sama. Tidak ada yang menyangkut tentang keluarganya."

Astaga? Watson menatap Hellen datar namun sebal. Apa dia baru saja memotong kekerenan analisisnya? Tidak dapat dipercaya!

Jemari Hellen menari bebas, mengetuk sesuatu. "Aku juga menemukan rekaman CCTV jikalau dua Tiara ini berteman bersama Miya Lesla," katanya memutar layar laptop, menampilkan sosok tiga sekawan dengan sekolah beda, berbarengan memasuki kedai es krim.

Sudah kuduga, mereka bertiga berteman. Watson menahan gumaman, berpikir. Ada yang tidak aktif di sini.

"Hmm..." Aiden mengelus dagu. Mencoba menarik kesimpulan. "Kalau Tuan Ayorac memang mengincar putri presdir Rana News, pastilah dia mengutus anak buah untuk memata-matai mereka. Mungkin dengan cara dramatis, entah siapa yang memulainya—kita anggap saja Miya—memanggil salah satu dari mereka 'Dewata'. Tapi seruannya malah tertuju pada Tardea, menimbulkan kesalahpahaman."

Jeremy menarik napas pendek. Dia dari tadi diam mendengarkan, tidak punya usul. "Aiden, Hellen, meski mereka salah menculik target, tetapi mereka kukuh membenarkan kesalahan dan membunuh Tiara Tardea lalu menyekap Tiara Dewata. Apa motifnya membunuh Tardea dan melemparkan kesalahan itu pada Kak Ommatz? Itulah yang harus kita pecahkan."

Mereka berdua mengendikkan bahu. Jeremy menoleh ke Watson, diikuti mereka.

Air muka Watson berubah horor. "Ya ampun... kalian ini selain tidak sabaran, tukang mendesak, juga tidak mau berpikir ribet ya."

Tiga anak itu cengengesan. Wajah tak berdosa. Dasar manusia! "Baiklah. Bari, mana laporanmu?" katanya malas. Dia harus ekstra sabar meladeni sikap para anggotanya itu.

"Oke!" Jeremy mengeluarkan beberapa lembar lampiran yang sama dengan Hellen namun berbeda perihal. "Namanya, Thomasen Thanase, 18 tahun. Kakak kelas klien yang akan segera mengikuti ujian nasional. Dia memiliki hubungan buruk dengan Kak Ommatz sebab melengserkan kedudukannya dari grup olimpiade..." Jeremy mengernyit. Lah? Kenapa dia harus iri karena klien mereka mengambil kursi olimpiade? Bukankah itu wajar karena dia mau ujian, kan?

Bari tak mengerti motifnya, gumam Watson dalam hati membaca perubahan raut wajah cowok berkacamata itu.

"Tampaknya Ayorac melakukan psikoanalisis yang baik sehingga membuat Kak Thanase mengikuti perintahnya," ucap Hellen pendek. "Maksudku mereka sama-sama punya motif balas dendam. Bisa jadi Kak Thanase sangat mudah untuk diprovokasi. Dengan menjatuhkan citra Kak Ommatz menggunakan dalih tersangka, itu akan mengembalikan namanya yang merosot."

"Yah, itu bukannya tidak mungkin sih."

Watson selesai menulis rangkaian peristiwa di papan kaca.

"Singkatnya begini. Kedatangan Miya ke Andeng saat waktu kejadian adalah demi mencari Tardea untuk membicarakan lebih lanjut masalah diculiknya Dewata. Tapi dia keliru memilih waktu, jam pelajaran olahraga, atau lebih tepatnya panggung pembunuhan Tiara Tardea. Sepenghuni kelas klien sudah disuap untuk menutup mulut. Korban sendiri tidak bisa membela diri karena sudah 'ditekan'. Tak ada yang bisa menolong. Walaupun dia bisa melarikan diri saat itu, Ayorac akan memburon dirinya. Pasrah akan hal itu, Tardea pun meninggal dengan ganas."

Suasana klub hening sejenak, menyisakan suara gerimis dan badai di luar gedung.

"Ngomong-ngomong Dan..." Aiden bergumam pelan. Alisnya berkerut. "Ada yang menggangguku sejak kemarin."

"Apa?"

"Menurut video yang direkam oleh Miya, kenapa Kak Ommatz sama sekali tidak menyadari ada yang melompat bersamaan dengannya? Kenapa dia tidak melihat Tardea ditusuk oleh Kak Thanase padahal itu persis terjadi di sampingnya? Bahkan tongkat yang dipegangnya amat beda sama sekali."

Akhirnya. Pertanyaan yang Watson tunggu-tunggu keluar juga!

Baru juga hendak membuka mulut, pintu klub terbuka. Jarum jam tepat berhenti di angka dua belas. Pukul delapan pagi.

"Maaf saya terlambat." Immith menepuk-nepuk ujung rambut yang basah.

"Kamu sepertinya tidak sungkan lagi meneleponku, ya?" Deon tersenyum bisnis, saling tatap dengan Watson.

Ini dia. Perusak kedua sisi kerenku sedang beranalisis. Tidak bisakah mengetuk atau menunggu sebentar? Watson cemberut, menggerutu dalam hati.

Deon menyapu pandangan ke seluruh anggota klub detektif Madoka, bersedekap. "Baiklah, aku sudah mendengar garis besarnya dari Nyonya Hindegrass dan Aiden. Haruskah kita mulai menyelesaikannya?"

Petir yang menjawab.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top