File 0.8.7 - Smart Nephew

Watson menatap tak mengerti. Aiden menelan ludah. Hellen tak melepaskan pandangan dari ponsel Miya. Dan terakhir, Jeremy menatap tak berkedip.

Apa-apaan ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa yang direkam oleh Miya berbeda seratus persen dari kejadian yang diceritakan? Lagi, dugaan Watson terbukti kuat. Ommatz tidak bersalah.

Lihatlah, yang melompati tiang mistar memang Ommatz. Tapi dari sisi depan, juga melompat murid lain. Lompatan mereka berbarengan, bedanya Ommatz ke depan sementara murid itu ke belakang. Tongkat kayunya menusuk Tiara Tardea. Darah memuncrat. Rekaman itu segera buram sebab Miya pasti gemetaran menyaksikannya secara langsung.

"A-apa maksudnya ini?" Aiden seperti biasa pertama kali membuka suara.

"Ini rumit sekali." Jeremy mengepalkan tangan, menoleh ke Miya yang menunduk takut. Jeremy tersenyum, mengusap kepalanya. "Jangan khawatir, kamu tidak sendiri. Kami akan melindungimu."

Dia mengangguk lemah.

Hellen menoleh cepat pada Watson yang tampak tenang. "Bagaimana, Wat? Apakah dengan ini kita bisa menangkap pelaku yang sebenarnya?"

Watson diam, menatap Hellen datar. Entahlah Hellen tak bisa membaca apa yang sedang dipikirkannya. Apa maksud dari mimik ekspresi itu?

"Kenapa diam?"

"Dan! Kita harus bertindak! Apa yang akan kita lakukan setelah ini?" seru Aiden menahan marah. Ommatz jelas tidak tahu apa-apa di sini, namun malah dia yang kena batunya.

Jeremy juga menatap Watson. "Apa pendapatmu?"

"Dan, kita tidak bisa membiarkan kesalahpahaman besar ini. Kak Ommatz tidak bersalah. Murid ini, entah siapa dia, membunuh Tiara Tardea terang-terangan begitu, dia pasti hanyalah suruhan."

"Katakan, Wat, apa tindakan kita! Kenapa kamu malah diam saja sih?"

"Watson, apakah kamu terganggu lagi seperti lusa lalu?"

Bagus. Mereka bertiga sekarang mendesak Watson akan apa yang harus mereka lakukan setelah mengetahui kebenaran itu.

"Bisakah kita tenang sebentar!" seru Watson sebal. Dia tak bisa berpikir jika dipepet, apalagi tiga orang sekaligus. "Aku bukan robot yang bisa memberikan saran cepat."

Demi melihat wajah kesal Watson, akhirnya mereka bertiga diam, tak buka suara lagi. Menahan pertanyaan sebisa mungkin.

Watson mengembuskan napas panjang, menghadap ke Miya yang takut padanya. "Apa kamu kenal Tiara Dewata?"

Mendengar nama itu, Miya yang sejak tadi menunduk takut, spontan mengangkat kepala. "Ke-kenapa kakak bisa tahu nama temanku?" tanyanya dengan suara tercekat.

Watson diam membuat Miya gemas. Dia melepaskan pegangan Jeremy, menarik-narik seragam sekolah Watson. "Kenapa kakak tahu Tiara?! Apa Kakak kenal temanku?! Katakan padaku! Apa kakak mengenal Tiara?!"

Aiden, Hellen dan Jeremy saling tatap. Tiara Dewata? Siapa lagi itu?

Watson membungkuk, menatap Miya datar. "Mulai sekarang, kamu harus menjawab semua pertanyaanku untuk menemukan Dewata. Paham?"

Miya mengangguk.

"Dan, siapa itu Tiara Dewata?" tanya Aiden tak sabaran.

Watson mengangkat tangan, tanda agar mereka bertiga diam. "Apakah kalian sering pulang bersama?"

Miya mengangguk. "T-terkadang aku pulang sendiri jika suruhan Ayah Tiara menjemputnya."

"Apakah kalian punya suatu tempat yang dikunjungi setelah pulang sekolah?"

"Kami sering pergi ke toko es krim."

"Kapan Dewata menghilang?"

"28 Maret, Selasa."

Watson menoleh ke Aiden. "Hei, tanggal berapa kita mengambil kasus Kebencian Harga Palu?"

Aiden mengingat-ingat, tetapi gagal. Dia pun meminta bantuan Hellen yang selalu membawa catatan kemana-mana.

"5 April, Watson."

Jeremy menahan napas. Kenapa Watson membahas kasus yang sudah selesai? Apa ada hubungannya? Dia gemas ingin bertanya tapi tertahan terus, tidak ingin mood Watson jelek dan mogok bicara.

Sembilan hari, ya? Watson memejamkan mata, mengembuskan napas perlahan, berdiri. "Kita selesai hari ini. Miya, salah satu pengawal kakak ini," dia menunjuk Aiden yang linglung, "akan menemani dan mengawalmu sampai penjahat yang menculik Tiara Dewata tertangkap. Jadi patuhi mereka. Paham?"

"Ta-tapi, apakah Kak Watson bisa menemukan Tiara? Berjanjilah padaku."

Masalahnya, aku tak bisa berjanji apakah dia masih hidup atau tidak. Tapi, aku berjanji akan menemukannya. Watson menghiraukan permintaan Miya, melengos pergi begitu saja menuju gerbang sekolah.

Aiden, Hellen dan Jeremy mengikuti tanpa banyak tanya. Hari ini melelahkan.

*

Di rumah, Watson masuk ke ruang kerja pamannya tiada salam atau ketukan.

"Ada apa?" tanya Beaufort. Dia kenal sifat Watson yang sebelas dua belas dengan kakaknya, menyelonong seperti kucing. Tapi mengingat Watson anak pendiam, berani masuk ke tempat kerjanya, itu berarti ada sesuatu.

"Aku ingin Paman memanggil Om Roldan kemari malam ini juga." Watson berkata ke inti sari, datar, dan mantap.

Beaufort mengernyit. "Kenapa..." matanya refleks membulat, menangkap maksud perkataan keponakannya itu. "Jangan bilang kamu sudah mendapatkan petunjuk tentang putri Roldan?"

"Yeah, aku ingin bertanya-tanya pada beliau supaya besok bisa kembali melanjutkan penyelidikan." Watson mengakhiri kalimatnya dan keluar dari situ. Anak yang to the point sekali.

Sudut bibir Beaufort terangkat, mengambil ponsel.

Watson duduk di sofa ruang tamu, menatap langit-langit, menghela napas panjang. Pikirannya berkecamuk. Semua informasi berkelindan ke sana-sini, meminta untuk segera ditangani. Jika kelepasan, Watson bisa stres dan berteriak-teriak layaknya orang gila. Dia harus pandai-pandai mengendalikan kecamuk pikirannya.

Tentang angka 002562. Tentang Robin. Tentang Tiara Dewata. Tentang korban. Tentang Ommatz. Tentang Grim Skyther... Eh, kenapa Watson memikirkan orang itu?

Tiba-tiba, rasa dingin freezer menghinggapi pipi Watson membuatnya berjengit.

"Tante! Dingin!"

Noelle terkekeh, menyodorkan sekaleng kola pada Watson yang bersungut-sungut memperbaiki posisi duduk. "Wajahmu capek sekali. Pasti lagi banyak pikiran."

Watson mengangguk, meneguk kola itu. Terasa segar di tenggorokan.

"Apakah kamu sedang menyelidiki kasus yang sulit, Danna?"

Watson tersenyum tipis. Kadang-kadang Noelle memanggilnya begitu, menambah dua huruf di akhiran. Katanya sih terdengar imut saat dipanggil. Itu pun kala beliau ingin bermanja ria dengannya.

Mengangguk, Watson kembali meminum kola. "Penjahat di kota ini tidak bermartabat. Aku kesal mereka menggunakan orang lain atas kejahatan mereka."

Noelle terkekeh. "Tapi kamu senang menyelidikinya, kan? Kamu sama seperti Ayahmu, Danna, semangat mencari pelaku."

Entahlah. Watson tidak terlalu ingat masa kecilnya. Ingatannya menjadi samar karena benturan yang dia dapatkan dari ledakan itu. Tetapi satu hal yang pasti, dia dan kedua orangtuanya terhubung dengan fakta kecil tersebut.

"Makanya cepatlah bangun."

Watson tersentak. Menoleh.

Noelle tersenyum. "Cepatlah bangun dan buktikan pada mereka, bahwa kamu bisa mencari kebenaran yang mereka sembunyikan."

Benar. Watson tidak boleh ragu. Kalau dia ragu, siapa yang akan mengarahkan ketiga teman klubnya?

"Terima kasih, Tante. Itu membantu sekali."

Noelle menepuk-nepuk kepala sherlock pemurung itu. "Tidak apa, tidak apa. Jika kamu terlalu bernafsu, kamu akan kalah. Itulah pedoman hidup Ayahmu."

Sayangnya percakapan mereka harus berhenti karena Roldan sudah datang. Sendirian. Sepertinya beliau tidak membawa istrinya.

Beaufort keluar dari ruangannya, segera bergabung ke ruang tamu. Noelle sendiri beranjak ke dapur, membuatkan kopi.

"Apakah kamu sudah menemukan putriku? Di mana dia? Di mana putriku sekarang!" tutur Roldan begitu tiba di hadapan Watson.

"Roldan, tenanglah dulu. Kita harus membicarakan ini dengan kepala dingin," bujuk Beaufort mengajak temannya yang sudah setengah gila demi menemukan anaknya, untuk duduk.

Roldan menurut. Mengatur napasnya.

"Kamu juga duduk."

Watson mengangguk. Duduk di depan mereka. Kemudian hening beberapa menit sampai Noelle datang membawa dua cangkir kopi, dan satu susu cokelat panas.

"Saya ingin bertanya." Watson berkata.

"Apa pun! Tanyakan apa pun asal saya bisa bertemu dengan putri saya!"

Beaufort menatap Watson penuh selidik. Terakhir kali, dia terlihat uring-uringan. Kenapa malam ini dia tampak begitu percaya diri?

Watson meminum susu buatan Noelle, amat anteng. "Saya menduga putri Om tidak diculik oleh penjahat anak itu."

Baik Roldan, Noelle dan Beaufort terkejut mendengarnya. "Apa?"

"Sebelumnya, apakah Om mengenal kepala sekolah Andeng?"

"Tentu Om tahu siapa dia! Si sialan itu menaruh dendam pada Om karena Om menyuntikkan dana yang besar pada sekolah yang dia pimpin. Itu melukai harga dirinya sebagai seorang kepala sekolah, dan ingin menebus utangnya pada Om. Tetapi Om menolak uang mukanya, sebab Om menolongnya bukan karena kasihan, namun dia adalah teman seangkatan Om. Terlebih, suntikan dana itu sangat besar, membuatnya makin terbebani."

Watson diam, merogoh ponsel di saku, memanggil seseorang atau lebih tepatnya 'grup klub detektif Madoka'. Tiga orang dewasa di sofa bersitatap.

"Stern, selidiki latar belakang kepala sekolah termasuk catatan-catatan finansial Andeng. Beritahu padaku besok pagi. Bari, pergilah ke rumah Miya sekarang juga dan tanya alasan..." Watson diam sebentar, menggeleng. "Maksudku, kamu cari tentang orang yang menusuk Tiara Tardea, katakan padaku di klub besok. Lalu kamu Aiden, hubungi Nyonya Immith dan suruh datang ke Madoka pagi-pagi. Mengerti?"

"Paham!" seru mereka serempak.

Telepon dimatikan sepihak.

Watson kembali menghadap Roldan dan Beaufort yang menatapnya tak percaya. Dia mengerjap bingung. "A-ada apa?"

"Siapa kamu sebenarnya, Watson Dan?"

Beaufort terkekeh. "Tentu saja dia keponakanku yang pintar."







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top