File 0.8.6 - Only on The Right
Sesuai rencana Watson kemarin, mereka akan melakukan pertemuan untuk kedua kalinya dengan Immith. Tapi entah mengapa malam-malam Watson malah mengatakan untuk bertemu di sebuah kafe kota, bukan di klub.
Yang lain berpikir, berada di klub hanya akan menambah beban pikiran Watson mengingat di mana-mana angka keramat Child Lover tercatat, tergantung, dan ter—lainnya. Jadilah mereka menyetujui bertemu di Kaffeinate.
"Baiklah, setelah bertemu Nyonya Hindegrass, jika dugaanku benar, maka kita akan langsung pergi ke Zerana. Oke?"
Aiden, Hellen dan Jeremy mengangguk. Mereka tidak memakai baju bebas, melainkan seragam Madoka. Ya, jelas lah, orang mereka minta izin saat pelajaran pertama hendak dimulai.
Makanya satu dua pengunjung, atau orang-orang yang lalu-alang di Kaffeinate melirik ke arah mereka, bertanya-tanya. Apa yang mereka berempat lakukan di sini? Jangan-jangan menyelidiki kasus.
Bosan menatap kepul uap di cangkir, mata Watson nakal melihat rambut Aiden yang berganti gaya. Mendengus. Gadis itu menyampingkan seluruh rambutnya lantas memakai kain pita pink kotak-kotak.
Kenapa sih Watson suka sekali mendeskripsikan Aiden yang setiap hari gonta-ganti 'sesuatu' di rambut? Heran, tapi itu sudah menjadi hobi baginya.
Kringg~
Mereka menoleh kecuali Watson yang masih leyeh-leyeh. Akhirnya klien datang juga, tersenyum ramah. Beliau melewati beberapa banjar meja dan berhenti begitu tiba di meja mereka.
Watson dan Hellen tersentak. Lihatlah, riasan Immith lebih menor di sebelah kanan dan tipis di bagian kiri. Dasi khas pekerja kantoran condong ke kanan. Sepatu beliau pun bersih sebelah.
"Apa kalian sudah lama menunggu?"
"Ah, tidak apa Nyonya Hindegrass. Kami juga ingin bersantai karena ini masih pagi sekali." Aiden menjawab mantap, memasang posisi sempurna.
Itu bukan candaan atau kalimat canggung. Pukul tujuh saat sudah tiba di sekolah, mereka berempat hanya meletakkan tas di kursi masing-masing, dan bergegas tancap gas ke sana. Entahlah mereka sempat sarapan di rumah atau tidak—Watson sih tidak karena telat bangun.
"Maaf jika permohonan saya membuat kalian resah," gumam beliau ketika pancake makanan pembuka dihidangkan. "Kalian pasti tidak sarapan tadi pagi, kan?"
Aiden mengembuskan napas panjang. Gadis ini sebenarnya mempunyai komunikasi yang baik jika dia benar-benar serius menggunakannya. "Nyonya Immith, ini sudah tugas kami untuk menyelesaikan permintaan klien kami. Jangan merasa terbebani. Itu hanya membuat kami jadi berat hati."
Beliau tersenyum takzim. "Terima kasih," ucapnya pelan dengan bibir bergetar. "Kalau begitu izinkan saya bertanya, bagaimana perkembangan kasus anak saya?"
Menoleh ketiga temannya, wajah Aiden berubah manyun. Mereka malah sibuk menghabiskan jatah kue, tidak berniat membuka suara. Dasar! Mereka tidak bisa diharapkan dalam percakapan!
Menghela napas pendek, Aiden berkata, "Dengan amat disayangkan, kami baru saja memulainya kemarin dan melanjutkannya hari ini. Tidak banyak yang kami dapatkan. Tapi kami akan berusaha sebisa mungkin untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi pada Kak Ommatz."
"Tidak masalah. Saya tidak akan menuntut pekerjaan kalian apalagi kalian masih remaja. Selidikilah dengan santai. Saya takkan mendesak," balas beliau teduh.
"Kak Ommatz bukanlah pelakunya," celetuk Watson tiba-tiba mengagetkan dialog mereka berdua.
Immith menoleh pada Watson, separuh senang separuh bingung. Tentu dia senang putranya tidak masalah, namun apa benar ada bukti untuk kebenaran itu?
"Dan." Aiden bergumam pelan. Watson tahu maksud gumaman itu, dia tidak boleh memberi harapan lebih pada Immith.
"Itulah tujuan kami hendak bertemu sekali lagi dengan Anda, Nyonya Immith. Untuk memastikan," kata Watson datar sukses membelalakkan mata semua orang di meja itu. "Dengan begini saya dapat menjamin bahwa Kak Ommatz tidak bersalah. Kami hanya perlu mencari bukti. Pertemuan ini selesai. Ayo pergi."
Watson adalah Watson. Seseorang yang suka berkata to the point dan mengakhiri dengan cepat supaya bisa lanjut ke tindakan selanjutnya. Tidak menunda dan menghemat waktu.
Selesai membungkuk pada Immith yang masih bingung, hendak bertanya meminta penjelasan, Watson langsung melenggang pergi dari Kaffeinate.
"Watson, sebentar!" Jeremy berseru, menyejajarkan diri. "Apa maksudnya tadi, hah? Bagaimana bisa kamu sepercaya diri itu bilang Kak Ommatz tidak bersalah?"
"Diamlah. Kita akan ke Zerana sekarang juga, tidak menunda lagi. Gadis kemarin akan memberi kita jawaban."
Jeremy dan Hellen bersitatap. Perasaan mereka saja atau memang Watson sedang 'tenang'? Syukurlah! Setelah setengah hari dibuat bingung oleh Watson yang buntu, hari ini, anak itu justru terlihat mengalir.
Baguslah. Mereka bertiga mengikuti dengan semangat membuncah.
*
Zerana Junior High School. Inilah tujuan klub detektif Madoka kali ini. Tidak termasuk ke daftar 'sekolah' ternama di Moufrobi, namun tak dipungkiri lagi tempat ini juga sarangnya anak konglomerat.
"Tunggu, bagaimana cara kita menemui gadis itu di tengah keramaian ini? Kita minta bantuan ke pihak sekolah?"
"Bukankah itu akan sedikit sulit? Mana mau dia terang-terangan mengaku. Itu sama saja terjun ke medan perang." Jeremy menggeleng tidak setuju. Mereka tidak boleh sampai melibatkan gadis saksi ini ke dalam bahaya.
"Sebelum itu, apakah kamu sudah melakukan apa yang kuminta, Aiden?"
"Tentu saja sudah!" jawab Aiden riang, menoleh ke sekitar, kemudian melambaikan tangan melihat satu pemuda berseragam hitam di kejauhan. "Aku meminta 50 pengawal pada Ayahku supaya kita aman. Mereka sudah menyebar sejak kuberi komando."
Baik Watson, Hellen dan Jeremy langsung melotot. Watson memang meminta agar penyelidikan mereka diawasi oleh pengawal suruhan Aiden, tapi dengan jumlah 50? Hei, tidakkah itu kebanyakan? Ayah Aiden terlalu memanjakannya!
Lupakan soal itu. Baiklah, ada untungnya pengawal mereka banyak jaga-jaga jikalau terjadi sesuatu. Satu, dugaan Watson sudah terbukti. Dua, tinggal mencari keterangan oleh gadis yang dia lihat kemarin di kelas Ommatz. Kasus ini akan selesai cepat.
"Hei, Dan, kamu belum memberitahu rencanamu untuk menemukan gadis itu."
Aiden kembali bersuara saat mereka sudah melangkah masuk ke gedung sekolah. Seperti biasa, tak perlu menit hanya cukup detik, mereka menjadi tontonan murid-murid sekolah tersebut.
"Kita tinggal ancam lewat speaker sekolah bahwa dia diincar oleh seseorang jika tidak memberitahu kesaksiannya pada kita."
Demi mendengar perkataan enteng itu, kaki jenjang Aiden, Hellen dan Jeremy berhenti melangkah. Hah? Rencana macam apa itu?
Hellen menatap Watson tak percaya. "Kamu serius?"
"Bercanda." Watson menahan tawanya supaya tidak meledak. Mungkinkah mereka bertiga menganggap serius perkataannya barusan? "Tidak ada ide bagus untuk sekarang. Lihat saja apa yang terjadi nanti. Ah, benar juga. Aku punya rencana."
Mereka menoleh ke Watson. Tolonglah, kali ini sampaikan rencana yang baik.
Baru saja Watson ingin menyampaikan ide lain, tanpa tahu, seorang siswi muncul di belakang mereka. "A-anu, permisi... Apa kalian anggota klub detektif Madoka?"
Apa-apaan ini? Aiden menoleh cepat kepada Watson yang menyeringai kecil. Sudah diduga, inilah idenya! Dengan berdiri di tengah-tengah lapangan sekolah, menjadi tontonan satu sekolah, gadis itu akan datang dengan sendirinya karena merasa dialah yang mereka cari. Serangan psikologi!
"Apakah kamu gadis yang datang ke Andeng kemarin?" cetus Jeremy.
Dia mengangguk pelan, gemetar.
Tidak tega akan itu, Jeremy membungkuk, mengelus kepalanya. "Jangan khawatir, jangan takut. Kamu memiliki sesuatu yang kami inginkan, memiliki sesuatu yang tidak diketahui orang jahat. Tenang, kami akan melindungimu."
Dia mengangguk, tidak gemetaran lagi.
"Bi-bisakah ikut aku ke tempat sepi? Terlalu terbuka di sini," ajaknya menuju kantin. "Aku lapar..."
Jeremy mengangguk, menatap ke Watson. Yang ditatap justru menoleh ke Hellen. "Stern, pergilah ke ruang keamanan dan suruh security untuk mematikan semua CCTV di sekolah ini. Pastikan tidak ada yang mengikuti. Jangan lupa hapus rekaman kedatangan kita beberapa menit lalu. Bergabung bersama kami di kantin setelah selesai. Paham?"
"Ayey, kapten!" seru Hellen segera melompat ke tempat tujuan.
Ganti, Watson menatap Aiden. "Kamu berbicaralah dengan salah satu bodyguard-mu di luar sana. Begitu kita selesai meminta kesaksian anak ini, suruh dia menjaganya karena bisa jadi setelah kita pergi, dia menjadi target."
Aiden hormat. "Apa pun perintahmu, ketua klub!" soraknya semangat, berlari kecil menuju gerbang sekolah.
Selesai memberi pengarahan.
Watson menyerahkan urusan anak itu pada Jeremy yang sepertinya menyukai anak kecil. Dia terlihat telaten membantu menyuapkan makanan. Apa karena dia seorang adik? Tunggu, bukankah Jeremy bilang dia memiliki kakak perempuan?
Namanya Miya Lesla, 11 tahun. Dia mengaku bahwa memang dia yang kepergok oleh Watson di Andeng, bilang punya kepentingan dengan klub detektif Madoka, tetapi tidak berani mendatangi karena takut dalam bahaya. Dia membutuhkan bantuan untuk mencari temannya, anak dari sahabat Beaufort alias putri Roldan.
Sepuluh menit makan, akhirnya piring itu tandas. Saatnya meminta keterangan.
Sebelum bertanya, Watson lebih dulu termangu dengan pemikiran pelik yang bermain di kepalanya. Menyadari sesuatu.
Tunggu, apa? Putri Roldan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top