File 0.8.4 - Andeng Manipulation Game
"Saya dari Klub Detektif Madoka, Aiden Eldwers, hendak menanyakan beberapa hal." Aiden duduk di kursi, di depan Ommatz. Suara serta sorot matanya tajam. "Klien kami Nyonya Immith alias ibu kakak mengirim kami kemari.
Watson berdecak kagum dalam hati. Apa-apaan si Aiden? Kenapa vibe-nya mendalami sekali?
"Ya ampun, padahal dia tak perlu sampai melakukan ini. Benar-benar deh," gumam Ommatz mengacak anak rambut. "Tidak masalah. Tanyakan apa pun, aku akan menjawabnya. Ini demi kebaikanku juga."
Investigasi pun dimulai.
Di luar ruangan, Jeremy mengamati Ommatz dari atas sampai bawah. "Kenapa dia hanya menggunakan kaus kaki di kaki kanan? Juga, kenapa rambutnya hanya lebat di sebelah kanan saja? Memangnya itu lagi mode, ya?"
Watson diam.
"Apakah Kak Ommatz yang benar-benar membunuh korban?"
"Tidak, kan? Kita harus percaya pada Nyonya Immith. Aku yakin ada yang aneh di balik kasus Hindegrass."
Watson bergumam sendiri, berbalik. Tak ada gunanya dia di situ. "Stern, masuklah ke dalam dan simak keterangan Ommatz bersama Aiden. Aku akan kembali dan menanyakan hasilnya nanti. Kamu ikut denganku, Bari."
"Ke mana?"
"Menyelidiki."
Jeremy memeluk badan. "Akhir-akhir ini kamu sering memintaku menjadi partnermu. Jangan-jangan kamu hom—"
"Ayo, Stern. Pertama kita ke kelas korban."
"Woi, bercanda!"
Mereka berdua meninggalkan ruang BK, menyelusuri lorong kelas satu yang memiliki 9 lokal. Apakah jumlah ini wajar? Kontras dengan Watson yang tampak santai, Jeremy menyapu pandangan sampai ke sudut-sudut.
Jeremy membuka kelas 1-E, terkesiap. Murid-murid di kelas itu ternyata sudah menunggu. Apa mereka melihat kedatangan Jeremy dan Watson saat di lorong tadi?
Watson melangkah. "Lebih cepat lebih baik."
"Kami dari—"
"Klub Detektif Madoka! Jeremy Bari dan Watson Dan!" potong mereka serempak menjawab layaknya kor. Seirama.
Watson diam untuk kedua kalinya.
Ini sungguh ganjil. Kenapa mereka terlihat bersemangat seolah tidak terjadi apa pun pada teman sekelas mereka? Dan, hei, mereka tahu namanya? Bukankah berita ledakan di Stadion Terminus hanya menyebutkan 'empat sekawan'? Identitas Watson jelas belum bocor.
Jeremy sama bingungnya, menggaruk kepala. "Kami ingin—"
"Mencari informasi tentang Ommatz, kan?" sela salah satu dari mereka, memberikan dua kursi. "Ayo sini duduk, mari kita berbincang-bincang santai. Tak baik berbicara sambil berdiri lho. Ah, namaku Zaitra. Aduh, kalian manis sekali dilihat dari langsung." Ah, sindrom penyuka adik kelas toh. Semuanya? Tak heran.
Dalam diamnya, Watson menatap sekeliling kelas tanpa aksi banyak.
Tata kelas itu aneh sekali seperti bukan susunan kelas pada umumnya. Meja yang disingkirkan ke belakang. Berbagai rak di sisi depan-belakang dan kursi beroda. Papan tulis yang meninggalkan jejak kapur. Kemudian, meja kubikel di sela-sela tumpukan meja murid.
Senyuman miring terbit di wajah Watson.
Ini menarik, justru sangat menarik. Permainan manipulasi TKP, sudah lama Watson tidak berjumpa dengan kasus seperti ini. Yah, setidaknya dia dapat 'bersenang-senang' sebelum lanjut memikirkan kode dari Robin.
Buat aku gembira, Andeng.
Jangan salah mengira. Watson selama ini sangat cuek dalam kasus pembunuhan, namun dia akan 'bersemangat' jika TKP diacak-acak, acara tuduhan, dan tipu daya saksi. Fitnah atau memfitnah, itu seru bagi seorang Watson.
Deg! Tersentak, Watson menoleh ke belakang. Sekelebat bayangan menghilang dari balik pintu kelas.
Perasaanku saja? Tidak.
"Kami benar-benar melihatnya," kata Zaitra mewakili teman-temannya. "Ommatz sendiri yang menusuk Tiara Tardea dengan dalih kecelakaan. Dia tidak kidal, namun melompat menggunakan tangan kiri. Itu artinya Ommatz sendiri kan yang berniat memantulkan galahnya ke Tiara?"
Mereka tidak ada harapan. Watson mendesah panjang dalam hati, duduk anteng sembari memejamkan mata. Tapi, permainan baru saja dimulai. Dia tidak boleh bosan secepat ini.
"Apakah kalian melihat sesuatu yang mengganjal? Semacam jebakan?" tanya Jeremy serius.
Zaitra menggeleng. "Kami menepi ke samping, membiarkan Ommatz mencoba kekuatan tiang mistar. Tapi dia menyuruh Tiara mendekat agar bisa menyelaraskan keinginan Tiara. Apakah sudah cukup kuat atau tidak."
Jeremy mendengus kesal. "Kalian... Maksudku, kakak-kakak sekalian berpikir aku bodoh dan percaya begitu saja—aww!"
Watson bangkit dari kursi, membungkukkan badan setelah menginjak kaki Jeremy. "Terima kasih atas pengamatannya. Itu berguna bagi penyelidikan. Kami pamit."
Bukan karena apa, sebanyak apa pertanyaan Jeremy, seisi kelas sudah dihasut untuk mengarang. Mereka berdua tidak boleh menerima asumsi berlandas kebohongan.
Di luar, Jeremy melotot, mencak-mencak.
"Kamu kenapa sih?! Jangan bilang kamu mau jadi partnerku untuk menjadikanku samsak pelampiasan? Bola stres? Aku ini juga peka tahu!"
"Kamu ini, ya... Berhentilah mempermalukan diri sendiri. Andai kamu bilang pada mereka soal kebohongan mereka, itu sama saja kamu termakan umpan Andeng. Kamu dipermainkan oleh teri busuk tak berkelas."
Jeremy menelan ludah. D-dia mengumpat?
Melangkah selangkah di depan Jeremy yang tinggi beberapa jengkal, air muka Watson sekaligus matanya berubah datar, sarat akan keseriusan. Tidak ada lagi cuek bebek. "Barusan, aku melihat seseorang kabur setelah kepergok olehku. Itulah saksi yang kita cari dan butuhkan. Boleh jadi dia berasal dari luar sekolah, murid sekolah lain."
"Eh?" Jeremy terkesiap. Dari mana dia tahu? Itu kan hanya siluet?
"Walau hanya sekilas, gelagatnya asing dari murid-murid Andeng. Lorong ini sebenarnya hanya terdiri dari 8 kelas, dan ruangan yang kita masuki tadi adalah cabang ruang kantor alias ruangan guru untuk anak kelas satu. Mereka membuatnya seolah itu adalah kelas. Jika diilustrasikan, 5 kelas di kiri dan 4 di kanan—di sini juga ada penjelasannya nanti, tapi mari abaikan dulu. Kemudian sosok barusan malah meneruskan langkah ke depan, yang dimana akan membawanya ke lantai dua. Dengan kata lain dia tersesat.
"Terlebih, andai dia salah satu murid Andeng, seharusnya dia tidak berkeliaran sesuka hati yang bisa merusak alur rancangan dewan guru. Hukumannya skor atau parahnya di-drop out dari sekolah karena berani merusak permainan manipulasi. Dia orang luar, yang entah kenapa bisa menerobos sekolah ini. Atau boleh jadi dia berbaur ketika kita masih disambut di depan gerbang."
Dulu, Jeremy benci sekali pada Watson. Dia tak suka tipe diam-diam menghanyutkan, diam-diam menusuk belakang. Apa gunanya pendiam namun busuk di dalam? Apa gunanya mengunci mulut namun menyumpah di hati? Begitu pikir Jeremy saat awal-awal Watson bergabung (meski itu paksaan dari Aiden). Orang pendiam belum tentu pendiam di dalam, Jeremy hafal kelakuan itu.
Cowok di depannya itu memang sudah pintar dari sananya. Insting detektif sudah ada di DNA-nya.
"Sekarang langkah selanjutnya bagaimana? Entah kenapa sejak tadi penyelidikan kita serasa diawasi," gumam Jeremy begitu kembali di depan ruang BK. Jika saksi dibungkam, kepada siapa mereka bertanya?
"Aku punya ide. Pertama-tama, mari kita sudahi dulu sampai sini."
Baru juga ingin masuk ke dalam, pintu sudah terbuka lebih dulu mengeluarkan sosok Aiden dan Hellen dengan helaan napas berat. Karena Watson terlalu dekat, badan pintu mencium hidungnya. Dasar nasib.
Aiden terlonjak mendengar ringisan kecil. "Astaga, Dan! Maafkan aku! Aku tidak tahu kamu ada di situ. Kamu baik-baik saja? Aduh, hidungmu jadi merah..."
"Tidak, tidak apa. Jangan diperbesar." Watson mengelus-elus hidung. Tidak buruk dicium pintu. "Bagaimana?" tanyanya to the point.
Oke, tampaknya Watson tidak ingin lama-lama di Andeng. Aiden melupakan masalah tabrakan pintu, mengembuskan napas. "Kak Ommatz mengaku dia yang melakukannya, namun itu tidak sengaja. Tindakannya murni kecelakaan. Dia tidak tahu menahu Tiara berdiri di belakang."
Watson hanya ber-oh singkat, tak tertarik. Dia lebih minat pada perkembangan alur kasus, tarik-ulur yang akan terjadi.
"Apa yang harus kita lakukan, Dan? Aku ingin menolong Kak Ommatz, dia tertuduh perbuatan jahat. Kita harus meluruskan kesalahpahaman ini."
"Calm down, baby." Jeremy berkata aneh, sok-sokan. "Watson bilang dia punya ide. Kepanikan itu tak menguntungkan," lanjutnya dengan bangga. Alhasil Hellen segera melayangkan sikutan. "Kamu kalau ada dendam kesumat bilang padaku!"
"Well, wajahmu sudah menjadi alasan membuatku dendam padamu."
"Kamu iri karena aku ganteng? Sungguh sebuah alasan tak masuk akal."
"Dasar kacamata bodoh!"
Membiarkan mereka berdua perang mulut, Aiden menatap Watson dengan binar semangat. "Kamu punya ide, Dan? Apa itu? Apa yang akan kita lakukan? Ayo sebutkan, Dan!"
"Kita keluar dari Andeng, lalu Aiden, kamu punya pengawal, kan?"
"Eh, Dan?" Aiden mengernyit. Perkataan Watson sungguh aneh.
"Panggil pengawalmu untuk melindungi kita dari mata dan telinga. Bahkan dinding di bangunan ini juga bisa mendengar. Satu sekolah sama sekali tidak ingin membantu Kak Ommatz, hanya kita yang bisa. Ada rahasia di tempat ini, dan klien kita memegang kuncinya. Tugas kita adalah mencari gembok yang tersembunyi di Andeng, jodoh dari kunci itu—"
Jeremy menyentuh pundak Watson tiba-tiba. Apa?
"Tolong, jangan memakai kalimat umpama. Aku bego pelajaran bahasa."
Watson menepuk dahi.
"Yosh, aku sudah menelepon mereka," kata Aiden memasukkan ponsel ke saku rok. "Kita langsung keluar nih? Tak pamit?"
"Tidak usah. Aku muak melihat Dewan Guru, terutama kepala sekolah."
Watson tak pernah bermain-main dengan setiap kalimatnya. Begitu tegas dan bijak dalam memilih keputusan. Dua hal itu menjadi lampu setiap mereka melangkah di kegelapan tak berujung.
Bangunan yang terpisah sendiri dari gedung kelas, pusat kantor guru, para penguasa Andeng memperhatikan pergerakan mereka berempat dari kejauhan. Tersenyum miring dalam keheningan.
"Mereka sangat cerdik, apalagi laki-laki berambut hitam legam itu. Apa dia membaca pikiran kita?"
"Meski begitu, mereka tetap bocah ingusan yang sok jadi pahlawan." Asap rokok memenuhi ruangan sempit dan sesak oleh kumpulan guru. Di tengah-tengahnya, terdapat seseorang dalam kondisi terikat.
Payah sekali keadaan orang yang mereka kepung. Seragam sekolah robek-robek, rambut terurai berantakan, tangan diikat kencang, roknya digunting pendek. Sudut bibir berdarah.
Kepala sekolah mengeluarkan tukik, ikut merokok. "Biarkan saja mereka bermain-main. Toh, mereka hanya anak-anak, kan?" ujarnya menatap kosong.
Senyuman culas terukir, menatap dingin ke sosok di tengah ruangan.
Dia tidak bisa bicara, mulutnya dilem lakban. Air matanya kering dan hinggap di pelupuk mata, membatin keras.
Kak Watson... Tolong aku.
Siapa sosok ini? Kenapa dia menyebut nama Watson? Apa dia mengenal Watson?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top