File 0.8.3 - 002562, Hindegrass, 002562, Hindegrass...
"Aiden Eldwers?" Guru mengabsen.
Kiri refleks mengangkat tangan. "Aiden dan Watson izin, Miss. Mereka pergi ke TKP, melakukan penyelidikan."
"Kasus baru lagi? Tidak henti-hentinya."
"Aku jadi kasihan pada member klub detektif. Apa mereka tidak capek atau jenuh melihat pembunuhan? Aku saja ngeri lihat darah menetes dari jari."
"Kudengar mereka tidak ada istirahatnya lho. Selalu muncul masalah baru."
"Apalagi Watson. Dia masih terbilang baru di sini. Kasihan dia."
"Selama Child Lover belum tertangkap, mereka tak bisa menjalani kehidupan sekolah normal. Berdoa saja agar mereka sesegera mungkin menangkap penjahat anak itu."
"Benar juga, ya. Kudoakan yang terbaik untuk mereka berempat."
Kiri mendengarkan bisikan sekeliling dengan binar mata sedih, menatap buku tulis.
Kon di ujung kelas diam melamun.
*
Klub detektif Madoka sampai di TKP, sekolah bergengsi Andeng. Murid-murid yang baru datang menatap mereka berempat bingung. Bukankah itu seragam Madoka? Kenapa mereka kemari? Jangan-jangan hendak menginvestigasi.
"Lihat, lihat, bukankah mereka detektif dari Madoka? Kenapa mereka kemari?"
"Fuah, mereka semua masih muda."
"Apakah mereka hendak menyelidiki sesuatu di sekolah kita? Keren!"
Gawat, gawat. Aku tak suka kacau begini. Watson segera memasang tudung hoodie-nya, menutupi wajah. Terima kasih pada Noelle sudah mengingatkan Watson untuk memakai jaket.
"Ramenya," gumam Aiden kikuk. Hari baru, gaya rambut baru, pola penampilannya bertukar setiap hari. Gaya chignon dan menggunakan belasan mini jepitan mawar.
Jeremy menatap datar ke sekitar, membenarkan posisi kacamata. Hellen sih memasukkan seluruh rambut ke topi, tampil sebagai laki-laki.
Nah, sekarang apa?
"Ternyata kalian sudah datang." Wakil serta kepala sekolah mendatangi mereka, berjalan gontai. "Terima kasih sudah menerima permohonan kami dan repot-repot kemari."
"Ah, tidak apa, Pak. Kami hanya melakukan tugas. Apa Nyonya Immith yang memberitahu kami akan ke TKP?"
"Setiap insiden yang terjadi di dalam sekolah, pihak guru pertama yang mengetahui. Kami harus menegaskan sistem privasi ketat selama kejadian Hindegrass supaya beritanya tak tersebar. Itu akan merugikan dua pihak karena Hindegrass adalah murid berpengaruh di sekolah."
Tentu saja. Itu akan memperburuk reputasi Andeng. Watson memutar bola mata malas.
"Mari kami antar. Kami sudah menjaga TKP dan melarang semua murid mendekatinya. Kalian bebas memulai penyelidikan dari mana saja. Jangan sungkan bertanya pada murid-murid dan guru kami."
Aiden mengangguk sopan. "Baik, Pak. Kami akan berusaha mencari kebenarannya—" kalimat Aiden tertahan. Watson memegang bajunya. "Ada apa, Dan?"
"Suruh mereka jangan mengantar. Kita akan pergi sendiri," bisik Watson datar.
"Eh? Tapi ini pertama kalinya kita ke Andeng, kan? Memangnya Dan tahu—"
"Sudahlah, ikuti saja perintahku."
Jeremy dan Hellen bersitatap. Kali ini si Watson kesambet apa?
Menuruti perkataan Watson, Aiden pun tak punya pilihan selain mendengarkannya. Mereka berempat ditinggal sendiri. Sepertinya Watson punya pemikiran matang sebelum datang ke Andeng.
"Apa kamu punya rencana?" tanya Jeremy.
"Tidak."
"Lalu kenapa kamu mengusir mereka?"
"Apakah terlihat begitu?"
"Memperhatikan tingkah lakumu adalah peraturan fundamental di klub."
"Berlebihan."
"Lantas apa alasanmu bersikap seperti itu? Ayolah, jangan rahasia-rahasiaan."
"Aku tidak tahu. Hanya saja, kepala sekolah menyembunyikan sesuatu."
"Eh?" Aiden dan Hellen menoleh, tertarik percakapan kecil mereka. "Apa maksudmu?"
"Hufft." Watson menghela napas pendek, berhenti berjalan. "Begini, jika Nyonya Immith memang sudah menyampaikan kabar kedatangan kita kepada pihak sekolah, mereka tidak perlu bertele-tele, kan? Terlebih soal mereka akan mengantar kita tadi."
"Lho, bukannya itu wajar? Kita kan tidak pernah ke Andeng."
"Cara pikirmu sama dengan mereka, Bari. Nama klub detektif Madoka tidak pelak lagi sudah terkenal di Moufrobi. Mereka seharusnya mengetahui fakta tentang ketelitian kita sebelum datang ke TKP—telah mempunyai gambaran mengenai TKP terlebih dahulu. Jadi menurutku, mengantarkan kita ke TKP merupakan perbuatan ganjil. Ada pula alasan keduanya, TKP tepat di depan sana."
Aiden, Jeremy, dan Hellen menoleh. Oh, benar juga. TKP-nya di lapangan olahraga. Mereka tidak perlu jauh-jauh masuk ke sekolah.
"Ah, begitu rupanya." Aiden mengetuk tangan. "Kamu benar, Dan. Kepala sekolah mencurigakan. Beliau tidak harus mengantar kita padahal jarak TKP beda tipis. Apa maksud beliau melakukan itu?"
"Dia mau mengawasi kita?" gumam Hellen. "Mereka sampai mau repot mengantar kita ke TKP yang dekat. Itu tandanya mereka mengkhawatirkan sesuatu. Bisa saja mereka sengaja mengajak mengobrol untuk memperhatikan gerak-gerik kita."
"Analisismu boleh juga, Len." Jeremy menepuk pundak Hellen, bersiul menggoda. "Kamu sudah berkembang."
Sebagai balasan, Hellen menendang kaki Jeremy membuatnya melenguh.
Mereka sampai di TKP. Tempat itu masih bersih, tidak ada peralatan crime scene atau semacamnya. Pihak guru benar-benar membatasi orang luar. Apa mereka belum melaporkan kasus Hindegrass ke polisi?
Watson sudah menduganya. Ada yang aneh. Mereka tidak melapor ke divisi kejahatan? Lalu kenapa Immith datang dengan keadaan putus asa ke Madoka? Itu artinya Ommatz masih ditahan di sekolah?
"Bercak darahnya masih ada," gumam Aiden memutari perkakas olahraga lompat tinggi. "Darah di galah juga masih ada. Mereka tidak membersihkannya."
"Tunggu deh." Jeremy berkeringat.
"Kenapa?"
"Wajahmu horor jadi hentikan itu."
"Tidakkah kalian menyadari kalau lintasannya berbeda dari yang diceritakan Nyonya Immith? Beliau bilang kejadiannya di sisi kanan, kan? Ini kok arah lintasannya terpasang kedua arah?"
Watson menelan ludah. Dua arah... murid-murid melakukan lompat tinggi dari arah berlawanan di waktu bersamaan? Hei, itu kan berbahaya. Kenapa mereka melakukan olahraga yang bisa merugikan diri sendiri?
"Mungkin saja pihak guru memindahkan posisinya?" Aiden berpikir positif, diam setelahnya. "Eh?! Benar juga."
"Nah, kenapa mereka melakukan itu?"
"Bagaimana, Dan?" Aiden malah melemparkan 'ketidaktahuan'-nya kepada Watson. Malang sekali nasib cowok itu.
Tetapi, Watson tidak bereaksi.
Sisi kanan, ya? Jika mengaplikasikan tiang mistar sebagai pembatas antara 002562, akan menjadi 002 562. Watson tahu. Robin menyembunyikan dua petunjuk di bilangan tersebut. Sekarang dia hanya perlu menebak artinya dengan semua kasus Child Lover. Kasus Hindegrass memberi sherlock pemurung itu ide.
"Hei, Dan, kenapa melamun? Jangan-jangan dapat sesuatu lagi."
"Kamu ini sudah tak bisa memberi solusi malah mendesak Watson. Apa kamu mau jadi beban, heh?" tukas Jeremy menatap Aiden, geleng-geleng kepala.
"Siapa yang mendesak, hah! Bukankah sudah jadi tabiat Dan mendadak bengong kalau kepikiran sesuatu?"
"Kurasa..." Watson bergumam pelan, mengelus dagu. "Kita harus bertemu Nyonya Immith sekali lagi."
"Kamu mau menanyakan sesuatu?"
"Tidak." Watson menggeleng. "Aku ingin memastikan. Tapi sebelum itu kita harus mencari saksi. Kita gelap mata, TKP yang sudah dimanipulasi tidak membantu."
"Eh, bahkan Dan pun sampai berpikiran ada yang mengganggu TKP. Tapi-tapi, bukankah kepala sekolah bilang telah menjaga tempat ini? Dia betulan berbohong pada kita? Apa tujuannya?"
"Yah," Jeremy mengangkat bahu. "Apa pun itu, bisa jadi untuk melindungi seseorang."
Watson melirik ruang guru.
Masalahnya sekarang, kepala sekolah mengizinkan mereka untuk menyelidiki di mana pun. Di mana mereka harus mencari narasumber di luar jangkauan pengawasan guru? Lokasinya terlalu terbuka.
"Pe-permisi..."
Lamunan Watson pecah, menoleh. Tampak tiga siswa malu-malu kucing di depan Aiden sembari menyodorkan kertas.
"A-apa kamu Aiden Eldwers? Ka-kamu cantik sekali dilihat langsung..."
Temannya menyikut. "Apa yang kamu katakan! Sudah jelas dia Aiden dari Madoka. Kenapa kamu masih bertanya tak perlu!"
Watson melipat tangan, menatap tak suka. Muncul lagi kameo perusak suasana.
"Ka-kami penggemarmu! Bisa berikan tanda tanganmu?" seru mereka menggebu.
"Aku tidak keberatan." Aiden tersenyum.
"Syukurlah!"
Jeremy melompat estetik ke tempat Watson yang masih melemparkan wajah masam, berbisik halus. "Lho, kok, ekspresimu kenapa tak senang begitu? Cemburu?"
"Perhatikan dengan siapa kamu berbicara."
"Cih, seperti biasa kamu tidak asyik. Kenapa kamu begitu dingin sih. Kasihan Aiden."
"Asyikin kalau begitu."
"Aku ingin bertanya." Aiden berdeham. Enak saja mereka minta tanda tangan tanpa memberi petunjuk. "Apakah ada CCTV di sekolah ini?" Bagus. Itu pertanyaan penting.
Mereka berdua saling tatap, menggaruk pipi, kemudian mengangguk. "Kalian bisa menemukannya di lorong-lorong koridor."
Watson menyipit datar. Mereka berbohong. Bohong akan memicu kegugupan dan akan berimbas ke gerakan tak perlu. Apa yang dua murid itu sembunyikan?
"Terima kasih sudah memberitahu kami." Aiden melambaikan tangan, tebar pesona. "Baiklah, semuanya, ayo kita cek CCTV dulu."
Klub detektif Madoka masuk ke bangunan sekolah, sesekali Aiden nyengir ke murid laki-laki, kalau tidak si Jeremy. Mereka berdua orang asem malah narsis. Lupa tujuan ke Andeng, huh?
Sepanjang melewati kelas, murid-murid mengintip dari jendela, menatapi mereka berempat. Hal ini membuat Watson geram dan makin menenggelamkan wajahnya dengan tudung hoodie.
Tsk, mereka kumpulan siswa-siswi alay! Memangnya klub detektif Madoka artis? Mengganggu. Watson sumpah-serapah.
"Hah?!" Jeremy mendadak berseru, melangkah cepat. "Ini bukannya kamera palsu?! Sama sekali tidak berfungsi! Ini bukan CCTV, bodoh!"
Hellen menoleh ke sekitar. "Ada tiga kamera di sudut lorong, apakah itu juga palsu?"
Tuh kan. Sudah kubilang.
"Apa maksudnya ini? Dan, kamu punya rencana?" Aiden bertanya khawatir. Bagaimana dia tidak khawatir? TKP yang seharusnya memberi petunjuk justru menghilangkan petunjuk.
Namun, lagi-lagi Watson termenung.
Tunggu, CCTV? Apakah di kamar mandi juga terpasang kamera? Tidak lah ya... Jika ada, itu akan membantu Watson menemukan arti 002562. Sial, pikirannya kusut.
"Hei, Dan, jangan melamun dong. Apa kamu punya rencana?"
"Punya." Aiden menoleh kepadanya. "Pertama, adakan pertemuan dengan Nyonya Immith untukku. Kedua, kita akan mencari saksi dari luar Andeng. Ketiga..." Watson memalingkan kepala, menatap TKP.
Aiden tersentak, ikut menoleh. Mereka sama-sama melihat lapangan, alat peraga lompat tinggi.
"Kasus ini takkan memakan waktu lama."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top