File 0.8.11 - Return to Topau Mountain
"Cepat tangkap dia!"
Kepala sekolah Andeng itu masih syok karena salah menembak target, membeku di tempat, gemetaran. Dia bahkan tidak sadar kedua tangannya sudah diborgol.
Aiden bergegas menghampiri Jeremy yang mengerang kesakitan. "Kamu tidak apa-apa..." Tidak, dia tidak baik-baik saja. Memperhatikan telapak tangan yang berdarah sebab menyentuh punggung cowok itu, Aiden menahan air matanya.
"Panggil tim medis! Ada dua orang terluka di sini!" seru Deon membantu menekan luka tembak yang Jeremy dapatkan untuk mengurangi rasa sakitnya.
Media sosial menjebluk. Heboh oleh salah satu rekan klub detektif Madoka yang tertembak. Raung sirine ambulans membelah hujan. Warga-warga yang menonton siaran langsung, panik. Liputan terkini hanya menampilkan siaran 'Penangkapan Kepala Sekolah Andeng yang menculik seorang murid'.
Roldan ikut ke rumah sakit melihat putrinya diangkut di tandu, masuk ke ambulans. Separuh mobil reporter mengikuti, meminta informasi.
"Aku tidak apa-apa," ucap Jeremy lemah. Wajahnya memucat.
"Bodoh!" Aiden membentak, menyeka wajah. Apanya yang tidak apa-apa? Punggungnya tertembak! Lihat, darah sudah meluncur deras sekuat apa Aiden dan Deon mengepresnya.
"Di mana medis cadangan? Apa mereka belum datang juga?!" tanya Deon lagi.
"I-iya, Inspektur. Mereka sudah datang, sedang menuju kemari. Tetapi karena ramainya wartawan langkah mereka jadi—"
Suara mic memotong. Asalnya dari ruang penyiaran.
[Diperhatikan para wartawan terhormat. Satu dari anggota klub detektif Madoka terluka melindungi korban culik. Mohon pengertiannya untuk memberi jalan para medis supaya bisa membawa Jeremy Bari ke rumah sakit. Diulangi...]
Pengumuman itu berjalan efektif. Suasana yang sumpek melonggar seketika, memberikan ruang besar untuk tim medis mempercepat langkah mendorong tandu.
Aiden tahu siapa pemilik suara itu, tersenyum penuh penghargaan. "Terima kasih, Nyonya Immith."
Lima menit kemudian, akhirnya petugas Tanggap Gawat Darurat tiba. Mereka tanpa basa-basi mengangkut Jeremy dan membaringkannya ke tandu, lantas menggiringnya ke luar.
"Saya ikut! Saya temannya!" Tiada persetujuan siapa pun, Aiden mengusulkan diri ikut ke rumah sakit. Dia menoleh. "Dan, kamu juga harus—"
Sepertinya ada yang kelupaan di sini.
Deon menoleh ke sekeliling, mendapati sosok Watson menjauh dari kerumunan, memegang tepi meja kepsek sebagai pegangan sembari memegang kepala.
"Watson? Kamu baik-baik saja?"
"Aku tidak apa... Aku hanya mengantuk..." Kalimatnya hilang karena pingsan. Untung Deon cekatan menahan tubuhnya, tidak terbentur bola globe dengan pinggiran besi.
"DAN!" Aiden berseru panik, juga petugas yang memegang tandu Jeremy. Suasana semakin jumpalitan, disaksikan langsung oleh ribuan penduduk Moufrobi, dua anggota klub detektif Madoka rubuh di tempat.
Deon menggendong Watson ke atas punggung. "Dia mengidap Narkolepsi. Cepat bergerak! Kita harus ke UGD menangani Jeremy!"
Walau urgen, paling tidak kasus Andeng case closed, heh?
*
Aiden mengangkat panggilan Hellen, sembari terus melanjutkan aksinya kolang-kaling di ruang tunggu.
[Bagaimana keadaan Jeremy?! Apa dia baik-baik saja? Seberapa dalam lukanya? Bagaimana operasi pengeluaran pelurunya?Apa berjalan lancar?!]
Kepala Aiden semakin hendak ripuk mendengar daftar pertanyaan temannya tersebut. Dia juga tidak tahu karena sudah sejam berlalu semenjak Jeremy masuk ke dalam ruang operasi dan tidak ada kabar apa pun!
Dia menoleh ke kursi—sosok Watson masih tertidur pulas, terlihat amat letih—beralih ke Deon yang sedang mengurus manajemen rumah sakit.
[Aku akan ke sana sekarang!]
"Tidak, Hellen." Aiden menggeleng walau Hellen tidak bisa melihatnya. "Jeremy melarangmu ikut, jangan melanggar janji. Kamu harus tetap di sekolah."
[Apalagi yang harus kutunggu? Bukankah kasusnya sudah selesai? Aku sangat cemas, Aiden! Mengertilah perasaanku! Kamu ingin membuatku frustasi karena khawatir?]
"Dan tidak sembarangan menyuruhmu tinggal di klub, Hellen. Aku mempercayai perhitungannya. Ada yang dia rencanakan, tapi kebiasaannya sedang kambuh. Kita harus menunggunya bangun." Aiden tetap menggeleng menolak ide itu.
[T-tapi...] Hellen masih keberatan.
"Tidak ada tapi-tapian! Tunggu kami di situ! Jangan berpikir untuk meninggalkan sekolah! Kami akan segera memberitahu kabar Jeremy setelah operasinya selesai," tegas Aiden mematikan panggilan.
Aiden menatap Watson, menghela napas. Ini semakin menyulitkan.
"Biarkan dia istirahat," ujar Deon selesai mengurus administrasi, duduk di sebelah Watson. "Kemarin dan hari ini dia terlalu banyak menggunakan otaknya. Dia pasti kelelahan."
Aiden mengangguk, ikut menduduki bangku, menyembunyikan kedua tangan yang dingin ke dalam saku. "Apakah Jeremy akan baik-baik saja?"
"Kamu harus percaya pada temanmu. Dia keamanan klub, kan? Bahkan pernah selamat dari ledakan. Sebuah luka di punggung takkan merenggut nyawanya," kata Deon lugas.
"Akhir-akhir ini kami terus-terusan mengantisipasi permohonan klien. Tidak ada istirahat dan liburan. Kami tidak bisa tenteram sampai Child Lover tertangkap." Sekali lagi, Aiden menatap wajah tidur Watson, tersenyum pahit. "Dan juga belum membuat kemajuan pesat mengatasi nomor yang ditinggalkan Robin. Itu membuatnya resah belakangan."
Deon juga memandangi Watson. Anak itu semalam hanya tidur tiga jam sebab lagi-lagi mencoba mencari perhitungan ilmiah atas angka keramat 002562.
"Penduduk juga mendesak kami." Aiden meluruskan kaki yang lemas. "Kotak permohonan penuh dengan permintaan mencari putra-putri mereka. Kami tak punya waktu untuk beristirahat dan belajar. Padahal musim panas dua bulan lagi. Bisakah kami menangkapnya?"
Deon mengernyit. Kenapa remaja perempuan satu itu mendadak sentimental?
"Kenapa? Apa kamu punya rencana untuk musim panas?"
Aiden terkekeh malu-malu. "Tentu saja ada, Inspektur. Begini-begini, kami masih remaja belasan tahun, masih dalam tahap pertumbuhan. Harusnya kami menjalani kehidupan remaja normal sebagaimananya, bukan bermain-main dengan maniak anak dan para pembunuh. Kami ingin ke pantai menikmati liburan musim panas."
Pintu ruang operasi akhirnya terbuka, menampilkan satu dokter bersama empat perawat. Baguslah, itu bisa menghentikan sikap Aiden yang mendadak aneh.
"Bagaimana keadaan teman saya, Dok? Apa operasinya berhasil?"
Beliau terdiam, saling tatap dengan para suster yang ikut serta dalam operasi.
Deg! Keduanya terdiam.
Tidak perlu ahli menebak gestur tubuh, Aiden paham betul maksud pergerakan dokter di depannya itu. Badan Aiden mendingin. "Dok? Ada apa, Dok? Operasinya berhasil, kan? Bo-bolehkah aku menemui teman saya sekarang?"
Deon mengepalkan tangan. Tidak mungkin kan Jeremy tidak bisa diselamatkan?
Beliau membuka masker. "Ada beberapa masalah terjadi saat operasi berlangsung. Kami berhasil mengambil pelurunya. Tapi—"
"TAPI APA, DOK? TEMAN SAYA TERTOLONG, KAN? JANGAN MENAKUTI SAYA DENGAN ORASI ANDA! JEREMY TIDAK SELEMAH ITU! BIARKAN AKU MASUK KE DALAM!" sela Aiden dengan bahu naik-turun, tak tenang. Perasaan nelangsa menyergap.
Deon menahan bahu Aiden. "Tenanglah! Kita di rumah sakit, Aiden. Jangan membuat keributan."
"Dokter ini berbohong! Jeremy tidak mungkin meninggal! Dia... Dia... Aku tak percaya dia meninggalkan kami! Jeremy bahkan belum menemukan kakaknya. Apa yang akan kukatakan nanti setelah orangtuanya pulang? Tidak mau. Timku tidak boleh kehilangan satu anggota pun. Aku tak ingin kehilangan member lagi. Biarkan aku masuk!"
Kepala Watson yang tidak tertopang, perlahan jatuh dan jatuh lalu akhirnya mendarat ke punggung bangku membuatnya tersentak bangun.
"Jeremy itu kuat! Dia tidak bisa tewas semudah itu!" seru Aiden lagi.
Kesadaran Watson masih tiga puluh persen, namun dia bisa mendengar jelas teriakan milik Aiden. Meringis, Watson memegang perut yang tiba-tiba berpilin sakit.
"Yang bilang dia meninggal siapa?" kata Dokter mengembuskan napas. "Lebih baik kamu lihat sendiri apa yang dilakukan temanmu itu, Nak."
"Eh?" Aiden termangu.
Tanpa perlu disuruh dua kali, Aiden mengambil langka panjang untuk masuk ke ruang operasi. Dan kejutan. Mukanya nyaris ditimpuk bantal jika tidak menghindar.
Lihatlah! Jeremy tengah melotot pada para perawat yang mundur karena takut. Melempar semua benda yang ada di kasur dan meja.
"Apa ini, hah? Infus? Suntik? Siapa yang menyuruh kalian memasangkan benda menjijikkan ini ke badanku?! Aku tidak butuh! Kalian tidak lihat aku baik-baik saja, hah?!" Jeremy ngegas.
"To-tolong, Nak... Kamu itu pasien. Baru selesai dioperasi. Jangan terlalu bergerak."
"Aku ingin keluar dari sini! Tugasku masih banyak! Teman-temanku menunggu! Kalian tidak tahu, hah, kami sedang mencari keberadaan penjahat bintang lima di kota ini? Aku belum bisa istirahat sebelum dia dilempar ke penjara—"
Ceramah Jeremy tersumpal. Bantal-bantal yang dia lempar secara agresi, balik terlempar ke wajahnya. Jeremy melotot, menoleh ke si pelempar, batal marah.
Aiden berkaca-kaca, tersenyum meledek. "Dasar kamu kacamata sialan. Kamu membuatku takut tahu. Aku lupa kamu benci rumah sakit."
Jeremy terdiam. Dua detik kemudian, terkekeh puas. "Cie ada yang khawatir nih. Aduh, pawangnya mana atuh. Cupcupcup, jangan nangis dong. Kalau kamu sesedih itu, traktir setahun."
Aiden menepuk lengan Jeremy. Melotot.
"Di mana Watson?"
Aiden menyeka air matanya, menunjuk ke pintu. "Penyakitnya berulah lagi. Dia sedang tertidur di bangku tunggu—"
"WATSON!"
Dua orang itu seketika terperenyak demi mendengar seruan Deon. Saling tatap sebentar, lantas keluar dari ruangan, menyusul sumber suara.
Para dokter dan perawat hendak mencegah namun bisa apa mereka jika pasien bersikeras bilang sudah tidak apa. Pasien mereka bernama Jeremy Bari adalah pasien ajaib yang langsung bangun setelah selesai dioperasi.
"Inspektur, ada apa dengan Dan?!" tanya Aiden cemas.
"Aku tidak tahu! Dia tiba-tiba jatuh dari bangku dan sudah pucat begini sambil memegangi perutnya. Tampaknya dia maag." Deon menekan perut Watson membuat cowok itu meringis.
Jeremy membungkuk. "Watson, kamu baik-baik saja? Astaga, bibirmu pucat sekali. Dokter! Tolong bantu teman—" tangannya diraih oleh Watson yang setengah sadar. "Hei, kamu tidak apa-apa?"
"Dan! Jangan begini! Lihat, Jeremy sudah baik-baik saja. Kumohon jangan sakit..."
"Gunung."
Aiden, Jeremy dan Deon terkesiap. "Hah? Apa yang kamu katakan—"
Watson memaksa membuka matanya. "Kita ke Gunung Topau sekarang," ucapnya dengan suara pelan, meringis ulang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top