File 0.8.1 - Watson's Secret

"Kak Watson! Ayo main sama Noah!"

"Kak Watson akan bermain denganku dulu!"

"Mengalah dong pada adik!"

"Kita ini kembar beda sedetik!"

"Tetap saja kamu kakak satu detik!"

Watson tak menghiraukan ajakan dua sepupu yang ribut itu, memainkan rubik dengan pandangan menerawang. Dia bahkan tidak sadar Naoi dan Noah mulai bertengkar, saling jambak rambut.

Tidak bisa. Kepalaku tidak bisa diajak berpikir. Aku butuh bantuan. Tangan Watson berhenti memutar-mutar rubik. "Naoi sama Noah main sendiri dulu, ya. Kakak sibuk," katanya melesat pergi ke kamar, menutup pintu rapat.

Watson menatap rak buku di dinding, menyentuh salah satu buku pada rak keempat. Ajaib, bagai tuas, rak tersebut merekah menjadi dua, menampilkan tangga menuju ruang bawah tanah.

Di sinilah ruang rahasia milik Watson. Tidak. Sebenarnya dulu tempat itu adalah kamar pribadi ayahnya, juga tempat ibunya menyelidiki sesuatu. Takut tidak terpakai lagi, Watson pun menyediakan ruang autopsi sendiri untuk darurat.

Mengambil ponsel yang tergeletak bisu di atas meja, Watson menekan kontak seseorang, duduk di kursi berputar. Cepat sekali panggilan itu diangkat.

[Tak biasanya kamu menelepon duluan. Pasti butuh bantuan nih.]

"Tepat. Aku ingin kamu mencarikan seseorang untukku," ucap Watson misterius. "Dan aku ingin hasilnya datang tiga-empat hari ke."

[Tergantung bayaranmu.]

"Bagaimana dengan 100 dolar?" Watson mendesah pelan. Memalak teman sendiri, batinnya geleng-geleng kepala.

[Aku akan langsung menemukannya besok. Siapa namanya?]

"Jerena Bari. 25 tahun."

Telepon dimatikan sepihak.

Bosan bermain-main dengan bangku, Watson menatap datar foto keluarga, besar ukurannya, terpampang di ruangan.

Ayahku seorang polisi yang dermawan.

Watson menggunakan segenap tenaga 'membuka' bingkai foto, memperlihatkan sebuah brangkas raksasa tersebut di baliknya, terlihat berkilau oleh lampu.

Ibuku fisikawan yang genius.

7-12-05. Pintu brankas itu segera terbuka begitu Watson memasukkan kata sandi, tanggal lahirnya. Ratusan emas batangan tersusun rapi di dalamnya. Terdapat catatan kecil 'Gunakan dengan bijak, Little Holmes'. 

Sebenarnya setelah kasus Poorstag selesai seminggu yang lalu, Watson memikirkan kembali tentang kematian orangtuanya. Alih-alih pengeboman atau pembunuhan, apakah benar yang terjadi saat itu ledakan? Bagaimana mungkin dua orang yang amat berpengalaman dalam pekerjaan masing-masing mendadak tidak tahu apa-apa? Ke mana insting mereka pergi?

Ada yang aneh di sini.

Watson memanyunkan bibir. Tidak mungkin kan, hanya karena membawa anak, mereka sampai bodoh mendadak. Yah, tentu saja Watson tahu jika seseorang yang berharga dalam bahaya akan memberikan efek panik pada gelombang otak sehingga semua bakat itu menghilang ditiup angin.

Apa yang sebenarnya terjadi di Pockleland?

*

Hari ini Aiden tidak menguncir rambut. Sejumlah jepitan bunga mini berwarna biru menempel di surai pirangnya. Gadis itu masuk ke dalam klub, memasang raut masam. Apalagi kalau bukan masalah Kon yang malah minta kompensasi pada mereka atas kejadian yang menimpanya.

"Tapi, serius, Robin yang melakukan itu padamu? Kamu kalah dari anak 8 tahun?"

Kon melotot. "Jaga bicaramu, ya. Itu serangan mendadak. Hanya beberapa orang yang mampu menghindari dan menangkisnya."

"Bayar saja dia," celetuk Watson malas, kembali membaca dokumen kasus Poorstag yang sudah distempel closed. "Dia juga membantu kita."

"Nah, dengar tuh kata ketua kalian. Ayo bayar dan traktir aku!"

"Mukamu ngeselin tahu."

Aiden mendekati Watson, bertanya, "Kenapa kamu mendalami kasus Robin, Dan? Masalahnya sudah selesai, kan?"

"Watson sedang memecahkan arti kode yang ditinggalkan Robin." Jeremy yang menjawab. Duduk santai memainkan sempoa. "Jika angka-angka itu terpecahkan, kita bisa mengetahui persembunyian CL."

"Belum tentu." Watson menggeleng. Banyak kertas penuh dengan coretan matematika. Watson sudah mencoba melakukan semua materi pelajaran berhitung, tapi kode tersebut memang hanya susunan angka biasa.

"Kenapa?"

"Karena kita tidak tahu apakah kode angka ini menunjukkan tempat sekapan korban, lokasi Child Lover atau hal lain." Dan itulah yang sedang kupecahkan, lanjutnya dalam hati, setengah kesal menyia-nyiakan waktu.

Apa arti nomor 002562 ini? Plat? Tidak mungkin. Nomor apartemen? Ada banyak flat di Moufrobi, yang mana yang satu? Apa maksud angka-angka ini? Kenapa Robin membuatnya begitu banyak? Apakah semacam peringatan?

Sial, apa yang Watson lewatkan?!

Samar-samar terdengar suara heboh dari luar ruang klub. Pikiran Watson terbelah, mengangkat kepala.

"Biarkan aku bertemu dengan mereka!"

"Tidak bisa, Nyonya! Sekarang masih jam kedua! Nyonya bisa mengganggu waktu belajar. Silakan pergi dari sini sebelum kami mengusir," kata satpam.

"Ada apa?" Aiden menceletuk. Sebentar, sejak kapan dia sudah ada di sana?!

Wanita tersebut memohon di depan Aiden. "Aku tahu kamu. Salah satu anggota klub detektif Madoka, Aiden Eldwers. Kumohon tolong anakku! Dia dituduh melakukan pembunuhan! TAPI AKU YAKIN BUKAN DIA PELAKUNYA! ANAKKU TAK PERNAH MELAKUKAN PERBUATAN ITU! Kumohon bantulah anakku, huhuhu..."

"Tenanglah dulu, Nyonya," Aiden menatap dua satpam sekolah. Memberi kode. "Kami yang akan mengurusnya."

"Tapi sekarang jam—"

"Tidak apa. Klub detektif diberi kelonggaran dalam PBM. Sepertinya wanita muda ini membutuhkan bantuan. Kami akan melakukan sidak. Terima kasih kerja kerasnya."

Watson berdecak melihat Aiden kembali ke gedung sekolah membawa wanita itu.

Hari baru, kasus baru. Kode tentang CL saja belum terpecahkan, sekarang ditambah beban baru. Si Aiden tidak bisa berpikir panjang, ya? Kenapa dia tidak pernah pengertian...

*

"Namaku Immith Hindegrass. Aku orangtua tunggal. Suamiku bercerai dan pindah ke luar kota. Walau sulit dan butuh perjuangan, aku berhasil membesarkan putraku dengan baik. Ah, namanya Ommatz Hindegrass. Dia dua tahun di atas kalian."

Namanya keren banget!

"Ommatz anak yang ramah. Dia digemari oleh teman-temannya. Dia juga tidak pernah terlibat perkelahian murid-murid, patuh pada kehendakku dan berbakti. Sampai..."

Mereka kecuali Watson saling tatap.

Immith kembali menangis. "Sampai anakku tiba-tiba dituduh membunuh seseorang. Itu melukai hatiku. Aku tak pernah mengajarkan putraku merenggut nyawa seseorang. Bagaimana bisa dia melakukan pembunuhan...? Ommatz bahkan takut memegang benda tajam... Dia ngeri pada darah. Aku tidak bisa menerima ini."

Hellen menenangkan beliau, menyuguhkan teh hangat terbaik buatannya. Watson bergumam, bangkit dari kursi. Humuh-humuh, kedengarannya menarik.

"Mau ke mana, Dan?" sahut Aiden langsung.

"Aiden..." Watson menoleh dengan muka memelas. "Ayolah, aku tak perlu terus melapor ke mana aku pergi padamu, kan? Aku mau ke toilet. Aku mau pipis. Sudah, ya. Sudah diujung soalnya."

"PFFT—" Jeremy menahan tawa. Tak sopan terpingkal di depan klien. Sama seperti Hellen. Kontras dengan Aiden yang memerah malu. Sungguh, sepertinya Watson kesal sekali dan akhirnya tanpa basa-basi lagi bersikap blakblakan.

Menyebalkan, bukan? Padahal Watson hanya izin ke kamar mandi. Apa dia guru yang menanyakan alasan murid izin? Apalagi kalau bukan urusan buang air? Kecuali membolos.

Watson menatap cermin besar di toilet, menyipit serius. Angka 002562 kembali terlintas di benaknya.

Robin berusaha memberitahu tentang CL dengan mempersingkatnya menjadi kode itu. Tapi jangankan ke mana arah petunjuk, mereka buntu teka-teki, tak ada ide sama sekali terhadap nomor 002562.

"Anu..." Merujuk toilet sekarang hanya ada Watson seorang, sudah pasti kata itu ditujukan padanya. "Apa kamu sudah selesai? Biar kubersihkan."

"Astaga!" Watson jatuh terduduk, melotot kaget. "KAMU...! Kenapa, tidak, apa yang anak gadis lakukan di toilet cowok...?"

Dia menggaruk hidung yang beringus, cengengesan. "Aku dihukum membersihkan toilet karena terlambat, dan tidak tahu ada yang masuk. Hehehe."

Watson menepuk dahi. "Kamu ini tidak punya malu, apa? Kamu melanggar peraturan."

"Eh, memangnya salahku apa?"

Astaga? Masih berlagak bodoh dia? Pindah ke Madoka, Kota Moufrobi, memang suatu kesalahan dalam hidup Watson. Seharusnya dia pergi ke distrik lain.

Tapi tunggu deh. Kok Watson familiar dengan gadis jorok itu? Apakah mereka pernah bertemu... "Ah, benar. Kamu gadis yang mengotori celanaku seminggu lalu," tajam Watson dingin tak bertoleransi. "Maaf aku membentakmu. Aku tidak melihat wajahmu."

"Tidak! Ini salahku. Aku yang minta maaf."

Selain bodoh dia ini juga naif, ya? Ya ampun. Lebih baik aku segera pergi dari sini. Watson merinding berduaan di tempat sempit bersama orang eror sepertinya.

"Maafkan aku, maafkan aku. Aku sungguh tidak melihatmu tadi. Aku minta maaf," ucapnya menundukkan badan berkali-kali.

"Bagaimana mungkin kamu tidak melihat manusia? Kamu minus berapa?"

"Habisnya kamu berdiri di sebelah kananku dekat cermin. Kukira aku salah lihat tadi, sejenis kamuflase dari pantulan cermin dan kacamataku, eh, ternyata memang ada orang. Sekali lagi aku minta maaf...!"

Cermin? Sebelah kanan? Ah, begitu rupanya. Dia bukan gadis mesum.

Watson pergi meninggalkan kamar mandi tanpa berkata apa pun, kembali ke klub. Pikirannya kosong namun tidak benar-benar kosong. Dia sengaja mengosongkannya.

"Dan! Kenapa lama sekali sih! Kita akan mulai menginvestigasi kasus Nyonya Immith."

"Hmm." Watson berdeham.






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top