File 0.7.9 - Weeping on The Mountain
"Aduh... Kamu serius? Seremoni bulanan pada cuaca buruk begini?"
Aiden terkekeh kecil melihat—mungkin sudah keenam kalinya—Hellen mengeluh sambil mengurut kaki yang pegal. Apalagi petir sudah menyambar dua kali, namun kepala sekolah masih saja ceramah entah tahu hanya segelintir murid yang mendengarkan ocehannya.
Setiap hari di awal bulan baru, Madoka mengadakan upacara 'Pidato Kedisiplinan Bersama Kepsek' selama dua jam. Iya, dua jam. Tetapi kepala sekolah ingin menyiksa kaki-kaki para murid sementara beliau santai-santai duduk, berceloteh, selama empat jam dari jam enam pagi!
Bukan hanya Hellen yang mengeluh sejak tadi, namun hampir seluruh murid di kelasnya. Lebih-lebih Jeremy yang mati-matian mencari alasan untuk izin ke toilet.
"Dan, kamu baik?" Aiden berbisik pelan.
"Entahlah." Watson menyahut tak yakin, melirik rambut lawan bicara. Seperti biasa, ganti hari, ganti gaya. Aiden tidak mengikat rambut, membiarkan mereka lepas, lantas memakai banyak bros bunga mini menghiasi dan jepitan lidi merah di samping poni.
Fuah. Jangan bilang dia menyogok kepala sekolah untuk membebaskannya mengayai rambut. Tak habis pikir diri ini. Watson menghela napas panjang. Tangannya turun ke lutut, memijat. "Kapan ini selesai?"
Watson seketika menyesal pindah ke Madoka.
Upacara itu selesai saat gerimis pertama turun dan melebat dengan cepat. Oh! Tuhan memberkati murid-murid Madoka. Mereka segera berlarian ke gedung sekolah, menyeringai senang pada dewan guru.
Jeremy menggeser pintu klub, masuk ke dalam. "Sumpah di atas sumpah, aku benar-benar benci Si Chalawan itu! Seenaknya curhat tentang kesuksesannya yang tidak berkaitan dengan tema seremoni! Mentang-mentang namanya keren."
Aiden masuk kedua, menepuk-nepuk ujung rok yang terkena tempias hujan. "Yeah, maklumi saja beliau sudah 42 tahun. Kita bisa apa."
Hellen masuk dengan entakan kaki geram. "Kamu harus lapor pada ayahmu, Aiden. Kita perlu mengadu pada komite sekolah."
"Stern, berpikirlah dengan logis. Kita sudah bukan anak-anak. Mengadu adalah sifat jelek. Lagi pula kita yang kena skor karena memberi laporan temperamental." Watson masuk paling akhir, geleng-geleng kepala, menutup pintu klub. Hujan lebat mengguyur Moufrobi.
"Benar juga sih..." Hellen mengangkat bahu. "Hujan-hujan begini bagusnya makan yang panas-panas sekalian melegakan jasmani. Kalian pesan apa?"
"Mie pedas!" Aiden mengangkat tangan. "Tenang, aku sudah sarapan nasi kok."
"Sup tahu pedas. Mix ya, Len," kata Jeremy sudah sibuk mengambil dokumen.
"Mapo tofu." Watson juga mulai sibuk menggaris-garis papan kaca yang ditempeli gambar-gambar.
Hellen mulai memasak, bertepatan masuknya sebuah pesan ke ponsel khusus klub detektif (mengamankan nomor privasi anggota).
"Kita dapat pesan dari Inspektur Deon," ucap Aiden membaca pesan. "Katanya dia berhasil melacak GPS walkie-talkie Kon, berhasil mendapatkan cuti, dan bisa melanjutkan kasus rahasia alias kasus Poorstag. Dia sudah tiba di depan gerbang sekolah. Kita harus bersiap karena akan pergi ke Gunung Topau untuk menjemput Robin..."
Jeremy berhenti mengisai berkas. Watson berhenti menulis. Hellen tidak jadi memasak.
Cukup sudah intermission kasus Poorstag.
*
"Kenapa kalian terlihat tak semangat?" Deon mencomot topik, aneh akan suasana di mobil.
"Yeah, ada orang. Polisi kerjanya. Datang tak diundang merusak mood."
Coba tebak siapa yang melontarkan kalimat sarkas tersebut. Pasti pada mengira Watson karena tipikalnya, namun salah. Aiden duduk di sebelah Deon, mendengus masam. Kedatangan Deon patut didenguskan sebab Aiden tidak jadi makan mie.
"Mapo tofu-ku..." Dan untuk pertama kalinya juga Watson menundukkan kepala sedih.
Hellen dan Jeremy saling tatap. Kalau Watson sesedih itu, berarti mapo tofu pedas adalah hidangan kesukaannya?
"Aku tak peduli keluhan kalian, tapi fokuslah. Kita sedang menuju jurang. Petarung yang lemah silakan mundur sebelum gugur. Kita harus menangkap penjahat anak itu, melemparnya ke penjara. Narapidana mati."
"Kami tahu." Aiden berkata pendek, mewakili ketiga anggota klub.
Watson menopang kepala, menatap datar tetes air hujan di luar kaca mobil. Untung Watson sudah meminum obatnya tadi pagi sebelum upacara, jadi narkolepsi-nya takkan kambuh lima-delapan jam ke depan.
"Tolong selamatkan istriku."
Perkataan Ayah Robin mengganggu pikiran Watson, menghalanginya ke tahap kronologi kasus. Kenapa beliau meminta menyelamatkan istri yang diduga tega menyerahkan anaknya pada pelaku penculikan berantai?
Kenapa dan apa maksudnya? Siapa penjahat sebenarnya? CL? Ada kemungkinan sih.
Rondala mungkin saja berubah pikiran dan hendak menginginkan kembali putranya, tercerahkan oleh sesuatu. Negosiasi mereka gagal dan sekarang CL sedang memburu Nyonya Poorstag.
"Bagaimana teman kalian? Apa dia sudah sadar?" Deon bertanya.
Hellen mengangguk. "Dia sudah siuman kemarin sore, lalu dicegah keluarganya keluar rumah seminggu."
"Itu tindakan yang lazim. Seorang ibu dan ayah tidak menginginkan anak mereka tersakiti oleh orang lain dan memberi perlindungan sebaik mungkin."
Jika Aiden selalu mengucapkan kalimat angin lalu, maka sekarang giliran Deon. Ucapannya menekan tombol di kepala Watson.
Benar. Rondala masih dalam 'dugaan' tidak peduli pada anaknya, Robin. Bagaimana jika asumsi Kon salah? Bagaimana jika mereka salah mengira Rondala tidak menyayangi putranya? Bagaimana jika... alasan sebenarnya Tuan dan Nyonya Poorstag berat hati setuju membiarkan CL menculik Robin adalah bentuk perlindungan?
Ya, itu benar! Dengan membiarkan Robin disekap CL, Rondala diam-diam meletakkan pelacak pada anaknya dan mulai melapor pada polisi, sekaligus menyelamatkan anak-anak yang lain.
Tapi, jika itu bentuk perlindungan mereka, kenapa Rondala masih bisa bersikap tenang begitu di dunia hiburan? Apa karena dia harus tampil sealami mungkin agar tidak dicurigai oleh CL yang boleh jadi menonton?
Tidak bisa. Watson buntu. Meletakkan pelacak pada anak sendiri, tidak masuk akal. Kecuali jika Rondala nekat dengan rencananya dan menanamkan pelacak tersebut ke dalam tubuh Robin. Tapi sebagai ibu, dia tidak bisa.
Deduksi ini sia-sia.
"Atau jangan-jangan pada Rondala lah pelacak itu tertanam?" gumam Watson tanpa sadar, sibuk sendiri.
"Ng? Ada apa, Watson? Pelacak apa?" celetuk Aiden, Hellen dan Jeremy serempak. Dasar trio.
Watson spontan menggeleng. "Ah, tidak."
Yah, intinya mereka harus bertemu dengan Robin dulu. Sisanya diurus nanti.
Ini membuatku stres. Umur otakku tak berkurang karena keseringan berpikir, kan? Watson membatin, menghela napas panjang.
Tapi Watson tidak tahu-menahu. Setelah kasus Child Lover selesai, tumpukan kasus baru kembali membanjiri detektif Madoka.
*
>Gunung Topau, jam 10.23<
Hellen terakhir turun dari mobil, menutup pintu, menyusul langkah Jeremy—fokus memperhatikan sekeliling yang lembap. Hujan tak kuasa tembus ke wilayah Gunung Topau.
"Di mana rumah Robin?" Aiden dan Hellen bersitatap, menyengir. Mereka bersamaan menanyakan hal yang sama.
"Kita harus mengikuti jalan setapak lurus," kata Deon lugas, mulai bergerak. Mendaki.
"Kamu menemukan sesuatu?" Di sisi kiri, Jeremy jongkok melihat Watson mengamati tanah. Mereka berdua tertinggal tujuh langkah di bawah.
"Entahlah, yang jelas hanya sedikit penduduk mendaki gunung ini. Permukaan jalan yang tak terurus menandakan akan jarangnya tempat ini dikunjungi."
Jeremy bersedekap. "Rondala mendirikan vila di atas gunung, apakah itu legal? Maksudku apa dia mendapat surat izin?"
Watson bangkit. "Aku tidak tahu. Ada yang aneh di sini." Mungkin saja Kon salah info mengenai di mana Rondala mengasingkan putranya, lanjut Watson dalam hati segera menyusul Deon dan yang lain.
Hufft. Ini salah Watson karena tidak berpikir matang memasukkan Kon, orang asing, ke dalam investigasi. Dia punya niat tersembunyi. Yang Watson khawatirkan, kasus ini berakhir plot twist bahwa Kon hanya bermain-main. Tapi pemikiran itu ditepis Watson karena adanya faktual.
Sherlock pemurung itu tidak boleh menstigmatisasikan orang sesuka hati.
Sekitar enam puluh meter, mereka akhirnya menemukan vila yang ditinggali Robin. Satu-satunya tawanan yang berhasil melarikan diri dari penjara CL.
Astaga? Watson mengusap wajah. Robin betulan tinggal di sini, di vila reyot terbengkalai? Banyak jamur memakan dinding bangunan. Halaman rumah yang tak rapi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan atap vila tua dan bolong-bolong.
"KYAAAAA!!!"
Baru lima langkah memasuki halaman vila, terdengar suara teriakan dan tangisan.
Insting Deon menyala tegak, segera berlari ke dalam vila, mendobrak pintu, seketika terbelalak. Aiden menatap jeri. Hellen mual. Jeremy terperangah.
Watson mengepalkan tangan.
Seorang anak kecil dengan wanita paruh baya tergantung di tengah-tengah ruang tamu. Banyak mainan anak-anak berserakan. Darah merembes, membuat genang, memandikan anak lelaki di bawah gantungan.
"Hiks... Hiks... Mama..." Anak itu menangis, terisak, tergugu. "MAMA!"
"Kamu tidak apa-apa, Nak?!" Deon menghampiri anak tersebut, menelan ludah merasakan tubuhnya bergetar hebat. "Siapa yang melakukan ini pada ibumu? Apa kamu melihat ke mana pelakunya pergi?"
Dia mencicit, mengarahkan tangan ke sebuah ruangan. Deon tanpa babibu langsung menyerbu lari ke sana, mengambil pistol dari sabuk, memasang kuda-kuda.
Brak! "Jangan bergerak—" Deon dibuat bungkam untuk kedua kalinya.
Tidak ada siapa-siapa di dalam. 'Hal berbahaya'-nya sudah menghilang lebih dulu dengan kondisi yang sama. Robin digendong oleh Hellen, menenangkan. Jeremy dan Aiden menahan napas menyaksikan mayat yang tergantung.
Watson bersebelahan dengan Deon.
>Pukul 10.45, Rondala Ingram dan sopirnya Inazuka ditemukan tewas<
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top