File 0.7.8 - The Strange Dirty Girl
"Di mana anak itu?!" Deon menerobos kerumunan, liar mencari seseorang.
"Maksud Anda saksi? Mereka sedang diperiksa karena syok—" Belum genap perkataan petugas tersebut, Deon langsung menyongsong ke mobil ambulans.
"Kamu!" seru Deon tinggi, menarik kerah seragam targer carian. Supee marah. "KAMU SUDAH GILA ATAU BOSAN HIDUP, HAH? Bisa-bisanya melanjutkan kasus Poorstag tanpa memberitahuku! Kamu lupa nyawamu serta teman-temanmu nyaris melayang, huh, bocah sombong? Butuh berapa pelajaran lagi untuk menyadarkan sifat congkakmu itu?!"
"Apa sih? Bukankah aku sudah mengirimmu pesan? Kamu pikir aku teledor?"
"Oh iya, pesan!" bentak Deon sarkas, mengeluarkan ponsel dari saku celana, menunjukkannya pada Watson. "Ini pesan yang kamu maksud, hah? Hebat! Apa kamu benar-benar tidak punya sopan santun?!"
Watson melirik layar ponsel Deon, diam membeku, mengulum bibir. Waduh?
"Sabtu di kafe, kamu pikir ada berapa kafe di Moufrobi, hah? JIKA KAMU BUTUH BANTUAN, PALING TIDAK TULIS ALAMATNYA DENGAN JELAS! Aku mondar-mandir mencari kafe yang kamu maksud sampai mendengar suara tembakan di sini." Deon mengomel panjang.
"Tapi kan Inspektur Deon bisa menelepon Dan," bela Aiden, sedikit tidak terima Watson dibentak-bentak begitu.
"Itu akan jadi keajaiban ke-9 anak ini mau membagikan nomornya pada orang yang dia benci sepertiku," sergah Deon emosi.
Watson mengangkat bahu. "Anda tidak meminta, buat apa saya kasih." Bisa-bisanya Watson masih membela diri padahal sudah tahu itu salahnya, menambah kekesalan Deon.
"Hufft." Deon mengembuskan napas panjang, menyabarkan diri, lawannya hanya remaja. Dia takkan menang. Deon harus berbicara dengan kepala dingin. "Baiklah, baiklah. Bagaimana keadaan temanmu? Kudengar satu dari rekan kalian diserang."
Alis Watson bertaut. "Dari mana kamu mengetahuinya? Kami tidak mengungkit soal Kon. Itu privasi. Kon dibawa ke Madoka, dirawat di sana."
"Privasi?" Deon menoleh ke belakang, mendengus. "Pantas saja. Yang datang divisi sialan. Segerombolan polisi tak berguna. Aku tidak bisa mengambil alih kasus Poorstag."
Watson bersedekap. "Apa ini? Ternyata divisimu juga tergencet oleh komisaris itu?"
"Tahu apa kamu soal hukum?"
"Memang tidak luas, namun aku mengerti hal mendasar. Habisnya ayahku seorang polisi," jawab Watson datar, mengecek notifikasi pesan. Tantenya nitip cemilan buat si kembar.
Aiden dan Deon sama-sama terdiam.
Pasalnya, Watson tidak pernah atau lebih tepatnya cenderung menutupi kehidupan pribadinya, menyebut-nyebut tentang orangtuanya. Hari ini dia justru mengatakannya terang-terangan.
"Nah, sekarang bagaimana?" Watson kembali membuka suara. "Jelas-jelas kita tidak akan dibiarkan ikut menginvestigasi. Juga menunggu Ayah Robin siuman hanya membuang waktu. Kamu, maksudku Inspektur punya rencana?"
"Berhentilah sok sopan begitu jika kamu tidak bisa melakukannya."
"Nanti Anda mengamuk lagi pada saya."
"Menggelitik orang sampai mampus masuk penjara tidak, ya?"
"Kamu ternyata polisi mesum, heh?"
Aiden manyun melihat perdebatan mereka berdua, seperti ayah-anak, perkelahian konyol. Dia tidak tahu ternyata Watson punya sifat nakal yang unik.
"Kalian lebih baik kembali ke sekolah, lihat keadaan teman kalian yang namanya Kon itu. Terlalu banyak wartawan di sini. Aku akan segera menghubungi," titah Deon. "Jangan coba-coba pergi tanpa instruksiku lagi. Paham?"
Aiden mengangguk serius. Watson? Hanya menguap santai.
Deon yang panas hati melihat tingkah laku Watson makin menyebalkan, nekat menjewer telinganya.
"Sakit! Sakit! Apa yang kamu lakukan—sakit!!"
"Paham?" Deon menyeringai manis.
"Iya, iya! Aku paham! Cepat lepaskan ini, polisi sialan!!!"
Akhirnya Deon melepaskan jewerannya, tersenyum puas. Watson mengusap-usap telinga yang memerah, melepaskan tatapan perang pada Deon. "Kamu akan menyesali perbuatanmu suatu hari nanti, Deon keparat. Ayo pergi, Aiden! Kita selesai di sini."
"I-iya," sahut Aiden mati-matian menahan tawa. "Terima kasih, Inspektur Deon. Tadi itu amat menggemaskan."
"Itu juga berlaku untukmu, Putri Bungsu Eldwers." Deon menatap tajam.
Aiden menelan ludah, cegukan. "Ba-baik. Saya pergi dulu."
Deon menatap mereka berdua dari kejauhan, mendesah panjang, namun tersenyum kecil.
*
"Bagaimana Kon?" Watson langsung bertanya begitu memasuki ruang kesehatan. Tampak Hellen sedang memijat Jeremy. "Kamu baik-baik saja, Bari?"
Jeremy mengangguk. "Tidak apa-apa. Kon hanya pingsan. Sepertinya dia terkena serangan stun-gun."
"Apa yang akan kita lakukan, Dan?"
"Ada dua. Pertama, menunggu kabar dari Inspektur Deon. Kedua, menunggu Kon bangun. Dia pasti melihat sesuatu sehingga diserang. Selama menunggu dua hal itu, kita harus tetap mencari informasi."
Hellen meletakkan kotak balsam ke meja, menghela napas panjang. "Masalahnya Watson, butuh waktu untuk Kon sadar."
"Apa maksudmu?"
Bangkit, Hellen menuju ranjang yang ditiduri Kon, menunjukkan bekas suntikan di leher Kon. "Aku menduga pelaku menyuntikkan Triazolam padanya. Kabar baiknya pelaku penyerangan tidak berniat membunuh Kon, hanya membuatnya tertidur."
Dia membungkam mata-mata kami agar kami stuck? Ya ampun. Watson mengusap wajah. Pikirannya kacau. Mereka berhasil dikendalikan oleh pelaku. Fakta itu membuat Watson merasa malu.
Aiden dan Hellen bersitatap, saling angguk.
"Dan bagaimana kalau kita makan siang dulu? Perutmu sudah lapar, kan?" bujuk Aiden.
"Baiklah, tapi pertama ganti bajumu yang norak itu. Kamu lupa kita di sekolah?" tukas Watson, mulai mengganti baju bebasnya menjadi baju olahraga yang sudah dia siapkan.
Aiden tertawa-menangis dalam hati.
Drrt! Drrt! Ponsel Jeremy berbunyi. Dia gelagapan melihat nomor si penelepon. "Ah, kalian duluan saja. Aku harus mengangkat ini."
Watson kembali teringat perkataan Dean.
"Kamu itu asing di sana, Watson Dan. Mereka tidak percaya padamu. Aku yakin Jeremy belum mengatakan masalahnya padamu, atau Hellen yang dikejar-kejar penguntit, dan Aiden tentang kematian kakaknya yang janggal."
"Aku mau tahu..."
Aiden, Jeremy (menunda langkahnya), dan Hellen menoleh serempak. "Ada apa?"
Watson tak boleh egois. Apa sih masalahnya? Bukan urusan Watson kepo tentang privasi mereka bertiga. Urusi saja urusanmu sendiri, Watson. Kamu belum tahu siapa yang membunuh orangtuamu, sekarang sok-sokan membantu kasus orang lain.
Tetapi, kenapa Watson merasa tidak nyaman? Dia memantapkan hati untuk tidak ikut campur ke masalah Aiden, Jeremy dan Hellen, kenapa Watson malah sakit hati? Apa karena anggapan dia orang asing di sana? Itu fakta, kan? Lagi pula Watson pertama yang mengasingkan diri dari mereka bertiga.
"Tidak jadi," gumam Watson datar.
Abaikan saja. Matikan hatimu. Jangan pedulikan hal lain. Watson seharusnya memikirkan kasus Robin, bukan menambah beban pikiran.
Apa yang dirahasiakan keluarga Poorstag? Selamatkan Rondala? Bukankah Rondala yang jahat di sini? Mengapa beliau meminta menyelamatkan penjahat? Mereka setim?
Ukh, masa sih aku harus minta bantuan Lupin? Tidak. Aku masih menaruh dendam padanya. Watson menggelengkan kepala.
"Kenapa, Watson? Bukankah sudah kubilang jangan memikirkan kasus ketika makan?" omel Hellen mengancam mengurangi jatah.
"Baik~" Watson mengangguk saja.
Aiden meletakkan sendok. "Dan, ada yang ingin kubicarakan."
"Apa?"
"Aku dengar semua percakapanmu dengan Ketua Apol di ruang konsil."
Watson tersedak. Cepat-cepat mengambil air putih. "B-benarkah?"
"Bukannya kami tidak percaya padamu, hanya saja kami tidak mendapat timing yang bagus untuk menceritakannya. Kita belum menangkap CL, masalah kami hanya akan membebanimu. Jadi, kami berencana memberitahumu setelah kasus CL selesai. Maafkan kami, Dan."
Hellen menundukkan kepala.
"Jangan khawatir," ucap Watson menghabiskan segelas air dalam lima kali teguk. "Aku tidak peduli."
Deg! Aiden dan Hellen tertegun melihat sorot mata Watson yang gelap.
Watson turun dari kursi. "Terima kasih makanannya, Stern, selalu enak seperti biasa. Aku duluan."
Di luar, Watson mengepalkan tangan. Sakit hati pada mereka? Tidak. Watson kesal pada diri sendiri yang tak bisa diajak bekerja sama untuk anteng akan masalah ini.
Bruk!
"A-ah, ma-maafkan aku! Aku t-tidak lihat! Huwaa, su-sungguh m-maafkan...!" Tumpukan kertas yang dibawa gadis penabrak jatuh berserakan.
Watson menjawab datar. "Tidak apa. Sini kubantu," tawarnya tulus.
"T-ti-tidak usah! A-aku bisa sendiri—"
Duk! Karena posisi gadis itu di bawah, saat mencoba menolak tawaran, kepalanya spontan terangkat dan mengantuk wajah Watson.
"Ukh..." Sherlock pemurung itu meringis.
"AAAAA!!! HIDUNGMU BERDARAH! BERDARAH! Ti-tisu! Aku butuh tisu! Huwaaa, maafkan aku...! Akan kubersihkan!"
"Tidak apa. Ini bukan masalah—"
Bruk! Jatuh untuk kedua kalinya. Kaki gadis itu menginjak salah satu kertas dan tergelincir menghantam perut Watson.
"H-huwa... HUWAAA!! MAAFKAN AKU!! Perutmu pasti sakit. A-akan kupapah ke—"
Tanda jengkel muncul di pipi Watson, memegangi kedua tangan gadis ceroboh itu. "Aku bilang tidak apa, oke? Jadi berhentilah bergerak dan diamlah."
"Tapi, tapi, tapi..." Gadis itu menangis kencang. Watson melotot jijik melihat ingusnya yang banjir. "Aku melukaimu! Aku harus bertanggung jawab!"
Siapa perempuan jorok ini?! Watson hendak melarikan diri, namun gelang di pergelangan tangan gadis itu mengail ujung bajunya.
"Huwaa...! Huwaa...! Kenapa nasibku selalu tak mujur...! Padahal aku hanya ingin membantu...!" isaknya tergugu, mengelap ingus dengan celana Watson membuat empunya menatap ngeri.
"Pergi dariku, dasar aneh." Watson melangkah lamban sebab kakinya dipegang oleh gadis jorok yang menangis hebat, rela mengesot.
"Tidak...! Aku harus mengantarmu ke ruang kesehatan dulu dan mencuci celanamu...!"
"Lepaskan celanaku! Dasar gadis mesum."
"Biarkan aku mencucinya...!"
Ini mungkin menjadi kejadian ganjil kedua di hidup Watson setelah bertemu dengan Aiden. Bayangkan, kakinya ditahan oleh gadis yang mengesot dengan air mata dan ingus bercucuran. Kenapa Madoka menerima murid-murid tak waras seperti mereka?!
Tanpa sadar Watson sampai di depan ruang kesehatan. Hei, kenapa dia malah datang kemari? Jangan-jangan gadis ini sengaja supaya bisa mengarahkan Watson ke sini?!
Watson menatap Kon di kasur.
Mendadak Watson teringat sesuatu. Astaga! Kenapa dia bisa lupa soal GPS di dalam walkie talkie Kon? Watson sendiri yang memasangnya! Jika benda itu dibawa oleh pelaku, maka mereka bisa melacak lokasinya. Ini brilian!
Watson membuka pintu klub, mengagetkan Aiden, Jeremy dan Hellen di dalamnya.
"Aku tahu tujuan kita selanjutnya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top