File 0.7.7 - Cute and Cool

Hari sabtu, Taman Kota Moufrobi.

"Ck! Kenapa Aiden lama sekali sih. Padahal dia sendiri yang membuat janji jam delapan pagi, dia juga yang telat. Dasar tidak penepat janji." Watson menggerutu, sumpah serapah. Dia lupa bahwa cewek butuh berjam-jam dalam berdandan.

Sebenarnya hari ini mereka sekolah karena Madoka memakai sistem enam hari (Full Day School), namun terpaksa bolos demi pertemuan yang dinantikan. Guru-guru berbaik hati memaklumi kegiatan klub detektif yang kian sibuk ke setiap harinya.

Apa perlu membuka lowongan member baru, ya? Dipikir-pikir capek juga hanya kami berempat yang menghuni. Watson membatin.

[Ledakan di Stadion Terminus telah melukai empat sekawan Klub Detektif Madoka! Akankah mereka menyerah menangkap Child Lover atau sebaliknya?]

Watson menoleh ke TV besar yang tertempel di salah satu gedung tinggi. Ternyata berita itu masih disiarkan. Apa itu termasuk berita nasional?

Merinding, Watson refleks memegang betis, sedikit ngilu. Bayangan kaca lampu ted stadion mengoyak betisnya terngiang-ngiang.

"Maaf aku telat, Dan."

"Finally." Watson menghela napas jengkel, menoleh. "Kamu akhirnya datang juga..."

Watson pernah melihat Aiden berpakaian bebas, dan Gadis Penata Rambut itu memang cantik. Melihatnya untuk kedua kalinya tetap membuat Watson terperangah, melongo kecil.

Tampilan Aiden cukup simpel, namun bisa memikat para lelaki di sekitar. Kemeja putih polos dengan pita besar sebagai dasi, lalu rok merah selutut yang disambung stoking hitam sampai kaki, memakai sepatu boots hitam tanpa hak di bawah lutut. Terakhir, Aiden menghiasi rambut tipe double high bun up, memakai pita satin senada.

Lho? Watson mengerjap. Bukankah itu gaya rambut pertama kali Watson masuk ke Madoka? Aiden kehabisan ide untuk 'menyulap' rambutnya?

"Dan sudah lama menunggu, ya? Maaf, aku kesiangan." Aiden menundukkan kepala, merasa bersalah. Dia bahkan hanya tidur dua jam saking tak sabarnya pergi bersama Watson, dan berakhir telat bangun. Ugh! Bodoh sekali.

"Sudahlah, jangan membuang waktu lagi." Watson yang tidak peka, segera meluruskan tujuan mereka bertemu di sabtu pagi.

Sepanjang perjalanan menuju Kafe Heizen, satu dua murid cowok yang hendak ke sekolah curi-curi pandang ke arah Aiden, bahkan lelaki kuliah pun tercantol pesonanya.

Aiden mengomel dalam hati. Lihatlah, Watson sama sekali tidak sensitif dan tetap berjalan santai seolah 'ingar-bingar' sekeliling hanyalah angin lalu. Payah ah.

Apa yang kamu harapkan dari Watson, Den? Dia itu polos dan tak peka alami.

Tidak, tidak! Bukan ini yang Aiden inginkan! Masa sih kesempatan emas dibuang?

Watson melirik jam tangan, menghela napas. Masih butuh setengah jam lagi dari jam yang ditentukan. Meski begitu, Watson harus memberi pengarahan pada Hellen dan Jeremy di sekolah, kemudian Kon yang mungkin saja sudah bergabung ke taman kota.

Mereka tidak tahu Ayah Robin entah akan benar-benar memberi informasi atau jebakan. Watson harus ekstra hati-hati, memikirkan rencana sebaik mungkin.

Baru Watson merogoh ponsel di saku, lengannya ditarik Aiden. "Lihat, Dan! Di situ ada stan mainan!" serunya menyeret Watson ke stan yang ditunjuk, berseri-seri. Terobos saja lah! batin Aiden nekat.

"Tunggu! Kita kemari bukan untuk bermain—"

Percuma Watson berteriak. Si Aiden kepala batu, takkan mendengar protesnya. Apalagi arus kerumunan membuat mereka memasuki wilayah 'taman bermain' kecil. Tidak besar, tidak sampai membuat Watson sakit kepala.

Aiden menggeret lengan Watson ke stan tembak-tembak, menunjuk boneka kura-kura.

Tiga kali percobaan, tembakan. Watson meleset semua. Dia tidak jago dalam bidang apa pun selain berpikir dan belajar.

Aiden mendesah kecewa. Sudah diduga, tak ada yang bisa diharapkan dari Watson.

"Huh! Seharusnya kamu mengencani orang sepertiku, Cantik," celetuk seseorang di stan tersebut, menembak dengan posisi sok keren. Sayangnya tepat sasaran. Satu boneka kura-kura cuma-cuma diberikan ke Aiden. "Bukan kerdil sepertinya," lanjut pria itu mengedipkan mata.

Aiden bergidik. Dia itu om-om. Sadar umur!

Di sisi lain, oke, Watson tersinggung. Dia yang selalu kalem pada situasi apa pun, diledek 'kerdil' tidak terima.

"Aku akan mencobanya sekali lagi," katanya menantang. Mengambil senapan mainan dari pria pisah tujuh tahun itu.

*

"Dan, tungguin dong!"

"Jalanmu lamban sekali. Kita bisa terlambat. Akan kudiamkan kamu seminggu jika Ayah Robin membatalkan pertemuan." Watson mengabaikan, mendengus, tetap mempercepat langkahnya. Gegara Aiden, dia malah terbawa suasana dan melupakan sebentar tujuannya ke taman kota. Cih. Kesalahan yang tak bisa dielakkan.

Aiden mengembuskan napas panjang, tersenyum penuh arti melihat boneka kura-kura seukuran badan yang dia jinjing. Hari ini Aiden menemukan sedikit fakta tentang Watson.

Watson harus dipanas-panasi dulu baru bakatnya keluar. Manis sekali.

Tak jauh dari balai kota, Kon di salah satu atap flat menurunkan teropong, berdecak. "Dua sejoli itu malah asyik berkencan. Lupa tujuan, heh? Tidak mungkin seorang Watson berhasil diluluhkan Tuan Putri Aiden," gumamnya kembali meneropong. "Tapi sialan, mereka serasi sekali dilihat dari sini. Ng?"

Teropong yang digunakan Kon berganti vertikal, mendapatkan sesuatu yang menarik di antara kerumunan berlalu-lalang.

"Lho?" Kon memperhatikan baik-baik, tertegun. "Apa? Bukankah itu Rondala?! Apa yang dia lakukan di sini?!"

Tidak datang bersama pengawal, berpakaian tertutup, topi besar dan masker hitam menutupi wajahnya. Namun Kon yang sudah hapal ciri karakteristiknya takkan tertipu.

Dugaan Watson terbukti. Pertemuan ini adalah jebakan. Telepon Ayah Robin sudah disadap dan Rondala secepat mungkin datang untuk membereskan, tak peduli harus membunuh suami sendiri.

Kon menggeram, tanpa babibu langsung mengeluarkan walkie-talkie yang sudah disiapkan. Watson di bawah gedung berhenti berjalan. Wajahnya berubah serius.

"Kamu benar. Ini jebakan. Kita harus—"

Sengatan listrik menyerang tiba-tiba. Kon kehilangan kesadaran.

Walkie-talkie miliknya terjatuh.

*

"Kon? Kon? Hei, Kon, jawab aku!"

"Ada apa, Dan?"

"Ada yang tidak beres dengan Kon," ucap Watson cepat. "Sepertinya ada yang mengetahui tempat persembunyiannya. Aduh, itulah mengapa kusuruh agar dia selalu berpindah-pindah karena tidak aman bersembunyi di satu tempat."

Aiden menelan ludah. "Jika sesuatu terjadi padanya, itu berarti pertemuan ini jebakan?"

Hebat. Dia menyimpulkan cepat sekali. "Aku tahu ini akan terjadi, makanya untuk jaga-jaga aku sudah menyiapkan pelacak pada walkie-talkie..." Tunggu, dia tampaknya diserang saat memberitahu pengamatan padaku. Ada kemungkinan alat komunikasinya terjatuh. Watson meremas jemari, tidak sampai memperkirakan sejauh itu.

"D-Dan, Ayah Robin menelepon." Aiden berkata gemetar, melihat ponsel klub detektif Madoka berdering menampilkan kontak ayah dari penyintas yang mereka selidiki. "Ba-bagaimana sekarang?"

Oh, tidak. Situasinya menjadi pelik dan menumpuk. Kepala Watson tidak bisa berpikir. Dua hal mendesak berbarengan. Telinga Watson berdenging. Hilang fokus.

"Tidak apa, Sayang. Kamu pasti bisa melakukannya."

Deg! Watson tersentak, refleks menoleh, menelan ludah gugup. Apa-apaan itu barusan? Perasaannya saja? Rasanya ada yang menyentuh bahunya.

"Dan!" Aiden kembali berseru, mengaburkan lamunan Watson. "Apa yang harus kita lakukan?" serunya panik.

"Ah, benar." Watson menarik napas, mengendalikan pikiran yang berkecamuk. "Stern, Bari, kalian di sana?"

"Ya. Kami sudah standby, Watson."

"Pergantian rencana. Bari, kamu sudah bisa berjalan, kan? Datanglah ke sini dan jemput Kon. Aku positif berpikir dia tidak dipindahkan oleh pelaku penyerang. Stern, lacak GPS yang kumasukkan ke walkie-talkie, lalu perhatikan seluruh CCTV yang ada di wilayah sini. Kon pasti menemukan sesuatu alasan mengapa dia diserang."

"Siap!"

Watson mematikan telepon, menatap Kafe Heizen di seberang jalan.

"Apa kita tetap bertemu dengan beliau, Dan?"

"Iya, Aiden. Kita tidak punya pilihan. Jebakan atau tidak, kita harus bertanya pada beliau. Walau kita sudah tahu jawabannya. Ayo!"

Lagi-lagi Aiden dibuat kagum, mengikuti langkah Watson. Padahal dia yang paling misuh-misuh terhadap Kon, namun Watson bertanggung jawab atas keselamatannya. Watson tahu setiap langkah kasus Robin yang ruwet tapi tetap tegas mengambil keputusan.

"Manis dan keren," gumam Aiden keceplosan.

Watson tak peka. Dia hanya menoleh. "Apa?"

"Tidak ada."

Mereka berdua mendorong pintu kaca kafe. Mudah sekali menemukan Ayah Robin. Beliau mengangkat tangan sebagai sinyal, duduk paling sudut kafe, berpakaian bertumpuk-tumpuk. Menyembunyikan diri.

Tidak apa. Percayalah sedikit pada deduksimu. Watson menyemangati diri. 

Watson duduk di kursi depan, saling berhadapan dengan beliau, terkesiap sejenak melihat tangan pria itu gemetar hebat.

"A-anu, apa Anda baik-baik saja?" Aiden berkata patah-patah, awas melihat sekeliling. Suasananya damai, bagi orang lain.

Mendadak beliau menggenggam tangan Watson, bergetar hebat. "K-kumohon... tolong bantu aku... Hanya kalian satu-satunya harapanku. Kumohon..."

Watson dan Aiden saling tatap.

"Aku akan memberikan semua yang kupunya. Jadi, tolong bantulah aku..."

"Memang itu tujuan kami, Tuan. Kami hendak bertanya tentang putramu—"

Beliau terkejut, menoleh ke sana-sini, menatap Watson cemas. Dia terlihat seperti pencuri yang takut tertangkap basah.

"Aku tidak punya banyak waktu. Tolong bantu aku. Tolong selamatkan dia. Tolong—"

Dor! Bola mata Aiden terbelalak. Watson membeku. Sebuah peluru menembak dadanya bahkan tidak cukup pembicaraan itu berlangsung lima menit.

"KYAAA!!!" Pelanggan toko, juga para pengawai, menjerit histeris, berbondong-bondong keluar dari kafe. Keras sekali suara tembakan itu.

Watson menyandarkan kepala beliau, menekan pendarahan dengan tangan. "Aiden! Panggil ambulans dan polisi cepat!"

"Y-ya," sahut Aiden sama gemetarnya.

Beliau memegang tangan Watson. Darah keluar dari mulut. Sekarat.

"To-tolong... selamatkan dia..."

"Bertahanlah, Pak! Ambulans akan segera datang. Jangan banyak bicara—"

"... Selamatkan istriku."

Pergerakan Watson terhenti. Eh...?




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top