File 0.7.10 - Profiler's Advice
Aneh. Aneh. Aneh. ANEH. ANEH! ANEH!
Watson marah, marah sekali. Tapi dia tahan sekuat mungkin. Dipermainkan sampai sebegininya, detektif mana yang tidak malu dan hendak mencakari wajah pelaku!
"Lebih baik kalian kembali ke sekolah," usul Deon logis. "Terlalu banyak reporter. Nanti kalian bisa disorot. Tim Investigasi Divisi II sudah dalam perjalanan ke TKP, aku tak bisa mengakali mereka tentang keberadaan kalian. Bukankah kalian sudah melihat dan mengambil gambar? Pulanglah untuk sekarang."
"Jika kamu menjadi orang sukses, kamu tidak bisa menjadi orang baik." Watson ngelantur, tertawa sarkas. "Sepertinya keadilan, tidak berlaku lagi di Moufrobi. Betapa ganasnya nasib rakyat. Menguak kebenaran dari lembar foto. Haaah, cara kerja detektif di kota ini sungguh hebat sekali."
Deon mengernyit. Anak ini kenapa?
Aiden yang peka, segera mendorong Watson ke belakang Hellen, mengibaskan tangan. "Ah! Maaf, maaf, Inspektur! Dan memang begini kalau jengkel, kalau sedang ingin mengumpat. Kami pamit dulu...!"
"Aku akan datang lusa. Berdiskusilah."
Suara Deon hilang ditelan jarak. Aiden berkacak pinggang. "Kamu kenapa sih, Dan? Tidak biasanya kamu emosional begini."
"Aku jengkel dengan orang-orang kepolisian yang payah, Aiden," balas Watson ketus. "Kerjanya tak becus dan memakan uang rakyat. Dasar, di mana-mana selalu saja penjabat tinggi mata duitan."
Mengabaikan ketiga teman klubnya, Watson melangkah lebih dulu, berdecak. Hellen beringsut ke sebelah Aiden, berbisik, "Aku baru tahu Watson seperti itu kalau sedang marah-marah."
"Yah, bukan Dan sendiri sih. Kita pun sama."
Hellen mengangguk serius. "Inspektur Deon dan warga diperlakukan tidak adil."
"Memangnya siapa yang masih mempedulikan keadilan?" celetuk seseorang tak diundang. Seringai licik terbit.
Aiden dan Hellen berhenti melangkah, kaget. Wajah Jeremy mengeras. Watson menoleh tak minat, mendengus masam.
Raum Kaaver! Kepala divisi penyelidikan bedebah yang tak peduli sama sekali dengan keluhan penduduk! Bahkan bisa jadi dia tak tertarik menangkap CL agar rakyat terus memberi uang sokongan.
Mereka terlambat menghindar dari orang yang ditandai Deon. Harus pandai-pandai mengarang alasan supaya profesi Deon dan citra klub detektif Madoka aman.
"Wah, wah! Lihatlah ini! Bukankah mereka empat sekawan dari klub detektif yang sedang marak itu? Apa yang sedang mereka lakukan di sini? Ada kasus, Nak?" seru Raum dengan intonasi meledek.
Wajah Watson makin bosan. Mereka tertahan oleh kumpulan korup.
"Maaf mengganggu, Pak Raum, kami tidak ada alasan untuk berada di sini lebih lama, jadi kami izin pamit." Hellen bersuara, membungkuk sopan. Padahal hati ngumpat.
"Ya, ya. Baguslah begitu. Pergilah merangkak menangkap penjahat anak itu. Aku tulus mendukung kalian, hahaha!" Raum mengoceh lagi sebelum kembali naik ke atas gunung.
Aiden mati-matian menahan Jeremy yang ingin melompat menerjang pria tua licik itu. Hellen memaksakan senyum, jadi creepy.
Dasar polisi muka dua.
*
Hujan masih turun begitu member klub detektif kembali ke sekolah, justru makin lebat. Bel pulang sudah berbunyi, namun murid-murid lain sibuk bermain ponsel di kelas, enggan menerobos hujan.
"Mari kita mulai menyortir kasus ini!" Aiden membuka suara, menempeli foto-foto jepretan yang sudah dicuci ke papan kaca. "Kita sampai ke Gunung Topau pukul 10.23 dan berjalan 10 menit, kemudian menemukan jasad Nyonya Ingram serta Pak Inazuka 12 menit. Waktu yang singkat untuk melarikan diri dari kita. Juga, kita sudah menyelidiki seluruh vila usang tersebut dan tidak menemukan ruang rahasia apa pun. Dengan kata lain, vila itu hanya ditempati Nyonya Ingram, Pak Inazuka, dan Robin."
"Berbagai jenis mainan berserak di TKP. Menurutku, pelaku sengaja melakukannya untuk menyembunyikan senjata pembunuhan sembari menunggu timing untuk mengambilnya. Robin yang masih 8 tahun, apalagi mengalami situasi radikal, akan berdampak pada psikologinya dan takkan bisa memberitahu atau boleh jadi pelaku mengancamnya."
"Nyonya Ingram tewas karena sayatan di leher, dan baru digantung setelah dipastikan tidak bernapas lagi—"
Jeremy mengangkat tangan. "Tidak, Aiden. Kamu salah. Beliau masih hidup walau sudah digorok. Lihatlah darah yang melingkari leher korban, amat rancu dan menunjukkan tanda perlawanan hingga korban kehabisan darah lantas meninggal."
"Tapi..." Hellen menundukkan kepala. "Bukankah kamu juga memfoto bahwa ada benjolan di kepala korban? Yang kutakutkan penyebab kematian yang asli adalah benturan pada Cerebellum (otak bagian belakang)."
Mereka bertiga mendapatkan cara kematian yang berbeda-beda, menoleh ke Watson.
"Kenapa melihatku?" suara Watson bergetar. "Paling tidak berpikirlah lebih lanjut."
"Apa kamu punya pendapat lain, Dan?"
Lagi? Tidak boleh! Jika mereka terus mengandalkanku, kapan kemampuan detektif mereka berkembang? Aku harus pakai cara lain untuk membuat mereka belajar!
Watson ingin di tim itu bukan hanya dia yang menangkap pelaku. Dia tahu potensi Aiden, Hellen, dan Jeremy sebagai detektif. Tetapi, dengan adanya variasi pola pikir seorang detektif yang unggul membuat bakat mereka menumpul dan menyerah mengasahnya.
"Ekhem." Watson sok-sok berdeham. "Kalian tahu apa itu profiler?"
Mereka bertiga mengangguk.
"Nah, coba kalian berpikir seperti pelaku. Holmes juga sering melakukan ini, menjadikan dirinya sebagai pelaku. Kira-kira apa yang akan kalian lakukan untuk membunuh Nyonya Ingram? Metode apa yang kalian gunakan?"
Mereka bertiga saling tatap. Watson duduk mantap di kursi. Mari kita lihat seberapa dalam logika mereka dalam menerawang tindakan pelaku.
"Kalau aku jadi pelaku, aku akan membuat TKP kacau dengan mainan anak korban. Kita tahu bahwa di antara mainan-mainan tersebut ada miniatur forklif. Pelaku menggunakan itu untuk memukul kepala korban sehingga korban kehilangan kesadaran. Kenapa benda itu yang pelaku gunakan? Karena pelaku tahu berat mainan dari desainnya." Aiden lebih dulu berbicara, menunjuk foto kue yang hancur. "Senjata pembunuhan tidak hanya satu melainkan dua. Yang satu sudah disiapkan untuk Nyonya Ingram, dan sisanya jaga-jaga jika korban dalam perlindungan. Tentu saja senjata pembunuhan yang lain adalah untuk Pak Inazuka."
Watson mengangguk-angguk. Masuk akal. Senjata pembunuhan ada dua buah.
"Lihat jejak di kue yang hancur ini, Dan. Jejak krimnya memanjang ke ruangan kita menemukan Pak Inazuka. Ada kemungkinan pelaku menyeret beliau dengan memapah berkat perbedaan berat dan tinggi badan."
"Bisa diterima." Watson menoleh ke Hellen. "Bagaimana denganmu, Stern?"
"Aiden sudah menyebut setengah yang kupikirkan, Watson. Hanya saja, menyesuaikan TKP, pisau-pisau yang ada di dapur tertata rapi seolah tidak ada yang menyentuhnya." Hellen mengambil foto luka sobek di leher korban. "Lantas bagaimana cara pelaku menggorok leher Nyonya Ingram?"
Watson menelan ludah. Hellen membaca dari sudut pandang benda-benda yang memungkinkan untuk dijadikan alat pembunuhan.
"Perhatikan luka di leher korban, bergerigi. Tidakkah itu aneh? Menurutku pelaku tidak menyayatnya dengan pisau dapur. Baret-nya berbeda dan tidak mulus. Senjata pembunuhan kedua adalah pisau kue. Itu bisa dijadikan penutup alasan pisau-pisau di dapur terlihat bersih sebab pelaku menggunakan benda tajam lainnya, oh, atau boleh kusebut senjata yang tak sengaja dijadikan alat pembunuhan.
"Dengan hilangnya kesadaran korban setelah dipukul, pelaku tak menyangka ada orang lain di TKP dan terpaksa menyingkirkannya terlebih dahulu sebelum sempat menggantung tubuh korban pertama. Kita tahu bahwa pakaian korban berlumuran darah dari sisi depan namun tidak di bagian belakang, jejak darah kecil. Menurutku korban mengenali pelaku dan memeluknya. Tetapi sayang, pelaku tanpa belas kasih tetap membunuh korban dengan cara mencekiknya."
Bahkan Aiden dan Jeremy terperangah dibuatnya. Apa-apaan ini? Jadi, selama ini Hellen menyembunyikan kemampuan detektifnya?
"Bari, giliranmu."
"Aku tidak punya banyak dugaan. Kalian tahu, kegunaanku di klub ini adalah sebagai tameng dan perisai. Berpikir bukanlah tugasku," Jeremy sok-sok malu. "Tapi kalau boleh bersuara, anu..."
"Aku baru tahu kamu pemalu," cetus Watson datar tak berdosa.
"BUKAN! Maksudku, dilihat dari jejak pelaku yang memijak kue, walau bentuknya memanjang karena pelaku menyeret Pak Inazuka, hei, bukankah itu terlihat seperti boot untuk anak kecil?"
Watson terdiam. 'Jika kamu mengalami kebuntuan dan keraguan, kamu harus mengulanginya dari awal.' Demikian yang pernah dikatakan oleh Daylan, ayahnya.
Robin Poorstag, 8 tahun, penyintas penculikan Child Lover.
Sepertinya mereka berdua berhubungan, Robin dan Monarz Gift. Entah mengorbankan atau dikorbankan.
Tolong selamatkan istriku.
Wajah datar Watson berubah mimik empati. "Tampaknya mental Robin sudah rusak duluan," gumamnya amat pelan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top